Bab 16c. Lembar-lembar Rahasia

2.9K 321 27
                                    

Aku baru sadar kalau ketiduran dan terbangun saat mendengar bunyi ketukan di pintu kamar. Saat pintu terbuka ternyata  ada Mbok Min yang menunduk takzim, mengatakan kalau habis Magrib Mami menyuruhku turun untuk makan malam.

Aku melirik arloji yang saat ini menunjukkan hampir pukul setengah enam sore.

Setelah membasuh wajah dan merapikan kerudung, aku memutuskan untuk langsung turun saja dan mendapati rumah masih sepi sama seperti tadi.

Demi membunuh rasa bosan aku berkeliling, mengagumi interior rumah Mami yang bergaya klasik. Foto-foto keluarga tersusun rapi di finding ruang tengah. Aku tersenyum melihat deretan foto Bian dari bayi, masa sekolah hingga foto saat ia menikah denganku. Agaknya Mami memang suka mengabadikan perjalanan hidup anak-anaknya. Karena Arga dan Bima juga memiliki koleksi foto serupa.

Dari jendela, kulihat Bian baru saja memarkir motornya di garasi, dan masuk melalui teras samping. Aku berniat untuk menyambutnya, tapi urung saat melihat Mami tergopoh-gopoh menghampirinya, dan langsung menarik tangan Bian menuju ruang baca.

"Ada apa, sih, Mi?" Masih sempat terdengar gerutuan Bian sebelum akhirnya senyap saat Mami menutup pintu.

Aku dilanda bimbang, ingin menguping pembicaraan mereka atau mengabaikan saja dan kembali ke kamar. Namun, rasa penasaran lebih mendominasi.

Aku berjingkat keluar, menuju taman samping. Untung saja jendela ruang baca yang langsung menghadap taman tersebut, sedang terbuka. Aku bisa mendengar jelas pembicaraan mereka saat berjongkok dekat pot bunga di bawah jendela.

"Innara yang ngadu?" Nada suara Bian terdengar gusar.

"Lha, ngadu gimana. Wong Mami liat sendiri Chacha di sekolahnya cium tangan Nara. Ya Mami nanyalah."

"Ya, apa salahnya, sih, kami tetangga?"

"Kamu sadar nggak, bagaimana kalau Davin tahu Celine tinggal di sana?"

"Ya memangnya kenapa? Toh, Celine bisa tinggal dimana pun dia mau. Mereka tuh sudah pisah, Mi."

"Pisah?"

"Ya, hanya saja keluarga besar Davin belum tahu."

"Dia sengaja, ya, biar kalian dekatan dan bebas ngelakuin hal kayak dulu lagi?"

"Apa maksud Mami? Ngelakuin apa?"

Aku kaget mendengar Bian membentak Mami, sepertinya ia sangat marah.

"Dia bentar lagi jadi janda, sedang kamu udah ada istri, Bian. Sampai kapan kamu bisa sadar sih, Nak?"

"Mami masih belum percaya sama aku? Apa aku selamanya tetap brengsek di mata Mami?"

Ada jeda selama beberapa waktu sebelum Bian melanjutkan.

"Aku udah lakuin semua keinginan Mami. Aku udah berhenti minum, udah nggak lagi main perempuan, dan aku juga mau menikahi Innara. Apa lagi?"

"Jangan sakiti dia!"

Hatiku terenyuh mendengarnya. Mami benar-benar berada di pihakku.

"Aku nggak ada niat nyakitin dia. Dia nggak tahu apa-apa, tapi harus terseret dalam semua kekacauan ini."

"Baguslah kalau kamu sadar."

"Kalian menghukumku dengan harus menikahinya ... dan dihantui rasa bersalah sepanjang waktu karena kejadian mengerikan itu. Mami tahu betapa beratnya itu bagiku?"

Suara Bian tampak frustrasi. Aku seakan bisa membayangkan bagaimana wajahnya saat ini.

Kepingan puzzle yang kususun kembali berantakan saat mendengar pernyataan Bian. Hukuman atas kejadian apa yang dia maksud?

"Itu satu-satunya cara menebus kesalahanmu. Dan sekali lagi Mami ingatkan, jangan sakiti dia dengan membiarkan Celine tetap berada di dekatmu."

"Mami masih belum percaya kalau nggak ada apa-apa di antara kami?" Suara Bian terdengar letih.

"Gimana Mami bisa percaya, kalau Mami liat sendiri tahun lalu kamu tidur dengannya!"

Jantungku seakan melompat saat mendengar fakta itu. Jadi benar ada sesuatu antara Bian dan Celine.

"Ada banyak perempuan yang bisa kutiduri, kenapa aku harus meniduri istri orang?" ucapnya dingin bersamaan dengan bunyi kursi didorong dengan kasar, lalu bunyi langkah kaki mendekat ke jendela.

"Pertanyaan sama yang seharusnya Mami ajuin, ada banyak perempuan di luar sana, mengapa harus istri Davin?"

"Aku mabuk waktu itu, Mi! Dia membawaku ke apartemennya. Nggak terjadi apa-apa!"

"Siapa yang bisa jamin?"

"Terserah Mami mau percaya apa nggak. Toh selamanya aku memang buruk di mata Mami ... di mata semua orang! Semua yang coba kubenahi dari hidupku yang berantakan ini nggak ada artinya sama sekali bagi kalian!"

"Pindahlah ke sini. Mami baru bisa percaya kalau kamu mau pindah ke sini."

"Aku nggak bisa! Jangan paksa aku!"

Suara Bian terdengar sangat lantang tepat di atas kepalaku. Sepertinya ia berdiri di dekat jendela. Aku cepat-cepat beringsut, takut ketahuan. Malangnya aku justru menyenggol pot, membuatnya terguling ke halaman berbatu dan menimbulkan bunyi yang cukup berisik.

Aku mendongak ke jendela dengan was-was. Seketika tubuhku membeku mendapati ada Bian di sana dengan wajah sama terkejutnya denganku. Kami berpandangan selama beberapa detik, sebelum akhirnya aku kabur saat mendengar Mami mendekat dan bertanya pada Bian, apa yang terjadi.

-tbc-

Kalian lebih percaya Mami atau Bian? 🤣

Versi lengkap ada di kbmapp akun saya lia_musanaf 🥰

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang