Bab 1 Suami Batu

11K 520 14
                                    

"Bagaimana Innara, sudah hamil?"

Langkahku terhenti di balik dinding pembatas antara ruang tamu dan ruang tengah saat mendengar Mami bertanya pada Mas Bian.

"Nggak usah nanya hal itu bisa nggak, Mi?"  Nada tak senang kentara sekali terdengar dari suara lelaki itu.

"Ya, wajar, toh Mami nanya, kalian sudah menikah hampir lima bulan, lho!" Mami memelankan suaranya, mungkin takut kalau aku muncul tiba-tiba di hadapan mereka.

"Aku nggak mau punya anak," ucap Mas Bian lirih setelah terdiam cukup lama.

Nampan berisi minuman di tanganku hampir saja terlepas. Sungguh tidak disangka, kalimat itu keluar dari mulut suamiku sendiri.

"Jangan bicara sembarangan kamu, Bian!" Mami menggeram, tampak betul berusaha menahan agar nada suaranya tetap rendah.

"Aku serius. Mami tahu sendiri kalau pernikahan kami ... Ck, Sudahlah!" 

Aku bisa membayangkan ekspresi Mas Bian saat ini. Wajah datar dan bibir sedikit cemberut. Ekspresi yang selalu ditunjukkannya padaku selama kami berumahtangga. 

"Apa kurangnya dia?" Mami seperti putus asa menghadapi putranya itu.

"Ini nggak ada hubungan dengan kekurangan, Mi. Aku hanya nggak bisa. Aku nggak cin ...."

"Jangan lanjutin! Besok kamu ke rumah. Kita ngobrol di sana!" Ada amarah tertahan pada suara Mami, diiringi bunyi kursi yang digeser dengan kasar.

Aku buru-buru menyingkir kembali ke dapur sebelum Mami memergokiku menguping pembicaraan mereka. Susah payah aku menahan agar air mata tak tumpah. Tidak. Aku tidak boleh menangis. Air mataku terlalu berharga untuk lelaki tak berperasaan itu.

"Raaa ... Mami balik dulu, ya!" Mami tahu-tahu sudah muncul di pintu dapur.

"Eh, Mi. Kok buru-buru? Nara baru saja mau buatin minum."

"Ini tiba-tiba ada telpon dari rumah, teman Mami datang."

Alasan yang dibuat Mami sangat mengada-ada, tapi aku hanya mengangguk sopan dan menyambut rangkulannya dengan perasaan tak keruan.

Setelah kepergian Mami, rumah kembali hening seperti kuburan. Hanya bunyi halus dari kipas angin di ruang tamu dan dengungan mesin lemari es yang terdengar. Mas Bian seperti biasa sibuk dengan ponselnya. Sedikit pun tak berniat mengajak bicara, walau aku hanya berjarak tiga meter darinya. 

Ini Sabtu siang. Tidak seperti pasangan lain yang menghabiskan akhir pekan jalan-jalan di luar. Kami hanya mendekam di rumah saja, sibuk dengan urusan masing-masing.

Pernikahan macam apa ini?

Hatiku nelangsa kala teringat perkataannya dengan Mami tadi. Kalau memang dia tidak mencintaiku, mengapa dulu bersedia menikahiku? Tanpa ada penolakan apa-apa saat keluarganya datang ke rumah memintaku menjadi menantunya.

Pertanyaan itu sebenarnya sedari dulu terus berdengung di kepalaku bagai ribuan lebah. Namun aku tak kunjung punya keberanian untuk bertanya. Wajah bekunya, sikap dinginnya membuat nyaliku ciut untuk memulai pembicaraan mengenai hal itu terlebih dahulu. 

Aku kembali mengenang malam setelah hari pernikahan kami, lima bulan yang lalu. Setelah melewati serangkaian acara melelahkan, mulai dari akad nikah sampai resepsi, aku dan Mas Bian akhirnya berada di kamar pengantin kami di rumah keluarganya. Berdua saja.

Canggung. Itu yang kurasakan saat menyadari dia tak berkata sepatah kata pun. Setelah berganti pakaian dia sibuk memainkan ponselnya. Aku yang baru keluar dari kamar mandi dengan piyama lengan panjang lengkap dengan kerudung, tak berani mengusiknya.

