"So, sejak menikah nggak pernah lagi?" Tanpa sadar aku mendengkus sinis dengan semua ironi ini.
"Kamu meragukanku?"
"Bukankah hal yang wajar kalau aku ragu? Mas sudah membenciku sejak awal kita menikah." Aku tertawa sumbang.
"Aku nggak pernah membencimu!" Nada suaranya terdengar agak meninggi. Seperti tidak terima dituduh seperti itu. "Apa aku pernah menyakiti dan berkata kasar padamu?"
"Mas memang nggak pernah menyakiti secara fisik, hanya saja terkadang sikapmu membuatku ... merasa nggak berharga. Mas hanya baik kalau ada maunya."
Ia segera bangkit dari tidurnya, lalu duduk di ujung ranjang yang hanya berjarak satu hasta dari tempatku menyusun pakaian.
"Aku hanya nggak tahu bagaimana cara memperlakukanmu, Nara. Seperti yang pernah kubilang, menikah jelas nggak ada dalam rencana masa depanku ... lalu tiba-tiba kamu udah menjadi istriku dan kita harus tinggal bersama."
"Pasti sangat tersiksa, ya, harus hidup dengan perempuan yang nggak Mas sukai?" Aku mencoba tertawa, walau kilasan masa-masa awal pernikahan yang pahit membayang di pelupuk mata.
"Kita sudah membahas hal ini ribuan kali. Aku nggak mau membahasnya lagi, karena kita sudah sampai di titik ini ...."
Ia menyugar rambut dan menghela napas panjang sebelum melanjutkan, "Kita bahkan juga udah sepakat untuk menjalani semampunya."
"Ya, ya aku tahu. Nggak ada anak, nggak ada masa depan dan aku boleh pergi kalau aku merasa udah nggak sanggup lagi menjalaninya, gitu, kan?" tukasku agak sewot.
"Ngomongnya biasa aja, kali. Nggak harus pakai emosi juga." Ia tertawa seraya menjawil pipiku sekilas. "Kamu, kok sensi banget, sih, kalau udah membahas soal anak?"
"Sensi bagaimana? Biasa aja." Aku melengos, saat ia berusaha kembali menyentuh wajahku.
Apa ia tidak sadar sikapnya yang seperti itu justru membuatku semakin bingung dengan perasaanku?
"Biasa aja, tapi muka ditekuk." Ia mengacak-acak rambutku gemas sampai menutupi seluruh wajahku, lalu tertawa-tawa melihatku merapikannya sambil bersungut-sungut.
"Kamu kepengen banget, ya punya anak?" tanya lelaki itu kemudian. Suaranya terdengar sungguh-sungguh. Tidak ada lagi raut geli di wajahnya seperti saat mengacak-acak rambutku tadi.
"Nggak juga "
Ia meneliti wajahku seperti mencari jejak kejujuran di sana.
"Beneran?"
"Memangnya kalau aku jawab kepengen, gimana? Mas pasti juga nggak mau, kan?" tanyaku skeptis.
Ia menggaruk-garuk belakang kepalanya dengan wajah sedikit tegang. "Entahlah ... hanya saja belum bisa dalam waktu dekat ini. Ada beberapa hal yang harus aku luruskan dulu ke kamu."
"Meluruskan apa?" Aku seperti terhipnotis mendengar penjelasannya yang menumbuhkan sedikit harapan itu.
"Sabarlah, nggak lama lagi kamu akan tahu." Ia bangkit dan membantuku mendorong koper-koper yang sudah terisi penuh ke sudut kamar.
Selalu seperti ini. Ucapannya meninggalkan ribuan tanya di dalam kepalaku. Menyebalkan!
Aku hanya bisa termangu memandanginya yang kini tengah mengosongkan isi laci meja. Gerakannya cekatan dan terukur saat memindahkan beberapa keping CD bercover salah satu band luar negeri ke dalam ransel. Garis wajahnya terlihat sangat menawan kala ia tersenyum tipis sambil menimang-nimang CD terakhir, sebelum memasukkannya ke tas tersebut.
Belakangan ini aku memang semakin sering memperhatikan lekaki itu diam-diam. Jadi hapal bagaimana mimik wajahnya saat memikirkan sesuatu yang mungkin penting. Juga mengagumi caranya berpakaian. Selalu saja terlihat pas, seolah pakaian itu memang sengaja dibuat khusus untuknya.
Aku suka mengamati pembuluh venanya yang kebiruan menyembul jelas dari tangan berkulit terang dan sedikit berotot itu. Juga jari-jarinya yang panjang dengan kuku yang selalu terpotong rapi. Caranya menggenggam mouse di meja saat mencari-cari sesuatu di layar komputer, menarik perhatianku. Tanpa bisa dicegah, pikiranku langsung membayangkan kehangatan yang tercipta dari jemari itu tiap kali kami menghabiskan malam bersama.
"Nara!"
"Apa ... kenapa, Mas?" Aku terkejut saat ia memanggilku.
"Kamu bengong kenapa?" Keningnya berkerut saat pandangan kami bertemu.
Dulu kamu pernah bilang, aku tidak boleh jatuh cinta padamu, kan? Apakah sekarang hal itu masih berlaku? Aku takut tidak bisa memenuhinya, Mas.
Pernyataan itu hanya tersangkut di tenggorokan, tak sanggup kuungkapkan.
"Nggak, kok. Ada apa?" Pipiku terasa memanas. Merutuki diri, masih sempat-sempatnya mengangankan hal konyol di saat-saat seperti ini.
"Aku dari tadi nanya, kamu jadinya milih lanjutin di kampus mana?"
"Oh, itu. Udah ada beberapa kampus yang kucari infonya. Namun belum kuputuskan memilih yang mana."
"Perlu bantuan?"
"Oh, nggak usah. Aku bisa sendiri."
Bian tidak perlu tahu, betapa galaunya aku memutuskan harus melanjutkan ke mana. Harapanku di bidang pendidikan samar-samar, tak ada bedanya dengan masa depanku bersama lelaki ini. Namun, setidaknya sikapnya padaku sudah banyak berubah. Bukankah itu hal yang patut disyukuri?
"Udah kelar semua, kan? Besok tinggal berangkat." Ia membuka kausnya dan melempar ke dalam keranjang pakaian kotor.
"Udah, kok. Udah masuk koper semua."
"Malam ini kita makan di luar?"
"Ide bagus. Aku emang nggak sempat masak hari ini."
"Aku tahu." Ia tersenyum. "Kalau gitu, aku mandi dulu."
"Oke."
Ia tetap belum beranjak dari tempatnya, dan terus mengawasiku.
"Kenapa?"
"Mau bantu menggosok punggungku?" pintanya sambil melukis senyum yang membuatku agak salah tingkah.
"Hanya ... hanya gosok punggung saja, kan?"
Tenggorokanku mendadak terasa kering. Hangat sorot matanya, membuatku kesulitan merangkai kata.
"Memangnya mau ngapain lagi?" Ia menaikkan kedua alisnya, dengan raut wajah geli.
Sial! Aku segera membuang muka.
"Tapi kalau kamu mau gosok bagian yang lain juga nggak apa-apa," desisnya seraya berjalan mendekat.
"No! Hanya gosok punggung pake spon!" Aku melemparnya dengan handuk.
"Ya ..., tapi aku tetap membebaskanmu melakukan apa yang kamu suka, selain menggosok punggung."
Ia mengaduh saat aku mencubit pinggangnya gemas. "Jangan mimpi!"
Aku jadi bertanya-tanya sendiri, apakah dulu lelaki ini juga selalu menggunakan semua pesonanya itu untuk menaklukkan perempuan, sehingga tidak bisa menolak apa pun yang ia tawarkan?
-tbc-
Cerita ini sudah tamat di KBMAPP dan Karyakarsa yaa.Bisa juga dibaca di grup telegram berbayar dengan harga terjangkau. Hubungi 0811667783 ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Roman d'amour~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...