BAB 25

2.7K 232 26
                                    

Terima kasih sudah mengikuti kisah Bian dan Innara.

Cerita ini sudah tamat di KaryaKarsa akun saya @Lia Musanaf dan di KBMAPP akun saya @lia_musanaf

Teman-teman bisa baca versi lengkap di kedua platform tersebut,ya.

😘

🍁🍁🍁

Always dress like you're going to see your worst enemy. (Selalu berpakaian seperti kau akan menemui musuh terburukmu). Kemarin Anne sempat mengatakan kalimat seperti itu padaku. Jangan pernah berpenampilan lusuh dan seolah-olah tidak siap saat kamu bertemu musuh. Aku hanya tertawa menanggapinya.

Well, sebenarnya aku tidak punya musuh yang harus kukalahkan. Namun, saat memakai salah satu pakaian yang dipilihkan Anne kemarin, entah mengapa aku merasa sangat percaya diri untuk memenangkan suatu "pertempuran". 

Anne benar, pakain yang bagus itu adalah yang dapat menonjolkan karakter terbaik kita. Aku mengagumi pantulanku di cermin. Scarf bermotif abstrak warna salem bertengger di kepalaku menjadi kerudung. Rok lipit abu tua dan blazer warna senada sangat pas dan nyaman dipakai seakan memang diciptakan khusus untukku. Tak lupa  jam tangan pemberian Bian dan sepatu angkle boot melengkapi penampilanku hari ini.

Pukul setengah tujuh saat aku keluar kamar dan mendapati Bian sudah berada di meja makan. 

"Mas, udah sarapan?"

"Belum." Ia tertegun ketika kami bertatapan. Wajahnya tampak sungguh-sungguh saat mengamatiku.

"Ada apa?" Aku agak salah tingkah dipandangi seperti itu.

"Kamu tampak berbeda. Pakaian itu cocok untukmu." Walau ia tersenyum, tapi mendung yang bergelayut di matanya sejak pembicaraan kami dalam perjalanan pulang kemarin, belum sepenuhnya pergi.

"Ini baju pilihan Anne kemaren."

"Seleranya bagus," komentarnya singkat, lalu mulai menyuap sarapan tanpa bicara apa-apa lagi hingga makanan di piring tandas. 

"Aku pergi duluan, ya. Maaf, nggak bisa mengantarmu. Kamu sudah pesan taksi, kan?"

"Iya, nggak apa-apa, Mas. Selama ini, kan aku naik taksi terus." Aku tertawa keheranan melihat sikapnya yang tak biasa.

"I know ... tapi aku janji nggak selamanya kamu naik taksi terus ke sana."

"Nggak masalah, kok, Mas. Beneran."

"Ok. Aku pergi." Ia mengecup ubun-ubun sekilas, sebelum berlalu. 

Selama kami menikah, baru kali ini Bian pamitan sambil mengecup keningku. Aku meraba detak jantungku sendiri yang iramanya mulai tak normal. Lama-lama aku bisa goyah kalau lelaki itu bersikap baik dan manis begini.

Ucapannya tempo hari kembali terngiang. Mungkin semua perhatian dan hal manis yang ditunjukkannya belakangan ini, untuk membuktikan kalau ia memang sungguh-sungguh dengan ucapannya untuk menjalani pernikahan ini denganku, dari awal lagi. 

Rasa bahagia dan kuncup-kuncup harapan bermekaran di hatiku, secepat rasa takut dan ragu yang mengintai dari sisi yang lain. Aku takut bermimpi ketinggian, dan saat tersadar harus menerima kenyataan menyakitkan. Namun, aku juga tak bisa mencegah hatiku mengangankan masa depan yang indah bersamanya.

***

Dari ekor matanya, aku menyadari kalau Raya tengah memindai penampilanku. Beberapa hari ini, perempuan itu memang selalu berada di kantor bagian administrasi tempat aku menyelesaikan banyak pekerjaan selama ini.

"Jam tangan yang bagus," katanya sembari membolak-balik beberapa berkas pendaftaran murid baru di meja.

"Terima kasih, Mbak. Mas Bian yang ngasih," ucapku sambil tersenyum kecil.

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang