Bab 6 Kesepakatan

3.3K 352 6
                                    

Hans yang menjadi tetangga baru kami itu berkunjung ke rumah sore ini bersama Chaca keponakannya. Setelah mengobrol sebentar di ruang tamu, Mas Bian mengajak Hans ke halaman belakang, memamerkan koleksi ikan koi-nya.

Sesekali terdengar mereka terbahak-bahak, entah menertawakan apa. Rasa-rasanya baru sekarang aku mendengar Mas Bian tertawa seperti itu. Biasanya, alih-alih tertawa, dia bahkan sangat irit bicara kalau kami hanya berdua saja. Aku mengintip mereka dari jendela dapur. Wajah Mas Bian tampak rileks dan bahagia. Entah kapan dia juga menunjukkan wajah seperti itu padaku.

Suara bunyi kaca pecah disertai jeritan mengagetkanku. Toples kaca berisi kukis, pecah berkeping-keping di lantai keramik.

"Chaca! Hati-hati, Sayang!" Aku bergegas menghampiri gadis kecil yang tampak ketakutan itu. Mata bulatnya yang besar tampak berkaca-kaca saat menatapku.

Tak lama kemudian ia menunduk dalam-dalam sambil terisak-isak.

"Hei, jangan nangis. Nggak apa-apa, kok. Tante nggak marah. Chaca hati-hati, jangan sampai keinjak kacanya." Aku memeluknya sambil mengulum senyum geli.

Tangisan Chaca justru semakin keras, membuat Hans dan Mas Bian menyusul ke dalam.

"Maaf, ya, Mbak Nara. Toplesnya jadi pecah." Hans tampak sungkan. Ia membelai lembut rambut Chaca

"Eh,nggak apa-apa. Namanya juga nggak sengaja." Aku terus membujuk Chaca, dan mengusir kedua lelaki itu dengan halus.

Tak berapa lama tangis Chaca mereda juga setelah kuperlihatkan padanya kalau kami punya banyak toples lain berisi makanan.

"Chaca mau?" Aku menyodorkan kukis karakter kartun yang kubikin beberapa hari lalu. Bocah itu mengangguk dengan mata berbinar. Tak perlu waktu lama hingga akhirnya tangisannya berubah menjadi senyum lebar. Apalagi saat kukatakan bahwa dia boleh memakan kukis itu sebanyak yang dia mau.

"Besok, boleh main ke sini lagi, Tante?" Dia bertanya dengan mulut terisi penuh. Wajah lucu dan menggemaskannya itu membuatku langsung jatuh sayang.

"Boleh banget! Nanti Tante bikinin camilan yang banyak. Chaca suka apa?"

Lalu bocah itu menyebutkan daftar penganan favoritnya. Matanya berbinar-binar saat menatapku. Seketika aku dilanda rindu. Rindu teramat sangat pada kelima adikku di kampung halaman.

Hans dan Chaca akhirnya pamit menjelang Magrib. Setelahnya rumah kembali sepi. Aku masih enggan bicara banyak, sedang Mas Bian tentu saja tidak akan mau bersusah-susah mengajakku bicara duluan.

Saat kami makan malam, beberapa kali aku memergokinya sedang menatapku dalam-dalam, seperti ada yang ingin dia katakan. Namun aku memilih mengabaikan dan sibuk dengan makanan di piring.

"Kenapa dengan rambutmu?" Akhirnya dia membuka pembicaraan setelah makanan di piringnya habis.

Sudah lebih dari seminggu aku mengubah potongan dan warna rambut, tapi dia baru menanyakan sekarang. Benar-benar luar biasa!

"Nggak kenapa-napa."

"Nggak kenapa-napa apanya?"

"Mami menyuruhku mengubah gaya rambut," ucapku datar, lalu memberanikan diri membalas tatapannya.

"Kamu mengubahnya demi Mami?"

"Mami bilang ... Mas Bian pasti akan menyukai gaya rambutku yang baru."

Aku tiba-tiba menyesal mengungkapkan hal itu saat melihat Mas Bian melengos dengan ekspresi tak suka. Bahkan dia tak segan-segan menunjukkan isi hatinya. Memalukan sekali. Pasti aku tampak sangat menyedihkan saat ini.

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang