Setelah percobaan ke-42 yang berakhir dengan kekerasan, Jata dan Puput saling diam. Jata diam karena masih kesal, walau tahu dirinya bersalah. Sebenarnya ia bukan kesal pada Puput, tetapi pada dirinya sendiri. Mengapa tidak bisa mengontrol nafsu sehingga kebablasan seperti itu? Namun, ia gengsi menunjukkan rasa sesal itu pada istrinya.
Sedangkan Puput, kebingungan menghadapi suami yang mengambek. Ditanya diam. Diajak makan, juga diam walau makan dengan lahap sampai menambah dua kali. Disentuh, menghindar. Akan tetapi, Puput beberapa kali menangkap basah suaminya menatap dengan sorot merindu.
Kekanakan, pikirnya.
Sore itu, Jata pulang membawa sekantong besar garam. Puput melihatnya sebagai kesempatan untuk melakukan gencatan senjata.
"Mau ke mana, Kak?" tanya Puput dengan wajah dibuat semanis mungkin.
Jata menoleh. Ia tidak tahan berdiam diri berlama-lama, apalagi bila menghadapi raut manis dengan bibir ranum dan mata indah berhias bulu mata lentik. Sehari semalam menahan gengsi dengan tidak menyentuh tubuh itu membuatnya kangen luar biasa.
"Mau menabur garam di sekeliling rumah. Beberapa hari kan hujan. Pasti garam yang ditabur dulu sudah larut."
Puput senang Jata telah kembali seperti semula. "Aku bantuin, ya?"
Jata terkesiap. Mata indah itu memancarkan binar yang memabukkan. Sebuah kecupan ringan didaratkan di bibir sang istri. "Aku minta maaf soal kemarin," bisiknya.
Puput tidak melepaskan tubuh liat itu. Direngkuhnya dengan sepenuh hati. "Aku juga minta maaf sudah meneriaki Kakak."
Jata tidak menjawab. Mereka keburu saling meraih, melepas rindu sampai puas.
"Garamnya kasihan, lama menunggu kita," goda Puput.
Jata tertawa. Digandengnya tangan Puput keluar rumah. Berdua, mereka menaburkan garam di sepanjang pagar.
Sampai pagar belakang, Puput tertegun menatap hutan. "Kak, setiap melihat hutan di belakang itu, aku penasaran banget. Apa sih yang ada di belakangnya? Kok aku kepingin masuk ke sana, ya."
Telinga Jata langsung peka. Ia segera menarik tangan istrinya. "Jangan dekat-dekat ke sana! Masih ingat kan di sana banyak ular?"
"Aku penasaran dengan makhluk yang kamu usir bersama Papa tempo hari. Makhluk apa sebenarnya? Buat apa mereka ke sini?"
"Aku masih mencari tahu. Nanti ada orang bernama Pak Dehen akan datang ke sini."
"Dia mau memberimu barang-barang apa?"
"Nggak tahu. Kenapa emang?"
"Kamu baru mendapat kalung dan mandau saja sudah berubah. Gimana kalau mendapat jimat-jimat yang lain? Bisa-bisa kamu nanti menjadi monster loh, Kak."
Muka Jata langsung tertekuk. Kalau bukan istrinya, Puput pasti sudah disemprot. "Sudah, jangan ngomong aja. Garammu sudah habis ditabur semua?"
"Sudah. Kamu sendiri?"
"Sudah juga." Jata mengambil mandau lalu melompati pagar belakang.
"Mau ke mana lagi, Kak?"
"Mau membersihkan lahan di belakang pagar ini."
"Aku nggak boleh ke situ, kamu malah mau tebas-tebas di situ."
"Ini semua gara-gara kamu nggak mau diajak pindah, Puput istriku paling imut! Kalau mau pindah, kita nggak repot begini."
"Iya, salahkan aku. Padahal aku sudah bilang terserah kemarin. Kamunya aja ngambek. Buat apa tumbuhan yang nggak mengganggu ditebas?"
"Biar nggak banyak ular, Puput. Kamu ini semua dikomentari, ya. Daripada bawel begitu lebih baik kamu bikin minum. Aku haus!"
Puput merengut. "Kalau cuma minta minum, tinggal bilang, Kak. Nggak usah pakai mengomel dulu." Sesudah berkata begitu, ia membalikkan badan, lalu bergegas kembali ke rumah.
Tinggallah Jata berdiri di belakang pagar dengan mengelus dada. Untung kamu istriku, Put. Kalau enggak, sudah kuplester mulutmu.
Jata menebas perdu dengan mandau. Ia sengaja menunggu. Benar saja makhluk itu datang. Desahan panjang yang menyayat hati mendahului kehadirannya. Tiba-tiba saja, segerombolan makhluk berwajah hitam sudah berada ditempat itu. Jata mengamati, desahan itu sekarang tidak mempengaruhi dirinya.
Jata meraba mata kalungnya. Ia meniatkan sebentar. Segera, buaya-buaya bermunculan, memorak-porandakan gerombolan makhluk hitam itu. Terdengar lengking kepedihan saat makhluk-makhluk itu dikalahkan dan berubah menjadi debu. Hanya saja, kemenangan itu tidak berlangsung lama. Di belakang mereka, datang secara bergelombang, puluhan yang lain, menyerbu ketujuh buaya. Mereka mulai kewalahan.
Jata ikut terjun dengan mandau menebas ke sana dan ke mari. Buaya-buaya itu seolah mendapat energi baru. Mereka mengganas kembali. Gelombang kedua itu berhasil dilumpuhkan.
Jata mengira, serangan itu sudah selesai. Ternyata salah. Dari balik kabut hutan, muncul dua sosok perempuan. Jata ingat, itu adalah pendamping makhluk tinggi yang memanggilnya dulu. Jata ingat tanduk mereka yang tidak seberapa panjang.
Kedua makhluk itu menatap dengan mata menyala. Melalui tatapan itu, Jata tahu nama mereka Bilah dan Mirah. Bilah-lah yang menempel di tubuh Puput waktu itu.
Jata murka. Bisa-bisanya mereka menyentuh istrinya.
Istrimu milik kami, bagian dari kami! desis makhluk itu tanpa membuka mulut.
Jata menerjang dengan mandau. Para buaya menyertai. Kedua sosok itu berubah menjadi bayangan yang melibas para buaya. Rupanya tingkatan memang sangat berpengaruh pada kekuatan. Tidak perlu bersusah payah, buaya-buaya itu terlempar dan terkapar tanpa daya.
Sekarang, keduanya menatap ke arah Jata. Mulut mereka terbuka sangat lebar, menunjukkan lidah panjang yang terjulur dan meneteskan liur. Kuku-kuku tangan makhluk aneh itu memanjang, siap mencakar dan merobek daging.
Mereka menyerang. Jata berusaha menangkis dengan mandau. Apa daya, ia kalah tenaga. Salah satu cakar Mirah merobek dadanya. Jata terjatuh ke belakang, rebah dengan dada berlumur darah yang menghitam.
Bilah dan Mirah melompat hendak mencakar kembali. Tiba-tiba, seekor buaya putih sepanjang sepuluh meter muncul, menerjang kedua makhluk itu. Keduanya mengeluarkan lengkingan menyakitkan sebelum berbalik dan pergi. Buaya itu bergerak cepat. Bilah tertangkap dan segera diremukkan oleh sepasang rahang yang kuat. Tubuh makhluk itu berubah menjadi abu dan percikan api.
//////////////
Lanjut Senin depan.
Nggak sabar nunggu Senin? Cuuus aja yuk ke Dreame. Di sana udah tamat. Ada koin gratisnya juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Percobaan 44
ParanormalJata benar-benar kehilangan kesabaran. Setelah enam bulan menikah, Puput tetap perawan. Tentu saja, harga dirinya sebagai lelaki jatuh bagai keset kaki. Hati Jata semakin tersayat manakala membaca catatan kegagalan percobaan-percobaan mereka. Percob...