Bab 14a Menyusun Kepingan Puzzle

2.6K 303 6
                                    

Aku percaya bahwa tidak ada kebetulan di dunia ini. Seperti hujan tengah hari saat aku baru saja menutup gerbang sekolah TK Nusa Indah tempatku bekerja tiga minggu terakhir ini. Aku lupa membawa payung, dan  terpaksa setengah berlari menuju emperan pertokoan di seberang jalan menghindari titik-titik air itu membasahi pakaian. Dan tak disangka aku bertemu dengan lelaki itu di sana.

"Hei."

"Oh, hei." Aku sedikit terkejut saat kami tak sengaja bertemu di sini.

"Masih ingat saya?" Ia tersenyum ramah memamerkan deretan giginya yang putih dan tersusun rapi.

Tentu saja aku ingat. Dia lelaki yang menolongku saat tercebur di kolam renang rumah Arga bersama bocah lelaki bernama Adam. Kalau tidak salah Mami sempat menyebut namanya. Sayangnya aku lupa.

"Ya. Kita ketemu saat insiden kolam renang di pesta ulang tahun Najwa." Aku tertawa kecil mengenang kejadian memalukan itu.

"Maaf, saya belum sempat mengenalkan diri dan berterima kasih karena Mbak menolong Adam waktu itu."

"Innara. Nama saya Innara."

"Saya Davin. So, saya terima kasih sudah menolong anak saya."

"Bukan apa-apa, kok. Lagipula kami malah tercebur bersama. Saya justru khawatir dengan Adam, takut dia kenapa-napa."

"Dia sempat shock, tapi sekarang sudah nggak apa-apa."

"Syukurlah. Oh, ya jaketnya yang waktu itu. Maaf, saya belum sempat mengembalikan."

"Nggak masalah. Mungkin next time kalau kita bertemu lagi." Ia kembali tersenyum. Sejenis senyum ramah yang membuat lawan bicara merasa nyaman saat mengobrol dengannya.

"Atau ... saya jemput sekarang saja, ya. Rumah saya dekat, kok, dari sini."

"Baiklah kalau begitu." Ia menadahkan tangan membiarkan titik-titik air dari atap toko membasahi jemarinya. "Sayangnya masih gerimis."

Lelaki bernama Davin itu akhirnya menyarankan untuk menunggu hujan reda dan mengajakku ke kedai kopi tidak jauh dari tempat kami berdiri.

Aku sedikit sungkan, tapi juga tidak punya alasan tepat untuk menolak.

"So, saya baru tahu kalau Mbak Innara ternyata menantu Tante Hera. Maaf, saya nggak sempat datang ke pesta pernikahan Mbak dan Bian karena sedang di luar negeri waktu itu."

"Nggak apa-apa ... Mas Davin sendiri masih kerabat Mami, ya? Jujur saya belum kenal semua keluarga besar Mami." Wajahku sedikit memanas karena malu.

Duh, Nara, menantu macam apa kamu ini?

"Uhm, bisa dibilang begitu. Saya sepupu Mbak Raya, istri dari anak sulung Tante Hera. Dan kebetulan juga teman sekolah Bian."

"Oh, gitu. Maaf saya baru tahu."

"Bian nggak pernah cerita, ya? Padahal kami sahabat dekat, lho, dulu."

Aku hanya menanggapi dengan senyum  tipis. Tidak mungkin, kan, aku bilang, jangankan menceritakan siapa teman-temannya, ngobrol tentang dirinya sendiri saja Bian tidak pernah sama sekali.

"Ngomong-ngomong, kok, Mas Davin bisa ada di daerah sini?" Aku mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

"Saya sedang ada urusan. Ingin menemui seseorang sebenarnya," jawabnya setelah terdiam selama beberapa waktu.

Pembicaraan terjeda saat pelayan membawakan minuman pesanan kami.

"Bagaimana kabar Bian? Sehat? Kami sudah lama nggak jalan bareng."

"Sehat, Mas."

"Udah mau manggung lagi?"

"Manggung?" Sungguh aku tidak mengerti apa yang dia maksud.

"Oh, sorry. Mungkin saya salah bicara."

"Nggak, kok. Saya memang nggak tahu apa-apa sama sekali soal manggung itu."

Davin terdiam selama beberapa waktu, tampak seperti menimbang-nimbang sesuatu. Setelah mengirup kopinya, lelaki itu berkata, "Dulu saat kami masih sekolah, dia sempat nge-band. Pernah menjuarai beberapa festival musik antar sekolah juga. Bahkan sempat juara tiga se-Jawa-Bali." Ia tertawa kecil dengan pandangan menerawang. "Dia pikir itu salah satu pembuktiannya pada Om Aziz bahwa dia udah memilih jalan yang tepat untuk masa depannya."

"Oh." Aku kehilangan kata-kata saat mendengar fakta baru tentang Bian yang dibeberkan Davin barusan.

"Terus ... apa yang terjadi?" tanyaku penasaran. Aku tiba-tiba teringat cerita Mami tempo hari soal Bian yang sempat kuliah musik di Jogja dan terpaksa berhenti karena suatu hal.

"Semangatnya padam sejak ... Ah, lagipula Om Aziz memang nggak pernah setuju anak kesayangannya jadi musisi." Davin buru-buru  mengalihkan fokus utama kenapa Bian berhenti. Seperti ada yang dia sembunyikan.

"Maaf saya jadi kelepasan bicara. Saya pikir Mbak Nara sudah tahu soal itu," ujarnya sambil tersenyum ragu. Mungkin merasa tidak enak hati karena membicarakan Bian padaku yang notabene baru saja ia kenal beberapa menit lalu.

Tahu apanya? Semua hal tentang Bian berselimut kabut misteri yang entah kapan bisa kupecahkan. Namun, aku juga tidak ingin Davin menerka-nerka apa yang terjadi dalam rumah tanggaku

"Ya, saat Mas Bian  saat ini fokus pada kerjaan."

"Baguslah! Sebagai sahabat, saya hanya ingin yang terbaik untuk Bian."

Sahabat? Aku masih ingat bagaimana ekspresi wajah Bian saat mereka bertemu di kolam renang waktu itu. Aura permusuhan begitu kentara terlukis di wajah suamiku itu saat Davin menyapanya.

"Oh ya, sepertinya saya harus buru-buru pergi. Jaketnya lain kali saja." Davin melirik arlojinya

"Salam untuk Bian, ya. Sungguh dia akan menyesal kalau sampai menyia-nyiakan istri seperti Mbak Innara." Kurasakan suatu ironi  dalam nada suaranya.

Entah apa makna dibalik ucapannya itu, tapi aku hanya memilih tertawa untuk menetralisir perasaanku yang mendadak tidak enak. Aku yakin, Davin pasti menyimpan sesuatu mengenai Bian.

-tbc-

Cerita ini juga tayang di kbmapp udah sampai 43 bab, akun saya lia musanaf. ❤️

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang