61. Dia Kanaya

188 18 2
                                    


Deka termangu di meja tokonya di daerah Pasar Kuripan. Tumpukan beras, baik yang di dalam karung maupun di kotak-kotak pajang, mengeluarkan aroma khas yang dicintainya. Biarpun telah lulus sarjana sosiologi dua tahun lalu, ia malas bekerja sesuai pendidikan, justru menemukan kebahagiaan dengan berjualan beras, usaha turun temurun warisan keluarga.

Bukan masalah penjualan beras yang membuat kelabu. Ia seorang indigo. Benar sekali, ia memiliki kemampuan melihat dunia yang tidak dapat dilihat orang lain. Sebagian orang menganggap kemampuan itu luar biasa, bahkan melihatnya sebagai orang "pintar". Mereka tidak tahu bahwa menjadi seorang indigo itu membuat lelah lahir dan batin.

Berurusan dengan dunia gaib sudah menjadi makanan Deka sehari-hari. Waktu kecil dulu, ia nyaris kehilangan akal karena setiap hari melihat makhluk menyeramkan dari dunia lain. Setelah belajar menguasai kemampuannya, kini ia bisa membantu orang-orang yang membutuhkan. Misalnya membantu melepaskan teluh, pelet, susuk, mengusir hantu, dan hal-hal semacam itu.

Kejadian beberapa hari ini membuat hatinya tidak tenang. Ada pergerakan tidak wajar yang menakutkan. Kegelapan tengah menguat di daerah Bendungan Riam Kanan. Ia yakin, penglihatannya tidak salah. Sesuatu yang besar tengah terjadi. Yang membuat hatinya resah adalah firasat yang mengatakan ia akan terlibat dalam pusaran kegelapan itu.

Ah, ia ngeri setiap mengingat itu. Dirinya masih 25 tahun dan punya penghasilan bagus. Walau tubuhnya tidak seberapa tinggi dan tidak kekar, namun wajahnya sangat menarik menurut gadis-gadis sampai ia malas menanggapi mereka. Tentu saja, ia sangat puas dengan hidupnya, ingin menikmati lebih lama, dan tidak mau mati muda.

Penglihatannya tidak salah. Dari dalam toko, terlihat sebuah sepeda motor berwarna merah merapat dan parkir di depan. Awan gelap menyelimuti sang pengendara. Segera saja ia menyuruh anak buahnya berkilah bahwa ia pergi, lalu beranjak masuk.

"Deka!" teriak tamu yang baru datang itu. Tanpa melepas helm, pemuda itu berlari menyusul ke dalam. "Deka!"

Deka merutuk dalam hati. Agaknya tak ada celah untuk meloloskan diri. "Apa lagi masalah piyan[1]? Aku pusing! Fitri kenapa lagi?" Keinginan Deka adalah kabur secepatnya dari pemuda itu. Dialah yang akan menyeretnya ke dalam pusaran masalah.

"Bukan soal Fitri. Aku mau tanya soal makhluk perempuan bertanduk dan buaya raksasa."

Nah, sekarang ia benar-benar telah terseret masuk. Mau tak mau ia kembali duduk. Apalagi tamunya sudah duduk tanpa dipersilakan. "Pergi aja jauh-jauh, sebelum piyan jadi perkedel di tengah perang."

Asrul duduk lemas di kursinya setelah mendengarkan penuturan Deka.

"Jangan piyan telan mentah-mentah. Yang bisa aku lihat itu cuma sebagian saja."

"Tapi kamu tahu lebih banyak dari orang biasa. Apa nggak ada ada informasi lain?"

"Kami, orang-orang indigo, memang bisa melihat frekuensi lain. Tapi kami bukan Tuhan yang tahu segalanya. Penglihatan kami hanya terbatas pada frekuensi-frekuensi tertentu."

Asrul tercenung. "Aku dan Wina terkait dalam masalah ini. Tapi kenapa?"

Deka terdiam. Ia pun tidak bisa menjawab. Ia hanya tahu Asrul, Wina, Jata, dan istrinya, terkait satu sama lain. Apa bentuk dan alasan ikatan itu, ia tidak dapat mendeteksi. Bahkan keterkaitan dirinya pun masih tidak teraba. Hanya satu yang jelas, pertempuran. Sungguh aneh. Ada tabir gelap dan tebal melingkupi mereka. Tidak biasanya ia begini.

Asrul menatap nanar pada pemuda keturunan Tionghoa yang mengecat rambutnya menjadi berwarna cokelat itu. Kalau Deka angkat tangan, kepada siapa lagi ia akan meminta tolong? Ada seorang pintar di daerah Hulu Sungai, namun biaya yang diminta terlalu tinggi. Selain ragu, dirinya juga tidak memiliki tabungan banyak. Deka tidak mau dibayar. Ia membalas budi dengan berlangganan beras untuk stok warung ibunya. Sesekali ia membawakan hasil bumi dari sekitar bendungan.

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang