Setelah berhasil menenangkan diri, aku menyusulnya ke kamar. Seperti kata Mami, aku hanya harus lebih banyak bersabar menghadapi bayi besar pemarah itu. Walau kalau dipikir-pikir, sih, seharusnya dia yang bersikap lebih dewasa dariku, mengingat jarak usia kami terpaut cukup jauh. Tujuh tahun!
"Aku baru dua hari lupa minum pil. Dan selama dua hari ini ... kita juga nggak ...." Aku mengembuskan napas yang tiba-tiba terasa sesak. "Jadi tenang saja, aku nggak akan hamil, kok!"
Dia sedang berbaring saat aku menghampirinya. Kepalanya sengaja ditutup bantal, tapi aku yakin dia mendengar.
"Mulai sekarang, biar aku yang urus soal itu," ucapnya tiba-tiba, lalu bangkit dari tidurnya.
"Tapi Mas masih berhutang penjelasan padaku. Kenapa aku nggak boleh hamil?" Entah keberanian dari mana, aku kembali menanyakan hal tersebut.
"Aku belum mau punya anak. Itu saja."
"Bukankah seharusnya ini kita diskusikan bersama? Kenapa Mas justru memutuskan sendiri?"
"Selama ini kamu nurut aja, kok. Kenapa sekarang dipermasalahkan?" Dia membuang pandangannya saat aku menuntut penjelasan lebih jauh.
"Sampai kapan?"
"Aku nggak tahu."
Dia keluar kamar meninggalkanku yang termangu mencoba mencerna semua ucapannya.
Samar-samar terdengar derum mesin mobil menyala, tak lama kemudian bunyi pintu pagar terbuka. Aku mengintip dari jendela kamar dan melihat mobil yang dikendarai Mas Bian perlahan meninggalkan garasi.
Aku geregetan sendiri memikirkan betapa egoisnya lelaki itu. Pergi tanpa pamit. Bicara semaunya dan memutuskan hal penting tanpa meminta persetujuanku terlebih dahulu. Kalau tidak ingat nasihat Ibu sesaat sebelum menikah, mungkin sudah sejak lama aku menyerah menghadapi sikap kekanakannya itu.
***
Rumah kami benar-benar sepi seperti kuburan karena sudah dua hari ini aku mendiamkan Mas Bian. Walau sepertinya dia juga tak ambil pusing, alih-alih meminta maaf atau memberi penjelasan kepadaku.
Setelah kejadian di malam itu, Mas Bian baru pulang menjelang dini hari. Paginya dia kesiangan, dan sedikit kelabakan mencari pakaian kerja. Biasanya semua keperluannya mulai dari ujung kaki sampai ujung rambut selalu kusiapkan di atas ranjang saat dia sedang mandi. Namun hari itu aku tidak melakukannya karena masih dongkol.
Mas Bian mengacak-acak laci dengan kening bekerut-kerut saat aku masuk ke kamar setelah menyiapkan sarapan. Aku terkejut melihat pintu lemari semuanya terbuka, dan beberapa laci berisi pakaian dalam dan kerudungku berserakan.
Dia melirikku sekilas, lalu mengembuskan napas kesal tanpa berkata apa-apa.
Aku hampir saja membuka mulut menanyakan apa yang dia cari, tapi tak kulakukan. Tidak, aku tidak akan menyerah secepat itu, meski rasanya ingin menangis melihat lemari yang selalu rapi menjadi supet berantakan akibat ulahnya.
"Kaus kakiku mana?" Akhirnya si Batu itu menyerah juga. Walau keengganan terpampang jelas dari wajahnya saat mengajakku bicara.
Aku menunjuk menggunakan dagu ke arah laci lemari paling bawah. Dia mengikuti arah pandangan mataku, lalu membuka laci tersebut. Embusan napas lega keluar dari mulutnya.
Ini hari kedua aku mendiamkannya. Namun, kali ini pakaiannya sudah kusiapkan di ranjang karena tak ingin mengulang kejadian "tragedi lemari berantakan" seperti kemarin.
"Sampai kapan kamu mau bisu kayak gini?" Mas Bian bertanya setelah menghabiskan sarapannya. Dia mengunci tatapannya padaku.
"Bukannya Mas pernah bilang bosan mendengarku bicara terus?"
Dia meneliti wajahku sejenak dengan ekspresi datar seperti biasa. "Terserahlah! Asal nggak bilang saja aku nggak peka karena nggak nanya."
"Lah, kan memang iya."
"Terus kamu maunya apa?" Dia mengunci tatapannya padaku, sejenak tampak berpikir.
Aku hanya mengedikkan bahu, lalu pura-pura menyibukkan diri mengelap piring dengan serbet. Jujur saja aku masih berharap ada keajaiban, lelaki ini melunak dan meminta maaf padaku. Namun sepertinya mimpiku ketinggian, karena setelah sarapan dia pergi begitu saja.
Tbc
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...