"Aku nggak akan menyentuhmu sebelum kita konsultasi ke dokter untuk menentukan alat pengaman yang cocok untukmu."

Itu kalimat pertama yang diucapkannya, setelah mendiamkanku selama hampir setengah jam. Saat mengucapkan itu, dia tak menatap wajahku sama sekali. 

Aku tertegun, sungguh tak menyangka kalimat seperti itu keluar dari mulutnya. Namun aku hanya bisa mengiyakan dengan suara lirih. Tak lama kemudian Mas Bian keluar dari kamar, meninggalkanku sendirian dalam kebingungan. Entah pukul berapa dia kembali  ke kamar, karena saat azan subuh berkumandang aku baru menyadari dia tidur di karpet.

Benar saja, sore harinya dia mengajakku ke dokter kandungan untuk memilihkan alat pengaman yang cocok untuk kami. Lalu, pil demi pil itu menemani hari-hariku.

"Jangan lupa minum pilnya" adalah satu-satunya kalimat yang sering diucapkan padaku. Terkadang pada kondisi-kondisi tertentu saat dia terpaksa menanggapi kalau aku mengajaknya bicara. Selebihnya lelaki itu memilih bahasa tubuh untuk berkomunikasi. Mengangguk atau menggeleng saat ditanya. Mengedikkan bahu untuk mengatakan, terserah atau tak peduli. Mengucap salam saat datang, atau menggumamkan kata terima kasih setelah aku menghangatkan malam-malamnya.

Dulu aku pikir, Mas Bian hanya ingin aku menunda kehamilan. Mungkin dia ingin kami saling mengenal terlebih dahulu sebelum direpotkan oleh kehadiran bayi. Namun, setelah mendengar pengakuannya pada Mami tadi, aku tersadar dia memang tak pernah menginginkan anak!

Tanpa sadar aku mengembuskan napas dengan keras dan terkejut sendiri ketika pandangan kami bertemu. Hanya beberapa detik, tapi mampu membuat perasaanku semakin buruk. Mas Bian mengerutkan alisnya dengan ekspresi seperti terganggu, lalu kembali menekuri ponselnya, seolah-olah tak peduli.

Aku mengumpat diam-diam, walau setelahnya menegur diri sendiri tatkala teringat pesan Ibu untuk selalu memuliakan suami.

Ah, seandainya Ibu tahu suami macam apa menantunya ini, apa beliau akan tetap berkata hal yang sama? Rasanya sudah tak sanggup lagi diperlakukan seperti ini. Mas Bian tak pernah menganggapku ada. Bahkan ikan-ikan koi peliharaannnya jauh lebih beruntung karena sering diajak bicara. 

"Mas mau makan sekarang?" tawarku setelah berhasil menenangkan hati yang dongkol.

Dia hanya menggeleng tanpa menoleh sama sekali. Matanya tetap fokus pada layar ponsel. Bahkan terkadang aku cemburu pada benda yang tak pernah lepas dari tangannya itu.

"Kalau Mas lapar, makanannya ada di meja. Aku ijin ke rumah Bu RT, soalnya ada pengajian di sana sore nanti, aku datang lebih awal karena mau bantu-bantu."

Hening.

"Mas?"

"Ya, pergilah!" Ia berdecak kesal, lalu mengubah posisi tubuhnya membelakangiku.

Aku menghela napas panjang, lalu bergegas ke kamar. Mengganti pakaian secepatnya dan tertegun menatap bayanganku di cermin.

Kalau saja aku menolak untuk menikah secepat ini, mungkin hidupku akan berbeda.

Saat masih gadis, aku pernah membayangkan menikah di usia dua puluh tujuh tahun, setelah punya usaha sendiri atau paling tidak bekerja di bidang yang sesuai dengan jurusanku saat kuliah. Tentunya engan lelaki baik hati yang sangat mencintaiku, bukan malah terjebak dalam pernikahan bersama lelaki membingungkan seperti Mas Bian.

Namun, rencana memang tidak selalu sejalan dengan kenyataan yang ada. Menikah di usia dua puluh tiga, jadi ibu rumah tangga dan hanya dijadikan pajangan oleh suami adalah takdir yang harus kujalani saat ini. Suka atau tidak. 

_tbc_

 



 
























ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang