Bab 16.b Lembar-lembar Rahasia

2.4K 255 5
                                    

Setelah makan siang, Mami mengajakku ke ke taman belakang memperlihatkan koleksi tanaman anggreknya yang banyak sekali. Dengan penuh semangat ia menjelaskan nama-nama anggrek tersebut dan dimana ia mendapatkannya.

Menjelang sore Mami kedatangan tamu yang merupakan teman lamanya. Aku bergabung sebentar bersama mereka sebelum akhirnya berpamitan ke kamar untuk istirahat dan salat Asar

Dekorasi kamar ini tak banyak berubah, selain seprei putih dan kelambu khas pengantin yang sudah tak ada lagi. Dinding bercat kuning pucat dengan lis keemasan sangat serasi dengan ranjang dan meja rias. Ada foto pernikahan kami yang menghiasi dinding tepat di atas kepala tempat tidur.

Aku menduduki ranjang empuk beralaskan bedcover motif kotak-kotak yang terasa lembut ini. Mengenang malam pertamaku yang mendebarkan sekaligus membingungkan.

Beberapa hari setelah Bian mengajak konsultasi ke dokter kandungan untuk menentukan alat pengaman yang cocok, ia baru mau menyentuhku. Aku masih ingat malam itu, menjelang pukul dua belas, ia masuk ke kamar ini. Aroma alkohol yang cukup tajam menguar dari mulutnya.

Aku yang saat itu sedang berbaring di ranjang, buru-buru memejamkan mata, pura-pura tidur. Bian tidak sepenuhnya mabuk, tapi aku merasa ia seperti sengaja minum sebelum masuk ke kamar ini.

"Aku tahu kamu belum tidur," ucapnya seraya menyingkap ujung kerudungku.

Walau sudah sah menjadi istrinya, belum sekali pun aku berani melepas penutup kepala saat kami bersama.

Tubuhku membeku. Detak jantungku menggila, memikirkan mungkin inilah saatnya.

"Aku nggak suka ditolak." Ia berbisik tepat di telinga, lalu membalikkan tubuhku.

Tengkukku merinding karena takut, bingung dan juga malu. Seumur hidup aku belum pernah dekat dengan lelaki mana pun. Apalagi melakukan kontak fisik. Ini benar-benar pengalaman baru dan pertama bagiku.

Wajah dan matanya tampak agak memerah saat kami bertatapan dalam jarak hanya beberapa centi saja. Mungkin pengaruh alkohol. Aku tak tahu seperti apa ekspresi wajahku saat itu, karena sesaat kulihat Bian tampak terpana.

"Kamu takut?" Ia menatap lekat. Dari jarak sedekat itu aku bisa melihat kilauan bola matanya yang berwarna cokelat gelap.

Lidahku kelu. Tak sanggup berkata sepatah kata pun.

"Aku nggak akan menyakitimu," gumamnya, sambil melepas kerudungku dengan satu kali sentakan pelan.

"Kita ... salat sunah dulu, Mas ...." Susah payah kalimat itu keluar juga dari mulutku saat mencoba meloloskan diri dari gempuran jemarinya di piyamaku.

"Salat?" Ia menghentikan gerakannya tiba-tiba dan menatapku dengan wajah keheranan.

"Ya ... begitu adabnya sebelum ...."  Aku mengalihkan pandangan, tak sanggup menatap wajahnya. Dengan tubuh gemetar, aku bangkit dari ranjang dan bergegas ke kamar mandi.

Setelah berwudhu, aku melangkah keluar dengan gugup. Apalagi saat mendapati Bian tengah duduk di tepi ranjang mengawasiku dengan matanya yang tajam. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan saat itu. Apa ia marah?

Namun, ketika lelaki itu bangkit meraih handuk menuju kamar mandi, lalu keluar dengan wajah basah dan menggelar sajadah, aku akhirnya bisa bernapas lega.

"Aku nggak tahu doanya," ucapnya jujur, setelah kami menunaikan salat sunah.

Dengan terbata aku mengajarinya menghapalkan doa tersebut. Butuh waktu lima belas menit hingga akhirnya ia lancar mengucapkannya.

"Kok bisa sefasih ini? Sejak kapan kamu menghapalnya?" Ia menaikkan alisnya seperti meledek saat bertanya.

Alih-alih menjawab, aku bangkit meraih gelas berisi air minum yang berada di bufet dekat meja rias. Wajahku memanas. Jengah.

Dari pantulan cermin, kulihat Bian yang duduk di tepi ranjang tengah memandangiku dengan mata tak berkedip.

Selama dua puluh tiga tahun usiaku belum pernah ada yang menatapku seperti itu. Pergaulanku sangat terjaga, teman laki-laki juga sangat menghormatiku. Tidak ada yang berani terang-terangan menatap seperti yang tengah dilakukan Bian saat ini.

Aku tak tahu apa arti tatapan itu, tapi entah mengapa tubuhku seperti memberi peringatan untuk waspada. Dengan gugup aku meneguk minuman dan menghindari kontak mata dengannya

"Kapan mukenanya bakal kamu lepas?" Suaranya terdengar berat dan membuatku seketika merinding.

Tatapan kami kembali bertemu di cermin.

Kakiku seperti terpasak di lantai saat melihatnya bangkit dari ranjang mendekatiku.

"Jangan takut. Percayalah, kamu pasti akan menyukainya," bisiknya sambil mendekapku hingga kami tak lagi berjarak.

Walau panik setengah mati, tapi entah mengapa jauh di lubuk hati aku percaya bahwa semua akan baik-baik saja.

Aku tak pernah bisa merunut dengan jelas apa yang terjadi malam itu. Hanya fragmen-fragmen acak yang berserak di dalam ingatan. Tapi ada satu yang paling kuingat, saat tubuhku seperti terpental jauh ke galaksi, lalu hancur berkeping-keping dan menyatu dalam lautan kerlip cahaya bintang.

Tbc

Versi lengkap bisa dibaca di kbm aplikasi. Akun saya lia_musanaf 🥰

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang