Bab 10 - Makan Malam Mencekam

3.1K 319 5
                                    

Acara makan malam bersama keluarga besar Bian membuatku gugup. Mereka yang tengah mengumbar senyum yang tak dapat kuartikan apa maknanya itu, duduk tepat di seberang meja berhadapan langsung denganku. Kata-kata yang terlontar dari mulut para iparku itu sangat tertata dan diucapkan dengan agak formal, membuat suasana seperti berjarak. Belum lagi aura yang terpancar dari apa yang melekat pada diri mereka, membuatku terintimidasi dan tak bisa mengangkat wajah dengan wajar. Sesekali menunduk adalah pilihan yang aman buat jiwaku yang tiba-tiba mengerut saat berada di tengah-tengah keluarga ini.

Bapak duduk di kursi paling ujung, seperti raja di singgasananya. Ia makan dengan tenang, tanpa suara. Berbanding terbalik dengan Mami yang berada di samping Bapak, justru bertindak bak juru bicara. Ia mengatakan betapa senangnya karena malam ini kami bisa berkumpul dengan formasi lengkap. Ia juga memuji Arga yang baru saja memenangkan sebuah proyek besar di kantornya yang bergerak di bidang properti. Bima anak Mami nomor dua yang merupakan dokter spesialis bedah, juga baru saja diangkat menjadi kepala rumah sakit swasta tempatnya bekerja selama ini.

Raya tampak jelita dalam balutan gaun malam warna anggur pekat, sangat kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Seuntai kalung mutiara menghiasai leher jenjangnya. Sementara istri Bima, Lusia tak kalah memukau. Berdasarkan cerita Mami, Lusia memiliki klinik kecantikan yang menggandeng salah satu artis muda yang tengah naik daun sebagai brand ambassador-nya. Pantas saja perempuan berdarah Menado itu punya semacam aura bintang, yang kerlipnya membuatku silau.

Para ipar dan anak-anak mereka sungguh seperti keluarga ideal yang mungkin diimpikan oleh hampir semua orang. Berparas rupawan, berpendidikan tinggi serta bergelimang harta. Obrolan mereka terdengar seru, tapi aku tidak terlalu memahami. Lagipula tidak ada yang tertarik mengajakku terlibat, itu lebih bagus sebenarnya, sehingga aku tidak harus bersusah payah mengimbangi pembicaraan mereka.

Diam-diam aku melirik Bian yang makan dengan tenang di sampingku, tampak tidak peduli dengan sekitarnya.

"Innara bagaimana? Betah tinggal di Jakarta?" Suara Bapak yang tegas dan berwibawa, menghentikan pembicaraan seru antara Lusia dan Mami soal rencana pembukaan cabang klinik kecantikannya di salah satu mall di kota Surabaya.

"Be ... betah, Pak," cicitku lemah, lalu tersenyum kepada Bapak yang mengawasi dengan mata tajamnya yang seakan bisa menembus isi kepalaku.

"Bagus kalau begitu. Rencana ke depan bagaimana? Ingin punya kesibukan di luar rumah atau cukup dengan menjadi ibu rumah tangga saja?"

Semua mata berfokus ke arahku sekarang. Aku terkejut saat menyadari seperti sedang tersesat dalam belantara hutan asing dan berbahaya. Semua yang terhampar di depan mata seolah menyembunyikan bom molotov yang bisa saja meledak sewaktu-waktu kalau aku tak berhati-hati. Oh, mungkin aku terlalu berlebihan, tapi sungguh perasaan tidak nyaman ini menggerogotiku tanpa ampun, sampai-sampai tanganku pun berkeringat.

Dari ekor mata, kulihat Bian menghentikan suapannya. Sepertinya ia juga memasang kuping tinggi-tinggi, ingin mendengar pendapatku.

"Ehm, saat ini ada kesibukan sedikit, Pak. Di dekat rumah, tapi nggak terlalu menyita waktu."

Sebelum masuk ke keluarga ini, aku tidak pernah malu dengan latar belakang dan semua keterbatasan yang kumiliki. Namun sekarang, setelah mengetahui betapa hebatnya pencapaian-pencapaian yang baru saja kudengar dari para ipar, aku merasa mati kutu.

"Nara ngajar di TK dekat rumah, ya, katanya tadi?" Raya bersuara.

"Iya, Mbak."

"Lho? Beneran? Kok nggak ngasih tahu? Ih, kalau kamu suka ngajar, kenapa nggak gabung aja di yayasan kita?" Mami langsung menyambar, seraya melayangkan pandangan protes ke arahku.

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang