Bab. 7 Sebuah Tekad

2.9K 344 8
                                    

Sudah lewat tengah malam mataku tak kunjung terpejam. Pembicaraan dengan Mas Bian tadi membuatku tak bisa tidur, sibuk menerka-nerka apa sebenarnya yang diinginkan lelaki itu. Semua hal tentangnya benar-benar kabur, walau kami sudah hampir setengah tahun hidup bersama.

Dulu saat aku masih kecil, Mas Bian pernah beberapa kali ikut Bapak lebaran di kampung halaman. Dalam ingatan yang samar-samar, sosok dirinya yang sudah remaja menjelma di pelupuk mata. Ia dulu sangat ramah dan mudah berbaur dengan anak-anak seusianya. Ia juga sangat baik padaku, layaknya seorang kakak kepada adik perempuannya. Saban sore ia mengajakku berkeliling dengan sepeda ontel milik Ayah. Menjelajah tempat-tempat indah di sudut kampung sambil tak henti-hentinya berbicara. Namun, setelah SMA Mas Bian tidak pernah lagi ikut Bapak pulang kampung, hingga beberapa bulan lalu saat kami akan menikah.

Aku tak pernah menyangka kalau Mas Bian yang kujumpai setelah dewasa sangat bertolak belakang dengan Mas Bian dalam kenangan masa kecilku.

Sudah pukul dua pagi, saat terdengar pintu depan terbuka. Ia baru pulang setelah tadi pergi tanpa pamit. Hatiku kembali teriris kala teringat setiap kata yang terucap dari mulutnya.

Kuseka air mata yang tiba-tiba saja menitik. Saat menarik napas dalam-dalam, aku bertekad untuk menghadapi permainan ini. Tidak ada jalan yang bisa dipilih selain mengikuti apa kemauannya. Masa depan adik-adikku lebih penting dari apa pun. Biarlah semua kesedihan ini kulipat rapi di dalam hati.

Dalam keremangan, sosoknya memasuki kamar. Aku buru-buru memejamkan mata, dan menajamkan telinga. Terdengar bunyi gemericik air di kamar mandi, tak lama kemudian bunyi lemari terbuka. Sepertinya dia berganti pakaian. Setelahnya kurasakan ranjang bergerak, menahan bobot tubuhnya. Aku mengintip sedikit dan melihatnya duduk di tepi ranjang. Posisinya sedikit miring dan menghadap langsung ke arahku.  Aku kembali menutup mata sambil bertanya-tanya sendiri, apa yang ia lakukan.

Detik demi detik berjalan sangat lambat. Aku seakan-akan bisa mendengar detak jantungku sendiri saat menyadari Mas Bian belum beranjak sedikit pun.

Beberapa kali terdengar ia menghela napas panjang, lalu sebuah sentuhan lembut mendarat di rambutku.

Hanya sekilas, tapi sanggup membuat jantungku berdetak dengan ritme tak biasa. Tak lama kemudian ia merapikan letak selimutku, lalu bangkit. Aku membuka mata bersamaan dengan bunyi pintu kamar tertutup.

Apa yang baru saja terjadi?

***

Setelah salat subuh, aku memasak sarapan dengan kepala sakit dan mata perih karena hampir tak tidur semalaman.

Dari dapur mungil kami, kulihat Mas Bian yang tidur di sofa ruang tengah terbangun. Mukanya tampak kuyu dan rambutnya acak-acakan. Ia bangkit dan berjalan terhuyung-huyung ke dalam kamar sambil mengucek-ucek matanya. Tak sampai setengah jam kemudian, ia keluar kamar tampak sudah rapi dengan pakaian kerjanya.

"Mas nggak sarapan dulu?" sapaku mencoba bersikap biasa saja, seakan-akan tidak terjadi apa-apa di antara kami.

Ia meniliti wajahku sekilas, lalu mengangguk.

Sepiring nasi goreng kuhidangkan untuknya.
Seperti biasa ia makan dalam diam, seolah-olah aku hanya benda tak bernyawa yang tak bisa diajak bicara.

"Ngomong-ngomong aku sudah memikirkan pembicaraan kita semalam," ucapku memecah keheningan. "Seperti yang Mas bilang, aku nggak berharap lebih pada pernikahan kita. Dan setelah kupikir-pikir, kalau waktu perpisahan tiba, aku nggak mau jadi janda menyedihkan tanpa ada hal yang bisa kuperoleh dari pernikahan ini." Aku menghembuskan napas lega saat berhasil mengatakan semua itu.

Suapannya tiba-tiba terhenti. "Terus? Apa yang kamu inginkan?"

"Aku menarik ucapanku soal menolak kartu yang Mas tawarkan semalam."

Mas Bian tersenyum kecil. Lebih tepatnya terlihat seperti senyum ejekan di mataku. "Akhirnya kamu bisa berpikir rasional. Jaman sekarang siapa yang nggak butuh uang?"

Aku meneguk ludah dengan susah payah. Kerongkonganku terasa sakit sekali seperti ada pecahan beling di sana.

"Aku bisa menggunakannya sesukaku?"

"Terserah kamu."

"Jadi aku boleh membeli apa pun yang kuperlukan tanpa minta ijin dulu denganmu?"

Ia mengedikkan bahu, tapi tatapannya yang tajam tak lepas dariku. Entah apa yang ia pikirkan. Mungkin saja saat ini aku tampak seperti perempuan kemaruk di matanya. Sungguh aku berusaha untuk tak peduli.

"Oke. Satu hal lagi, aku juga boleh melakukan apa saja atau perlu ijin dulu?"

"Memangnya kamu mau apa?"

"Aku ditawari jadi guru pendamping TK di kompleks ini. Aku sudah mengiakan.  Mengingat selama setengah tahun jadi ibu rumah tangga, tanpa tahu nasibku ke depannya bagaimana, kupikir dengan ada kesibukan, aku bisa jadi manusia yang sedikit berguna."

Mas Bian terdiam. Wajahnya tampak dingin, tapi aku sudah bertekad untuk tidak peduli dengan apa pun reaksinya.

"Terserah," ucapnya setelah menimbang-nimbang sejenak.

"Aku tetap akan mengurus pekerjaan rumah seperti biasa. Dan soal pindah kamar ... kalau Mas keberatan aku juga nggak masalah." Wajahku memanas saat mengatakan hal itu.

Bibirnya membentuk senyuman sinis. "Dalam semalam kamu langsung berubah pikiran. Uang memang bisa mengubah manusia dalam sekejap." 

"Terserah Mas menilainya bagaimana. Penilaianmu nggak penting lagi bagiku." Aku mengukir senyum lebar dan menatap langsung ke bola matanya dengan keteguhan hati.

Ia menyudahi sarapannya dan kembali menatapku lamat-lamat. Seperti mencari-cari sesuatu.

"Apa yang membuatmu berubah pikiran dalam semalam?"

"Uang. Apa lagi?" ucapku lantang.

Mas Bian terkesiap, tapi sesudahnya tertawa kecil dengan raut meremehkan.

"Kamu nggak terduga, Innara. Aku keliru selama ini menganggapmu hanya perempuan lugu dari kampung." Ia membuka dompetnya dan menyerahkan kartu itu padaku sembari menyebutkan nomor pin.

Dadaku kembali teriris. Sakit. Namun, kali ini rasa sakitnya merusak semuanya sampai tak lagi berbentuk. 

Aku menerima kartu itu dengan tangan sedikit gemetar dan mata mengabur oleh air mata yang pasti akan bergulir kalau aku berkedip. Akan tetapi, aku menahan sekuat tenaga karena tidak mau menangis di hadapan lelaki ini.

"Gunakan sesukamu. Toh, Bapak juga yang bayar."

"Terima kasih."

Mas Bian segera berkalu tanpa berkata apa-apa lagi. Meninggalkanku termangu  dengan air mata yang turun satu persatu hingga lama-lama membentuk aliran anak sungai.

-tbc-


































ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang