"Hei, kamu ngapain di sana?"
Bian tampak agak terkejut saat berbalik dan mendapatiku sedang mengawasinya. Langit yang semakin gelap karena mendung kian pekat, selaras dengan kesenduan di wajahnya. Untuk sesaat aku seperti larut dalam suasana muram yang memerangkap kami berdua di sini.
"Kolamnya bagus." Aku mengelak dari pertanyaannya, lalu bangkit mendekati lelaki itu.
"Bisa berenang, nggak?"
"Bisa ... gaya batu." Aku tertawa. "Sekali nyemplung langsung teggelam."
"Kalau jadi pindah ke sini, kamu bisa belajar renang sama instruktur yang sudah terpercaya nanti. Privat."
"Hmmm ...." Aku hanya tersenyum tipis sambil memandangi wajahnya lekat.
"What? Kenapa kamu memandangiku seperti itu?"
"Hanya penasaran. Untuk apa Mas melakukan semua ini?"
"Apa ada yang salah?
"Ya, nggak, sih. Hanya saja aku masih sering nggak percaya kalau ini beneran kamu, Mas. Perubahanmu yang tiba-tiba itu kayak masih asing aja bagiku," ungkapku jujur.
"Kamu lebih suka sikapku yang dulu, ya?" Lelaki itu mengusap-usap belakang kepalanya, seperti yang sering ia lakukan saat terlibat obrolan denganku.
"No. Thank's." Aku tertawa kecil. "Walau tetap saja, aku masih belum terbiasa dengan sikapmu yang seperti ini."
"Aku hanya melakukan yang seharusnya yang kulakukan."
Bian mengalihkan tatapannya dariku. Seperti setengah melamun, lelaki itu memandangi kolam renang di hadapan kami.
"Seharusnya sejak awal aku mengajakmu tinggal di sini dan memperlakukanmu dengan baik ... like ... pasangan normal lainnya."
Aku hanya diam mendengarkan. Berharap semua yang ia katakan itu benar-benar keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam.
"Aku akan berusaha memenuhi semua harapanmu, harapan ibumu saat dulu Bapak melamarmu untukku," imbuhnya kemudian.
"Semuanya?"
"Ya ... kamu berhak mendapatkan semua ini sebagai menantu Bapak. Rumah, kendaraan, rekening bank ... pelayanan nomor satu di tempat mana pun yang mau kamu kunjungi."
"Semua ini hanya tentang ... uang, bukan?" gumamku pahit.
"Nggak ada yang salah dengan itu, Nara. Tiap orang punya tujuan hidup dan mimpi masing-masing."
"Bagaimana denganmu? Mas juga pasti punya tujuan hidup dan mimpi, kan?"
"Itu nggak penting. Sekarang aku hanya ingin mewujudkan semua mimpimu."
Bagaimana kalau mimpiku bukan lagi tentang uang? Aku mengembuskan napas panjang. Mengurai sesuatu yang tiba-tiba terasa sesak di dada.
Apa terlalu serakah kalau aku juga punya mimpi lainnya? Mimpi menjalani hubungan normal dengannya. Mimpi untuk bisa memiliki hatinya. Mimpi untuk menjadi satu-satunya perempuan dalam hidupnya, tanpa dibayangi masa lalu lagi.
Aku sering mengangankan menjalani pernikahan bahagia dan memiliki banyak anak dengan lelaki ini. Empat atau lima, barangkali? Rumah sebesar ini pasti akan terasa hidup kalau penghuninya ramai. Aku selalu suka rumah yang ramai dan hangat penuh cinta. Seperti rumah masa kecilku saat Ayah masih bersama kami dulu.
Aku meneguk ludah susah payah, kala menyadari bahwa semua harapan itu, harus kukunci rapat-rapat di dalam hati. Lidahku terlau berat untuk berkata. Tidak sanggup rasanya mengutarakan semua itu kepada Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...