Bab 9. KADO

2.6K 333 10
                                    

Ya, Tuhan!

Aku megap-megap di dalam air, berusaha mencari udara. Hidungku perih sekali. Bocah itu juga megap-megap, tangannya tak lepas dari bahuku. Tak lama kemudian tangisnya pecah, wajahnya tampak sangat ketakutan.

"Udah nggak apa-apa, kok. Kita naik, ya. Jangan nangis!" Aku memeluknya berupaya menenangkan.

Sepertinya orang-orang belum menyadari ada insiden di kolam ini. Dari dinding kaca kulihat sudah mulai sepi, hanya ada beberapa orang yang terlihat mondar-mandir,  dan tidak melihat kami.

Susah payah aku berjalan di dalam air, lalu mendudukkannya di tepi kolam. Suara tangisnya tak kunjung reda dan memancing perhatian seseorang di dalam.

"Ya, ampun, Adam! Adam kenapa?" Seorang lelaki seusia Mas Bian berjalan tergopoh-gopoh mendekati kami. "Papa cariin dari tadi, taunya di sini." Ia langsung memeluk bocah bernama Adam itu.

"Kok bisa jatuh ke dalam kolam, sih?" Ia menoleh ke arahku. "Uhm, sorry, bisa naik?" Ia mengulurkan tangannya.

"Bisa. Terima kasih."

Aku naik ke kolam dengan rasa malu dan risih luar biasa. Aku tak tahu harus melakukan apa dengan pakaian basah kuyup
seperti ini.

Lelaki itu menatapku prihatin, lalu spontan membuka blazer-nya dan menyampirkan ke bahuku. "Pakai ini sementara, nanti saya minta ambilkan handuk."

Ia bergegas membawa Adam yang masih terisak-isak ke dalam, sambil terus membujuknya. Aku hanya bisa beringsut ke dekat tanaman sembari mengibas-ngibaskan pakaian yang basah. Tasku juga ikut basah. Dengan lesu aku mengeluarkan isinya. Ponselku yang ada di sana mati total. Tubuhku seketika lunglai. Sungguh hari yang buruk.

Cukup lama aku di sana, hingga sebuah suara yang sangat kukenali memanggil.

"Mas Bian?"

Wajahnya tampak gusar dan sedikit terkejut saat melihatku. "Kamu kenapa?"

"Tadi ... aku jatuh ke dalam kolam."

"Jatuh? Kenapa bisa jatuh?"

Aku terlampau lelah hingga tak bertenaga menjelaskan kronologisnya.

Ia mengamati pakaianku sekilas, tampak heran tapi tak berkata apa-apa.

"Ayo ke dalam!"

Baru saja berdiri, lelaki yang tadi bersama Adam muncul. Di belakangnya ada perempuan berseragam yang kuduga asisten rumah tangga, membawa beberapa tumpuk handuk.

"Oh, maaf, harus menunggu lama." Ia mempersilakan Mbak asisten itu memberikan handuk padaku, lalu tersenyum samar pada Bian. "Wah, sudah lama nggak bertemu, Bro."

Bian hanya menarik sudut bibirnya sekilas, lantas buru-buru menarik lenganku segera pergi dari sana. Tampak betul sengaja menghindar.

"Terima kasih," ucapku seraya berpamitan pada Mbak Asisten dan lelaki itu.

Aku mengikuti langkah Bian menuju sebuah kamar melewati pintu samping. Kamar itu cukup luas, lebih luas dari kamar di rumah kami.

"Mandi sana!"

"Tapi ... aku nggak bawa baju ganti."

Ia mendengkus, tampak sangat gusar. Hal itu membuatku ikut kesal. Seharusnya aku yang marah karena harus mengalami semua ini. Terjebak di rumah saudaranya tanpa dia di sisiku. Seharusnya dia minta maaf karena tidak menggubris telepon dan pesan-pesanku, dan membiarkanku sendirian seperti orang dungu di sini. Namun, Bian tetaplah Bian yang tidak akan pernah peduli pada hal-hal seperti itu.

Selama beberapa saat kami hanya berpandangan dengan wajah sama-sama cemberut, tapi aku bisa merasakan mataku memanas menahan semua luapan emosi di dada.

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang