Pagi rasanya tak pernah semembahagiakan ini, kala menyadari tubuhku tenggelam dalam hangatnya lengan Bian yang mendekap erat. Deru napasnya yang teratur membelai tengkukku. Aku ingin sekali menikmati momen ini selama mungkin, tapi jeritan alarm memaksa untuk bangkit. Dalam keremangan cahaya lampu kamar, lelaki itu masih tertidur pulas. Tak terganggu sedikit pun oleh bunyi alarm.
Rasanya seperti mimpi apa yang terjadi semalam. Layaknya morfin, ia seakan membuatku hilang kesadaran dan tak lagi bisa berpikir jernih. Padahal, mungkin saja itu hanya sekadar pemuasan kebutuhannya belaka, seperti yang sudah-sudah. Apalagi selama ini, bagi Bian aku hanya sekadar teman tidur, bukan seseorang yang ia sayangi. Memikirkan hal tersebut membuatku tiba-tiba kehilangan semangat.
'Memangnya apa yang kau harapkan, Innara?' Aku tersenyum pahit saat pertanyaan itu bergema di kepalaku.
Dengan lesu aku berjalan ke kamar mandi. Menikmati kucuran air dari shower yang membasahi rambut dan tubuh. Berharap pikiranku bisa kembali jernih dari kelebatan kejadian semalam.
Bian bangun saat aku baru saja selesai salat Subuh. Dari ekor mata aku menyadari ia tengah mengawasiku. Ini hampir sama persis dengan kejadian enam bulan lalu, saat kami pertama kali menghabiskan malam bersama. Perasaan rikuh menguasai hati. Konyol memang, padahal ini bukan lagi hal baru bagiku.
Aku segera melipat mukena, lalu cepat-cepat berpakaian dan menyisir rambut seadanya. Mencoba mengabaikan Bian yang seperti tengah melamun saat memandangiku. Oh, apakah ia menyesali kejadian semalam dan menganggapnya sebagai suatu kesalahan?
Tak mau pikiranku bergerak semakin liar tak terkendali, aku memilih segera menyingkir sejauh mungkin dari jangkauan matanya. Rasanya belum siap sepagi ini menerima kalimat tidak mengenakkan keluar dari mulut lelaki itu.
Aku membangunkan Raffa, lalu berkutat di dapur menyiapkan sarapan sambil beres-beres rumah. Tak lupa menyirami tanaman di teras belakang. Apa pun kulakukan agar bisa menghalau pikiran-pikiran buruk tentang reaksi Bian nanti yang terus mengetuk-ngetuk tempurung kepalaku.
"Innara ...."
Tubuhku menegang saat tiba-tiba suara Bian terdengar di belakangku.
Hati-hati aku membalikkan badan. Bian tampak sudah rapi, dengan kemeja biru dan celana abu-abu gelap yang membungkus tubuhnya yang jangkung. Raut wajahnya terlihat bimbang saat menatapku.
"Ya, kenapa, Mas?"
"Apa kamu masih ...." Ia seperti kesulitan meneruskan ucapannya. Hal yang belum pernah kulihat dari Bian sebelumnya.
"Apa?" Aku mengernyit keheranan.
"Oh, itu ... kamu sedang masak apa? Sepertinya enak, aku lapar banget." Bian tertawa canggung, lalu menarik kursi makan.
Kentara sekali ia seperti sengaja mengubah topik pembicaraan.
Sepiring nasi goreng kuhidangkan untuknya tanpa banyak bicara.
"Eh, Raffa mana? Nggak sekalian sarapan bareng?"
"Biar nanti aja bareng aku. Pagi-pagi gini dia biasanya belum mau makan."
"Oh ya, saat kamu ngajar, Raffa gimana? Ditinggal?"
"Aku udah berhenti resmi hari ini."
"Serius? Kenapa?"
"Aku mutusin untuk gabung ke Planet Kidz."
Suapan Bian terhenti. Butuh waktu yang cukup lama hingga akhirnya ia berucap, "Oh, jadinya gitu? Goodluck!"
Kemudian ia kembali menyuap makanannya tanpa bersuara lagi. Setelah menyudahi sarapannya, lagi-lagi ia menatapku dengan pandangan ragu.
"Apa ada yang mau Mas katakan?" tembakku langsung. Lelah sekali rasanya menebak-nebak apa yang akan ia lakukan.
"Kamu ... masih rutin minum pil, kan? Seharusnya aku menanyakannya semalam." Ada semburat khawatir yang membayang di wajahnya.
Oh, ternyata masih soal yang sama.
"Sayangnya, nggak. Sejak Mas pindah tidur ke atas, aku hampir nggak pernah lagi minum pil." Mulutku terasa kering saat berucap. Aku buru-buru menyambar gelas minuman dan mereguknya hingga tandas.
"Ya, Tuhan!" Ia spontan menyugar rambutnya panik.
"Kalau Mas sebegitu khawatirnya, seharusnya Mas yang waspada. Seharusnya Mas bisa mengendalikan diri," ucapku datar. "Aku nggak mau lagi meminum pil-pil itu. Aku nggak pernah tahu efek apa yang bisa ditimbulkannya pada tubuhku."
"Seharusnya kamu bilang," sesalnya frustrasi.
"Lho, kenapa ini jadi salahku?" Aku tak kuasa menahan nada jengkel pada suaraku.
"Kamu tahu persis aku nggak ingin kamu hamil!" desisnya mencoba menahan nada suaranya agar tak tinggi.
"Kenapa?"
Untuk kesekian kalinya aku ingin tahu, apakah alasan Bian masih sama.
"Apa karena pernikahan ini nggak akan berlangsung lama, dan Mas nggak ingin direpotkan oleh urusan anak?"
Ia mengalihkan pandangan, seperti tak kuasa menatap bola mataku.
"Kalau Tuhan menitipkan anak padaku, aku akan merawatnya dengan baik, walau Mas menolaknya!"
Dadaku rasanya sakit sekali. Betapa egoisnya lelaki ini. Hanya mementingkan kepuasan sendiri tanpa memikirkan perasaanku sedikit pun.
"Ini nggak seperti yang kamu pikirkan, Innara."
"Kalau begitu tolong jelaskan padaku!"
"Ini sangat rumit ... sampai aku nggak tahu harus memulainya dari mana," desahnya sedih. Ada kelebat luka yang membayang di matanya
"Aku akan sabar menunggu sampai Mas menemukan cara bagaimana memulainya."
"Kenapa kamu mau melakukan itu untukku?"
Pertanyaan yang sama juga berputar di kepalaku. Mengapa aku ingin terus bertahan dengan semua ketidakpastian ini? Dulu mungkin alasannya karena Ibu dan adik-adikku. Tapi sekarang, semakin aku berpikir, semakin kusadari kalau alasannya lebih dari sekadar itu.
Dengan cara yang aneh, aku ... tertarik padanya. Bian seperti punya daya magnet kuat yang membuatku ingin terus mendekat, walau untuk itu aku harus siap menanggung resiko besar yang mungkin saja akan menghancurkanku.
"Aku juga nggak tahu. Aku nggak tahu kenapa masih mau bertahan walaupun kamu sangat menyebalkan. Aku selalu bertanya-tanya, apa yang kamu sembunyikan dariku. Aku terus saja memikirkan, apa kamu peduli padaku? Apa pernah kamu sedikit saja ... menyukaiku sebagai istrimu ... bukan hanya sebagai perempuan yang kamu tiduri?" Entah keberanian darimana saat semua yang mengendap di kepalaku selama ini, terlontar begitu saja.
"Terkadang aku seperti orang bodoh." Aku tertawa pahit saat melihat Bian tertegun tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya. Ekspresi wajahnya yang berubah tegang dengan sorot mata dingin, seketika membuatku seperti ditampar kenyataan menyakitkan.
"Ya, kamu memang bodoh. Mau saja menghabiskan waktu memikirkan hal-hal semacam itu untuk orang seperti aku." Ia segera bangkit sembari merapikan lengan kemejanya yang sedikit kusut.
Saat Bian ke atas mengambil tas kerjanya dan turun bersama Raffa, lalu berpamitan, ia tak menoleh sama sekali padaku. Bagaimana bisa lelaki menyebalkan seperti itu, menyita sembilan puluh persen ruang di dalam kepalaku?
TBC
Versi lengkap bisa dibaca di kbmapp, akun saya lia_musanaf 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...