Dalam perjalanan pulang aku kembali menanyakan apa yang terjadi selama dua tahun ia menghilang itu, tapi Zaidan tidak memberiku kesempatan. Ia mengalihkan topik dengan mengobrol dan menggoda Raffa, seperti sengaja menghindar. Akhirnya aku menyerah.
"Bagaimana kehidupan pernikahan?" Ia bertanya kemudian, setelah tak ada lagi lawan bicara karena Raffa tertidur.
Aku tertawa kecil. "Menikahlah, maka kamu akan tahu."
"Jawaban macam apa itu?" Ia mencebik
"Lha iya. Menikah dulu baru tahu."
"Kalo ngeliat kamu yang tampak semakin gemuk, kayaknya nikah bikin happy, ya?"
"Masa iya aku gemuk?"
"Beda pokoknya dari terakhir kita ketemu. Atau jangan-jangan kamu hamil? Dulu kamu kurus banget kayak tiang listrik."
"Sembarangan!" Aku memukul bahunya dengan boneka yang ada di mobil.
Akhirnya kecanggungan yang tadi sempat kurasakan mulai menghilang. Ia masih Zaidan yang sama. Sahabatku yang suka iseng dan meledek tiap kali ada kesempatan.
"Oh ya. Kamu sama Rania masih, kan? Buruan nikah jangan pacaran mulu."
Zaidan hanya tertawa kecil. Tatapan matanya terlihat menerawang saat memandangi jalanan.
Aku teringat tahun-tahun yang telah kami lewati bersama. Sering bertengkar di masa anak-anak dan remaja, lalu berbaikan setelahnya. Ia dulu suka sekali mengolok tubuhku yang kurus dan itu sangat menyebalkan. Biasanya ibunya akan memarahinya dan menyuruh Zaidan datang ke rumahku, mengantar camilan sebagai permintaan maaf.
Saat kuliah, banyak orang mengira Zaidan kakakku, mengingat betapa perhatian dan protektifnya ia padaku. Mencarikan tempat kost, mencarikan perlengkapan kuliah, dan selalu siap kapan saja saat aku butuh bantuan. Tak sampai di situ, ia juga selalu ikut campur kalau ada lawan jenis yang mencoba mendekat.
"Mereka harus kenal dulu sama aku, biar nggak macam-macam sama kamu." Begitu alasannya, yang membuatku terharu walau lebih sering sebal sebenarnya. Ia membuatku seolah tak becus mengurus diri sendiri.
Zaidan cukup populer di kalangan gadis-gadis. Dan biasanya mereka sering mendekatiku untuk mengorek-ngorek informasi tentang lelaki itu. Lucu memang, saat Zaidan selalu meminta pertimbanganku terlebih dahulu saat menerima atau menolak gadis yang mendekatinya.
Dibandingkan pacar-pacarnya yang lain, Rania yang paling lama berpacaran dengan Zaidan. Hampir setahun, sebelum mereka sama-sama diwisuda.
"Mas Bian baik sama kamu, kan, Ra? Aku ingat dulu dia pernah marahin aku kalau bikin kamu nangis." Zaidan bertanya setelah kami sama-sama terdiam selama beberapa waktu.
"Ha?" Aku terkejut tak menyangka mendapat pertanyaan tiba-tiba seperti itu. "Ya. Dia baik ... ngemong banget orangnya."
Semakin hari aku semakin mahir berbohong. Aku tertawa pahit menyadari keahlianku yang satu itu. Awalnya membohongi Ibu, sekarang Zaidan.
"Aku senang mendengarnya." Ia menoleh sesaat, lalu tersenyum samar. "Gimana rasanya jadi menantu Pak Aziz? Kamu jadi tuan putri dong pastinya?" Kali ini ia terkikik. Khas Zaidan, yang suka melucu dan mengolok pada saat bersamaan.
"Apaan, sih? Nggak jelas banget!" Aku memberengut.
"Ibumu, lho, tiap cerita soal kamu yang jadi menantu Pak Aziz. Mukanya tuh bahagia banget. Bangga gitu." Senyum tak lepas dari bibir Zaidan.
"Kamu kayak nggak tahu Ibu aja." Aku geleng-geleng kepala. "Kamu pasti mual, ya, dengernya."
"Nggaklah. Aku ikut bahagia. Serius. Akhirnya ada juga cowok yang mau sama kamu. Nggak tanggung-tanggung, anaknya Pak Aziz yang paling ganteng lagi. Jangan-jangan dia lagi merem saat minang kamu, Ra?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...