Bab 19b. Planet Kidz

2.4K 289 9
                                    

Aku tidak menyangka kalau bangunan sekolah TK Planet Kidz semegah ini. Terdiri dari enam kelas, dengan dekorasi ruangan yang sangat indah dan kreatif. Tidak hanya kelas, ruangan seni musik, seni lukis, ruang olah raga indoor dan outdoor juga tak kalah menarik. 

"Bagaimana?" tanya Mami saat mengajakku berkeliling.

"Bagus banget, Mi. Murid-murid pasti betah, ya?"

"Harapan Mami begitu. Apalagi kita ngasih semua yang terbaik di sini. Mulai dari fasilitas, staf pengajar dan juga lingkungan yang mendukung anak-anak tumbuh dan belajar dengan optimal." Ada nada bangga pada suara Mami saat kami melewati ruangan seni dan mengintip anak-anak yang sedang melukis.

"Anak-anak di sini juga bukan anak-anak sembarangan, lho. Nggak hanya sekadar didukung latar belakang finansial yang kuat, tapi mereka juga cerdas dan berbakat."

Aku hanya manggut-manggut, memikirkan entah berapa biaya yang barus dikeluarkan untuk menyekolahkan anak di sini. 

"Itu gedung apa?" Aku menunjuk sebuah gedung bercat hijau di seberang taman sekolah yang cukup luas.

"Oh, itu SD Planet Kidz. Masih  satu area dengan TK."

"Wah, ada SD-nya juga." Aku berdecak kagum. Membayangkan fasilitasnya mungkin tak kalah mewah dan lengkap dari TK ini.

"Yayasan ini baru berusia sekitar delapan tahunan, Ra. Belum terlalu lama, tapi lulusan kita cukup diperhitungkan."

Raffa yang mengekori kami sejak tadi, berlari menuju taman yang berfungsi sebagai arena bermain. Ada perosotan, jungkat-jungkit, ayunan, besi panjat dan entah apa lagi yang dicoba oleh Raffa. Meski sudah berusia sepuluh tahun, tapi tingkahnya masih sangat kekanakan.

"Raffa kayaknya senang banget." Mami tersenyum geli memperhatikan polah adikku itu. "Mau, nggak, dia sekolah di sini?"

"Wah, kayaknya dia bakal susah beradaptasi, Mi."

"Eh, belum tentu. Coba tanya dia, siapa tahu mau. Nanti urus kepindahan saja. Kelas enam dia di sini."

Aku hanya menanggapi dengan senyum bimbang. Mami kalau sudah berkehendak, susah ditolak. 

"So, kamu udah Mami kenalin dengan beberapa guru dan staff, dan juga udah liat-liat kondisi di sini. Besok langsung masuk kerja, ya!"

"Tapi ... Nara masih bingung. Mau ditempatin di bagian apa, Mi?" 

"Kamu mau di bagian apa?"

"Ya, nggak bisa gitu juga, Mi. Kan harus sesuai kemampuan Nara." Perasaan rendah diri menguasaiku tiba-tiba.

"Maksud Mami kamu  mampu di bagian apa? Nanti bisa Mami kordinasikan sama staff dan guru-guri di sini untuk dampingi kamu. Lagipula kan nggak lama lagi libur panjang dan tahun ajaran baru. Nah kamu bisa mempelajari bagaimana sistem di sini dulu, sebelum tahun ajaran baru dimulai. Biasanya juga cukup sibuk untuk persiapan penerimaan murid baru."

"Atau gini aja. Kamu koordinasi sama Raya, ya. Dia kan kepala sekolah di sini. Kamu langsung belajar dan dibimbing sama dia, gimana?" lanjut Mami saat melihatku hanya termangu.

Aku hanya mengangguk, berupaya terlihat antusias. Walau wajah tanpa ekspresi Raya saat menyambutku tadi tiba-tiba melintas di kepala. Perempuan itu jelas tidak menyukaiku, tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena titah Mami yang tak bisa disanggah.

Benar saja, saat keesokan harinya aku datang lagi tanpa pendampingan dari Mami, ia benar-benar menunjukkan sifat aslinya.

"Walau kamu menantu Mami, tapi saat di Planet Kidz nggak ada perlakuan istimewa. Kita profesional saja. Untuk sementara kamu magang dulu. Job desk kamu juga sama kayak anak magang lainnya, nggak ada perbedaan apa pun." Ia tersenyum dingin, lalu memanggil seseorang yang kuduga asistennya.

"Nih, ada anak magang. Tolong kamu kasih tahu job desk-nya apa saja!" Ia berkata tanpa menoleh sama sekali padaku. Sibuk mengetik entah apa di laptop dengan ponsel terselip di antara bahu dan telinganya

Sungguh aku juga tidak ingin diperlakukan istimewa, tapi cara dia mengenalkanku dengan asistennya, benar-benar membuatku terlihat seperti anak ingusan yang tidak tahu apa-apa.

"Yuk, mari." Perempuan yang mengenalkan diri sebagai Mbak Arni itu mengajakku ke ruangan administrasi. Secara singkat ia menyuruhku merapikan file-file dan berkas laporan keuangan yang menumpuk di meja, berdasarkan tanggal terlama.

"Mau Raffa bantuin, Uni?" Raffa yang semula sibuk di arena bermain, menghampiriku yang tengah tenggelam dengan lembar-lembar berkas itu.

"Nggak, usah. Raffa main aja di sana."

"Bosan," keluhnya, lalu ikut merapikan file yang sudah aku cek dan menaruhnya hati-hati ke dalam lemari.

"Maaf, ya. Liburannya justru bantuin Uni kerja. Nanti sebelum pulang kita beli eskrim, oke?"

"Nggak apa-apa," ucapnya sambil tersenyum.  "Kalau besok Uni masih kerja, Raffa boleh main ke tempat Uda Zaidan?"

"Takutnya nanti Zaidan juga sibuk."

Raffa terdiam. Raut kecewa terpeta jelas di wajahnya tapi ia samarkan dengan mencoba tersenyum kecil. "Iya juga, ya."

Walau merasa bersalah pada Raffa, tapi keesokan hari dan juga hari-hari berikutnya, aku tidak punya pilihan selain tetap mengajaknya ke Planet Kidz. Pekerjaan yang diberikan oleh Mbak Arni seperti tidak ada habisnya. Setelah selesai dengan berkas laporan keuangan, ia menjejalkan map-map berisi formulir pendaftaran murid baru yang harus kupilah berdasarkan minat dan bakat mereka.

Tak sampai di situ, ia juga tak segan-segan minta tolong padaku untuk membelikan minuman atau camilan yang ada di sebuah gerai kopi di seberang jalan.

"Tiga Americano dan selusin donat dengan toping kacang almond. Tolong ya, di kedai kopi yang biasa." Perempuan itu mengulurkan empat lembar uang seratusan rupiah padaku. 

"Baik, Mbak."

"Nanti tolong sekalian antar ke ruang rapat, ya."

Aku mengangguk, seraya berpamitan pada Raffa lalu bergegas keluar. Matahari pukul setengah tiga sore cukup menyengat kulit. Aku sengaja memilih berjalan di dekat pagar agar bisa sedikit berteduh di bawah pohon-pohon pelindung yang tumbuh berjejer.  

Saat kembali dan berjalan menuju ruang rapat, peluhku bercucuran dan membuat tubuh terasa lengket. Aku mengusap dahi yang basah oleh keringat dan merapikan kerudungku, sebelum akhirnya mengetuk pintu.

"Masuk!"

"Biar saya bantu bawakan." Sebuah suara bariton mengagetkanku. 

"Oh, hei." Aku tak tahu harus berkata apa saat menyadari kalau pemilik suara itu ternyata Davin. Entah dari mana datangnya, tahu-tahu saja lelaki itu sudah berada di sini dan tersenyum ramah padaku.

-tbc-

Versi lengkap bisa dibaca di kbmapp, akun saya lia_musanaf 🥰

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang