Gara-gara minum obat dokter, selepas makan malam, Jata sangat mengantuk. Ia cukup senang dengan demamnya. Berkat demam itu ia mendapat ciuman bibir berkali-kali. Lumayan untuk obat pengusir pening. Setelah keberhasilan meminta cium, manjanya semakin menjadi. Ia minta tidur sambil dipeluk. Sudah pasti, tidurnya langsung pulas.
Puput keheranan suaminya yang gagah perkasa dan tinggi besar bisa merajuk seperti itu. Jata yang merajuk benar-benar menguras kesabaran. Sepanjang malam tangannya terus dipegang sehingga Puput sulit berganti posisi. Badannya sampai kaku dan pegal-pegal karena terus menerus miring ke satu sisi. Di samping itu, tidurnya memang tidak nyenyak karena demam yang diderita Jata. Berkali-kali, saat mulai terlelap, ia terbangun sekadar untuk mengecek suhu suaminya. Jata pun mengigau beberapa kali, membuat perasaannya semakin cemas saja. Lepas tengah malam, barulah Puput bisa terlena dalam tidur yang lelap.
Lepas tengah malam, panggilan alam membangunkan Jata. Saat membuka mata ia menemukan Puput masih setia memeluk. Trenyuh juga hatinya. Dikecupnya dengan sayang wajah yang tertidur dengan damai itu. Ia bergerak dengan hati-hati ke sisi ranjang agar tidak membangunkan Puput. Demamnya sudah turun. Badannya terasa lebih ringan.
Kamar itu remang-remang karena diterangi lampu tidur saja. Dengan langkah perlahan ia memasuki kamar mandi. Bunyi air mengalir segera terdengar dari kamar mandi. Baru sampai pertengahan, tiba-tiba lampu mati.
Jata mengeluh dalam hati. Hotel sebesar ini mati lampu? Cepat-cepat diakhirinya pemenuhan panggilan alam itu. Dengan menggapai-gapai ia membuka kamar mandi dan keluar dengan hati-hati. Ternyata kamar mereka tidak terlalu gelap. Tirai jendela terbuka, menyisakan vitrase[1] tipis yang meloloskan cahaya rembulan dari luar. Seingatnya, tirai itu telah tertutup saat ia berangkat tidur tadi. Apakah Puput membukanya kembali? Siapa tahu istrinya itu ingin menikmati pemandangan Pantai Jimbaran di malam hari. Jata menepis keanehan itu dan bergerak perlahan ke ranjang.
Cahaya putih rembulan dari luar cukup untuk membuatnya melihat keadaan, namun tidak cukup terang untuk menampakkan detil benda-benda. Ia melihat Puput telah terbangun dan duduk di kasur. Sosoknya tidak jelas, hanya berupa tubuh yang gelap. Betapa kagetnya Jata saat mengamati sosok itu. Tubuh mungil itu memang milik istrinya. Tapi siluet rambut yang sangat tebal, panjang, dan tak beraturan itu....
Tiba-tiba perempuan di kasur itu membuka mata. Sepasang mata merah menyala menyorot langsung ke Jata.
"Aaaakhhh!" Sontak Jata menjerit. Bersamaan dengan itu listrik menyala kembali. Jata segera berbalik untuk menemukan saklar lampu utama yang terletak di dekat pintu masuk. Lampu utama dinyalakan. Kini kamar itu terang benderang. Jata kembali ke dalam untuk melihat istrinya. Saat itulah ia baru melihat dengan nyata bahwa istrinya bergerak-gerak, terbangun dari tidur.
"Kak Jata? Ada apa?" tanya Puput dengan mata masih setengah tertutup. Matanya agak merah, menunjukkan bahwa ia benar-benar baru terbangun dari tidur yang lelap. Gadis itu menatap Jata dengan hanya mengangkat kepala sedikit. Sama sekali tidak duduk tegak seperti sosok tadi.
Jata nanar melihat istrinya. "Kamu tadi udah bangun, Put?"
"Ah? Enggak. Aku bangun karena teriakanmu. Kenapa, Kak?" Puput bangkit duduk sembari berusaha melebarkan mata.
Pandangan Jata mengarah ke jendela. Vitrase itu bergerak-gerak walau tidak ada angin yang lewat. Seketika bulu kuduk Jata meremang. Segera ditutupnya korden itu rapat-rapat. "Nggak papa. Aku kaget karena barusan mati lampu."
"Mati lampu?"
"Iya. Untungnya cuma beberapa detik."
"Oh?" Puput berdiri, berjalan pelan mendekati suaminya, lalu mengecek keningnya. "Demamnya udah turun," katanya sambil tersenyum. Mata indah yang polos itu menatap suaminya dengan sayang. Tanpa terduga, Puput mengulurkan tangan melingkari pinggang Jata yang ramping namun liat. Kepalanya rebah begitu saja di dada lelaki itu. "Mau tidur lagi, Kak?"
Jata menggeleng. Kantuknya hilang gara-gara kejadian tadi. Dibalasnya pelukan Puput erat seraya meredakan debaran jantungnya yang sempat berpacu tanpa irama. Dinikmatinya aroma sang istri yang manis dan hangat. Dekapan seperti itu langsung berhasil meredakan kegalauan.
"Aku tadi beli jahe instan. Aku buatin, ya? Kakak duduk aja di situ."
Jata mengangguk. Ia mendudukkan diri di sofa sambil berusaha memikirkan kejadian tadi. Tidak mungkin kejadian itu karena mimpi. Sangat jelas bahwa ia terjaga seratus persen. Lantas makhluk apa itu tadi yang berada di posisi Puput? Sekilas diliriknya kasur tempat Puput terbaring. Ini adalah malam kelima mereka menginap di hotel itu. Selama ini mereka tidak pernah melihat atau merasakan hal-hal aneh. Diamatinya istrinya yang tengah membuat minuman panas. Sosok tadi memang mungil, namun jelas-jelas bukan Puput. Jata mengembuskan napas panjang untuk mengakhiri pikiran rancu itu.
Puput datang dengan dua gelas jahe panas. "Kenapa kok bengong begitu? Masih pusing?"
Jata menatap istrinya dalam-dalam. "Kamu bisa tidur nyenyak?" tanyanya.
Puput menggeleng. "Kamu bolak balik mengigau."
"Maaf, aku tidak sengaja."
"Baru bisa tidur sebentar, kamu malah ngagetin. Kayak perempuan aja deh, mati lampu teriak."
Kedua alis Jata terangkat. Mulut mungil istrinya itu ternyata pedas. "Yah, Put. Tengah malam gini kamu masih bisa ngomelin aku?"
Puput mencibir. "Besok kita nggak udah ke mana-mana, Kak. Kamu harus istirahat sampai sembuh betul."
"Siap!" Pikiran Jata langsung membayangkan meringkuk di kasur berdua dengan sang istri seharian. "Tapi ada syaratnya."
"Syarat apa lagi?" Kening Puput berkerut. Matanya menatap dengan was-was.
"Peluk!"
____________
[1] vitrase adalah gorden yang tipis dan agak tembus pandang
===Bersambung===
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ÜbernatürlichesJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...