81. Latihan Naga

142 14 1
                                    

Beberapa pembeli beras datang. Rupanya mereka pembeli baru. Karena menyangkut permintaan diskon untuk pembelian banyak, Deka turun tangan. Ternyata pemuda itu sangat piawai bernegosiasi dan melayani pelanggan. Setelah negosiasi yang alot, akhirnya kesepakatan tercapai.

Deka kembali ke tempat Puput setelah mengantarkan tamunya pulang. "Rezeki, Put," ujarnya dengan senyum tersungging di bibir.

"Buat apa mereka membeli sebanyak itu?"

"Buat suplai pekerja kebun sawit. Mereka dari Kalteng."

"Itu karena aku di sini, kan?" goda Puput.

Deka mencibir dengan sangat panjang. Kalau sudah begitu, ia benar-benar seperti anak remaja.

"Enak juga kalau tempat kerja menjadi satu dengan rumah, ya. Tinggal turun tangga sudah sampai," kata Puput.

Deka meringis. "Iya, praktis. Makanya aku malas kerja kantoran."

"Kayaknya nanti aku juga kepingin begini, buka usaha sendiri dan kerja di rumah."

"Emang kamu mau usaha apa?"

"Mmm, apa ya? Mau buka usaha makanan, pasti repot banget, kan. Harus bangun pagi dan masak-masak. Belum lagi kalau ada pesanan, bisa nggak tidur."

"Jualan beras aja, Put. Nanti aku suplai."

"Dih, kamu jatuh cinta pada beras, ya? Kamu sarjana apa, sih?"

"Sosiologi."

"Sosiologi? Kok mengurus beras?"

"Ooo, kamu belum tahu aspek sosiologis perberasan, Put?"

Tawa Puput tak urung tersembur. Deka semakin gencar menerangkan.

"Lihat, nih. Satu butir beras. Terus lihat segunduk beras di sebelah sini. Apa bedanya?"

"Ya jelas beda, Deka! Ini cuma sebutir, dan itu segunduk."

"Nah, itu dia! Apa artinya beras sebutir? Nggak jelas kan?" Deka memicing sehingga mata yang sipit itu hampir menyerupai garis. "Tapi, kalau dia bersatu dengan kawan-kawannya, dia punya arti lebih. Dia bisa menjadi nasi, bubur, tumpeng, lontong."

Puput terkekeh. Di jarinya kini menempel satu butir beras. "Kamu ternyata filosofis, ya."

Deka tersenyum penuh kebanggaan. "Siapa dulu?"

Puput mencibir. "Mana pacarmu?" tanyanya tiba-tiba, seperti tahu titik kelemahan Deka.

"Malas!" sergah Deka.

"Loh?"

"Aku nggak percaya sama yang namanya cinta dan pernikahan. Orang tuaku dulu bercerai. Apalagi setelah lihat kamu dan Bang Jata serta para korban itu, aku semakin yakin kalau pernikahan itu menyiksa."

"Hah? Apa aku dan Kak Jata tampak tersiksa?"

Deka memicing. "Nggak sadar, Put? Kamu sampai dititipkan padaku karena apa? Kamu ditarget makhluk-makhluk itu karena kamu istri Bang Jata. Kalau kalian tidak menikah, tidak akan ada kesusahan ini. Kamu mungkin berumur panjang."

Deka terkesiap, segera sadar telah mengucapkan kata-kata yang salah. Terbukti Puput tercenung mendengar itu. "Put, aku nggak bermaksud ... umur itu di tangan Tuhan."

Reaksi Puput selanjutnya tak terduga. Gadis itu malah terbahak. "Aku tahu sekarang kenapa kamu ikut terlibat dengan masalah ini. Nggak kebetulan kamu ditaruh di tengah-tengah kami. Ternyata kamu juga bermasalah dengan pernikahan. Ada salah besar dalam kata-katamu tadi, Deka."

Puput mengambil sebutir beras. "Nih, kamu bilang sendiri tadi filosofi beras. Sebutir beras akan lebih bermakna bila bersatu dengan butiran beras yang lain."

Percobaan 44Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang