"Mas kenapa? Apa yang terjadi?" Dengan panik aku segera bangkit mendekatinya.
Bian memalingkan wajah saat aku mencoba mengusap sudut bibirnya yang berdarah.
"Mas ...."
"Aku ... aku nggak apa-apa." Ia merenggangkan mulutnya sedikit, seperti mencoba memastikan kalau rahangnya baik-baik saja.
"Mas, berantem, ya?" Aku hampir gila karena penasaran, tapi Bian sengaja menarik diri dariku. Tangannya sedikit gemetaran seperti mengalami shock berat. Ekspresi wajahnya ... aku hanya memikirkan satu hal. Seperti mayat hidup! Pucat dan shock menjadi satu. Ia tak menjawab pertanyaanku sama sekali.
"Yuk, balik!" Hanya itu yang dia katakan setelah mengecek semua barang tak ada yang tertinggal.
Di dalam taksi, dia diam seribu bahasa. Wajahnya tampak sangat mendung. Namun, bukan kemarahan yang kulihat membayang di sana, tapi kesedihan mendalam yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Sorot matanya hampa, sampai-sampai aku kehilangan kata-kata untuk bertanya.
Siapa pun yang memukulinya hingga babak belur seperti ini pastilah seseorang yang sangat jago bela diri. Sebagai pemegang sabuk hitam karate, rasanya tidak mungkin Bian membiarkan seseorang memukulinya begitu saja. Selain wajahnya yang lebam, buku-buku jarinya juga tampak memerah dan sedikit luka.
"Sakit, nggak?" ucapku sedih seraya meraih tangannya. Ia buru-buru menepis peganganku, lalu menggeleng.
Aku seperti dilemparkan pada sebuah kesadaran yang menyakitkan. Walau pun kami terikat dalam pernikahan, tapi tetap saja dia seperti orang asing bagiku. Tak tersentuh. Aku tak tahu apa-apa tentangnya dan dia juga tak ingin membiarkanku masuk ke dalam dunianya.
Langit sudah sepenuhnya gelap saat mobil yang kami tumpangi, sampai di area pertokoan tempat motor terparkir.
Masih dalam kebisuan, dia melajukan motor membelah jalanan yang ramai. Malangnya, di tengah perjalanan, kami terjebak macet, sementara gerimis mulai turun. Tak menunggu waktu lama hingga jutaan titik air yang awalnya hanya serupa jarum yang tercurah dari langit, lama-lama menjadi hujan deras dan membuat tubuh kuyup.
Bian melepas jaketnya, saat kendaraan di depan kami tak bisa bergerak sama sekali, lalu menyerahkan padaku.
"Mas lebih butuh, karena di depan, kena angin," tolakku.
"Pakai aja!" Paksaan yang tak bisa kubantah.
Aku memakai jaket yang sudah lembab itu buru-buru, karena mobil di depan kami mulai bergerak, menandakan kemacetan mulai terurai.
"Pegangan!" Ia mengingatkanku sebelum melajukan motornya.
Udara malam dan guyuran hujan lebat menciptakan gigil dan membuat gigiku gemeletuk kedinginan. Namun, aku lebih mengkhawatirkan keadaan Bian. Kaosnya yang tipis, melekat ketat ke tubuhnya. Tanpa pikir panjang aku memeluknya erat. Tak hanya mencoba menghalau udara dingin, tapi juga kesedihan tak bernama yang entah mengapa menghinggapi hatiku tiba-tiba.
***
Kami akhirnya sampai di rumah sudah hampir pukul sembilan malam.
"Mas mandi air hangat, biar nggak masuk angin!" ucapku pada Bian yang sedang membuka kausnya di depan pintu kamar mandi.
Lelaki itu akhirnya duduk di kursi plastik dekat mesin cuci, menungguiku menjerang air panas. Mendung belum kunjung hilang dari wajahnya
"Kamu sebaiknya juga mandi air panas," katanya seraya mengusap sudut bibirnya yang luka.
Satu jam kemudian, kami sama-sama sudah selesai mandi dan saat ini sedang duduk berhadapan di meja makan dengan dua mangkuk mie rebus yang mengepulkan uap panas.
Bian menyuap makanan tanpa suara. Hanya bunyi rintik hujan yang kian deras di luar sana yang meningkahi keheningan suasana malam ini. Banyak hal yang sebenarnya ingin kukatakan, tapi mulut ini terlalu berat untuk memulai. Apalagi Bian juga seperti tidak ingin diganggu. Semenjak pulang dari TMII, dia seperti terseret ke dalam dunianya sendiri. Walau selama ini dia memang jarang mengajak bicara, tapi kali ini jelas sangat berbeda.
Setelah menyudahi makannya, Bian bangkit menuju sofa ruang tamu dan duduk bersandar di sana. Kepalanya mendongak, sedang matanya tampak terpejam. Beberapa kali ia menghela napas panjang seperti mengurai sesak di dalam dada. Semua itu tak luput dari perhatianku.
Seandainya aku bisa sedikit saja mengintip apa yang berkecamuk di dalam pikirannya. Seandainya dia mau berbagi sedikit saja beban yang yang bergelayut di hatinya. Tentu semuanya tidak akan rumit dan membingungkan seperti ini.
Aku menyusul Bian dengan semangkok es batu dan handuk kecil. Tak lupa sebotol minyak kayu putih.
"Mas, lukanya dikompres dulu biar bekasnya cepat ilang."
Bian membuka matanya, dan menatapku dengan pandangan kosong. Ada sesuatu di matanya yang tak bisa kujelaskan, tapi membuatku bisa merasakan ada luka menganga di sana.
Dia tak menolak saat aku menaruh es batu yang sudah dibungkus dengan handuk ke pipinya dengan hati-hati. Hanya rintihan samar yang terdengar dari mulutnya.
"Biar aku saja," ucapnya dengan wajah tampak risih, seraya memegang pergelangan tanganku. Baru kusadari jarak kami sangat dekat. Aku bahkan bisa mendengar helaan napas dan merasakan hawa tubuhnya yang hangat.
"Mas, kok, panas?" Aku meraba keningnya khawatir.
"Nggak, tanganmu aja yang dingin abis pegang es batu."
Aku bersikeras kalau suhu tubuhnya memang tinggi. Mata dan hidungnya juga sedikit memerah. Beberapa kali kulihat dia bersin dan menarik-narik hidungnya.
"Mas pilek dan masuk angin kayaknya karena ujan-ujan tadi. Ini kasih minyak kayu putih aja."
"Aku nggak apa-apa," tolaknya enggan saat aku menyodorkan minyak kayu putih.
"Tapi kalo dibiarin bisa beneran demam, lho, Mas!"
"Kamu itu, kok berisik banget!" Ia memijit keningnya. "Berisik dan suka ikut campur." Suaranya terdengar seperti gumaman.
"Aku hanya khawatir ...."
"Nggak usah khawatir. Aku baik-baik saja."
"Gimana pun, Mas ngalamin kejadian kayak gini gara-gara aku. Kalau kita nggak ke taman mini, Mas nggak bakal luka dan kita nggak harus ujan-ujanan pulangnya."
"Udah, deh. Nggak usah ge er! Aku emang lagi bosan di rumah, sekalian ngajak kamu keluar untuk beli ponsel, biar ibumu nggak nelpon aku terus, karena kamu nggak bisa dihubungi," ucapnya dengan nada ketus seperti biasa sambil merebahkan tubuhnya ke sofa, lalu memejamkan mata seperti sengaja tidak ingin diganggu.
Tak ada yang bisa kulakukan selain beranjak dari sana menuju kamar. Perasaan sebal dan sedih silih berganti memenuhi hatiku. Sebal dengan diri sendiri karena masih saja peduli, padahal perlakuan Bian padaku sungguh menyesakkan dada, sekaligus sedih melihatnya terluka tanpa bisa melakukan apa-apa.
Tbc
Cerita ini bisa dibaca di kbmapp yang sudah sampai 36 bab, akun saya lia_musanaf. 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...