"Mau ke mana?" Suara Bian menghentikanku yang tengah memasang kaus kaki dengan terburu-buru.
Semenjak pembicaraan kami beberapa hari lalu, aku memang menjaga jarak dan lebih banyak diam. Walau semua pekerjaan rumah dan semua keperluannya yang menjadi tanggungjawabku, tetap kutunaikan seperti biasa.
Selama itu pula Bian tampak agak gelisah dan uring-uringan. Namun, anehnya ia sering mencari-cari cara untuk bicara padaku. Meski hanya pembicaraan tak penting seperti menanyakan di mana letak kaus kakinya, padahal sudah jelas-jelas ada di dalam laci lemari, atau kemarin mengomentari masakanku yang menurutnya pedas tapi enak. Hal yang tidak pernah ia lakukan sebelumnya. Biasanya ia makan tanpa suara. Tidak pernah mencela atau pun memuji sama sekali.
Mungkin ia hanya mencoba berbaikan, tapi aku tak peduli. Kejengkelanku belum sepenuhnya hilang, apalagi Celine--yang menjadi sumber utama kekesalanku itu--tiap hari berkunjung. Ia memilih waktu pagi hari saat mangantar Chacha ke rumah, dan sore hari saat Bian sudah pulang. Perempuan itu seperti sengaja menjadikan Chacha sebagai alasan untuk bertamu, dan bisa mengobrol dengan Bian.
Walau aku menyukai gadis kecil yang cantik dan pintar menggambar itu, tapi aku belum bisa menyukai ibunya sebesar aku menyukainya. Aroma parfum mawar yang menguar dari tubuh Celine membuatku mual, tawanya yang renyah dan cara dia mengobrol dengan Bian membuatku sebal tanpa alasan. Melelahkan sekali saat berusaha tersenyum dan bersikap seolah semua baik-baik saja, sedangkan hatimu berkata sebaliknya.
"Kamu mau pergi?" Bian kembali bertanya.
"Iya," jawabku singkat dan sengaja menghindari kontak mata dengannya.
"Ke mana?"
"Mau jemput Raffa."
"Raffa? Oh, jadi hari ini dia sampai?"
"Udah dari kemaren, tapi dia nginap di rumah Zaidan. Ibu yang nelpon tadi pagi."
"Zaidan?"
"Tetangga di kampung. Kayaknya Mas kenal, deh. Dulu waktu kecil, kan pernah main bareng."
"Kok, kamu nggak ngasih tahu, sih, biar bisa kuantar ke sana?"
"Aku nggak mau ngerepotin," ucapku datar. "Lagi pula, aku udah pesan taksi, kok. Bentar lagi datang."
"Aku sama sekali nggak repot. Biar kuantar, aku ganti baju dulu," katanya antusias, lalu bangkit.
"Nggak usah. Lagian hari Sabtu Mas biasa main futsal, kan?"
"Bisa kubatalkan." Sesaat kami berpandangan. Ada pendar tak biasa di kedua bola matanya saat menatapku.
Tanpa bisa dicegah, aku menghela dan mengembuskan napas cukup keras. Bingung bagaimana cara menolak. Bagaimana pun juga, aku tidak ingin salah paham dan berekspektasi lebih, atas perubahan sikapnya beberapa hari ini.
"Urusanku nggak sepenting itu, sampai Mas harus batalin main futsal segala." Aku memberanikan diri membalas tatapannya.
Teringat betapa selama ini, hari Sabtu selalu menjadi hari istimewa baginya. Bahkan untuk menghadiri ulang tahun Najwa saja, dia tidak mau membatalkan latihan futsal dan membiarkanku pergi sendirian.
"Kamu ... nggak suka aku antar, ya?" Ia bertanya setelah terdiam sejenak. Ada yang berbeda dari nada suaranya.
"Aku bisa pergi sendiri. Nggak usah repot-repot mengantarku." Aku mengalihkan pandangan saat ia menatapku dalam-dalam. Cukup sudah, aku lelah menebak-nebak apa yang ada di pikirannya.
Ponselku tiba-tiba berbunyi. Ternyata panggilan dari pengemudi taksi online yang mengatakan kalau ia sudah ada di depan.
"Aku pergi," pamitku seraya bangkit dan menyambar tas.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...