"Ngelamunin apa?"
"Nggak, melamun, kok. Hanya merasa kecil banget saat melihat pemandangan kota dari sini. Aku nggak pernah membayangkan sebelumnya, akan menginjakkan kaki di tempat seperti ini."
Bian tertawa kecil, lalu merangkul bahuku dengan kasual. "Ini baru permulaan. Aku akan memberimu kehidupan dan pengalaman lain yang nggak pernah kamu bayangkan sebelumnya."
Hangat suaranya membelai hatiku. Entah kehidupan seperti apa yang ia maksud, aku sedang tidak ingin memikirkannya. Yang jelas, saat ini aku hanya ingin menikmati keindahan yang sedang berlangsung. Pemandangan menakjubkan di hadapan kami dengan Bian yang tengah memelukku.
Perlahan ia mengurai gulungan rambutku yang disanggul seadanya, lalu menyisir dengan jemarinya. Hangat telapak tangannya saat berhenti di tengkuk menimbulkan sensasi ganjil memabukkan. Hati-hati, ia menyingkap rambut di pundakku, dan mendaratkan kecupan di sana.
"Rambutmu, bagus," desisnya tepat di daun telinga. Seketika aku merinding dan merasakan debaran di jantungku mulai menggila.
Dari pantulan kaca jendela siluet bayangannya yang tengah memelukku tampak sangat memukau. Hanya sebentar saja, sebelum kemudian tangannya yang berada di bahuku, mulai merambahi bagian-bagian lain. Oh, tentu saja aku tahu apa yang ia inginkan. Ingatan tentang kejadian saat terakhir kali kami menghabiskan malam bersama, membuatku sontak menghindar.
"Kenapa?" Ada nada kecewa dari suaranya.
"Mas, kan tahu aku nggak pernah lagi minum pil-pil itu," ucapku lirih. "Aku nggak ingin lagi disalahkan,"
"Aku akan berhati-hati." Suaranya terdengar berat. "Aku juga nggak akan menyalahkanmu lagi atas apa pun yang terjadi."
Ia memutar tubuhku sehingga kami berhadapan. Dari temaram cahaya lampu kamar, matanya semakin menggelap saat kami bertatapan. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, ia langsung membungkam mulutku dengan sebuah ciuman panjang.
Waktu seolah terhenti, dan kami berdua seperti terjebak dalam dimensi lain. Suara-suara sumbang dan keraguan di kepalaku mengenai lelaki ini, perlahan memudar hingga akhirnya lenyap tak bersisa. Hanya ada gumaman penuh pemujaan yang keluar dari bibirnya di sela-sela deru napasnya dan napasku yang saling berpacu untuk mengalahkan satu sama lain. Hingga akhirnya setelah melalui pergumulan panjang itu, aku terkapar dan tak ingat apa-apa lagi.
Sudah menjelang dini hari, saat tiba-tiba aku terjaga. Dengan tubuh terasa porak poranda, aku berusaha bangkit, dan baru menyadari tak ada Bian di sisiku. Kasur tempatnya tadi berbaring juga dingin, seperti sudah lama ditinggalkan.
Samar-samar aku mendengar suaranya. Ternyata ia sedang duduk menghadap jendela, membelakangiku. Tangan kanannya tampak memegang gelas berisi minuman. Sedangkan tangan kirinya, memegang ponsel. Sepertinya ia tengah menerima telepon dari seseorang.
Aku mencoba menajamkan telinga, tapi tetap saja tak dapat mendengar suaranya dengan jelas. Hanya beberapa kata yang bisa kutangkap.
"... di markas ... lanjutin yang gue bikin dulu." Ia terdiam sesaat, mungkin mendengar lawan bicaranya di ujung telepon.
"... pasti bakal tahu ... gue harus siap ...."
Rasa penasaran membelitku. Oh, mengapa aku harus selalu berada pada posisi menguping pembicaraan orang lain?
Bian menyesap minumannya perlahan, sebelum kembali berbicara. "Itu resiko ... nggak mungkin dihindari ...."
"Udah hampir pagi, lo istirahat sana!" Kali ini, walau suaranya pelan, tapi terdengar cukup jelas. Ia bangkit dari duduknya, lalu berdiri di dekat jendela seperti tengah melamun.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...