Bab 21b. Rumput Liar

2.7K 276 12
                                    

Suara langkah Bian yang tegesa-gesa turun dari anak tangga, membuyarkan khayalan indahku tentang pernikahan impian.

"Hans nelpon!" katanya tanpa ditanya. "Dia lagi di luar kota, katanya tadi Chacha sempat nangis-nangis ngabarin kalau terjadi sesuatu dengan Celine."

"Ya, Tuhan!"

"Aku mau cek ke rumahnya dulu."

"Aku ikut, Mas!"

Kediaman Celine berada tepat di belakang rumah kami, dengan halaman dekat dapur yang saling berhadapan dan hanya dibatasi pagar pembatas setinggi dada orang dewasa. Sayangnya kami tidak bisa lewat belakang, tapi harus lewat pagar depan.

Jalanan kompleks sudah sepi karena saat ini sudah lewat pukul sebelas malam. Untung saja pagarnya tak terkunci sehingga kami bisa leluasa masuk.

"Celine! Chacha!" Bian mengetuk pintu rumah Celine dengan tak sabar.  

"Coba telpon, Mas!"

Bian meraih ponsel di sakunya, dan mencari kontak Celine.

"Cha, ini Om Bian. Buka pintunya!" 

Menunggu Chacha membuka pintu rasanya seperti seabad. Bian tampak sangat gelisah. Beberapa kali ia menyugar rambutnya frustrasi, sementara sebelah tangannya yang lain berada di gagang pintu.

"Om!" Mama!" Chacha langsung menghambur ke pelukan Bian saat pintu ahiyrnua terbuka.

"Iya, kenapa Mama?" Bian membalas rangkulannya. Gadis kecil itu kemudian mengajak kami mengikutinya ke dalam kamar.

"Mama tadi minum-minum, abis tu nggak bangun-bangun." Chacha terisak-isak saat memegang tangan Celine yang terkulai layu di pembaringan.

Dua buah botol kaca yang kuduga bekas wadah minuman beralkohol yang tergeletak di lantai menarik perhatianku.

"Celine!" Bian menepuk-nepuk pipi perempuan itu khawatir. Namun, tak ada respon sama sekali.

"Harus bawa ke rumah sakit ini. Kayaknya dia keracunan alkohol." Wajah Bian tampak tegang, tanpa pikir panjang ia menggendong Celine.

"Kunci mobil mana, Cha? Pakai mobil mamamu aja!"

Secepat kilat gadis itu mencari kunci di atas meja dan menyerahkan padaku. Aku keluar lebih dulu, membuka pintu mobil lalu membantu Bian membaringkan tubuh Celine di bangku belakang.

"Aku ke rumah sakit, kamu jagain Chacha, ya!"

"Chaca ikut, Om!" Gadis itu merengek.

"Kami ikut aja, Mas." 

"Terus Raffa gimana? Pintu juga belum dikunci, kamu juga hanya pakai daster doang, nggak nutup sempurna. Ini darurat, nggak bisa nunggu lama-lama. Besok aja kalian nyusul, ya!"

Perkataan Bian ada benarnya. Terlalu memakan waktu kalau kami ikut, sedangkan Celine butuh pertolongan segera.

"Baiklah. Hati-hati, Mas."

Aku membujuk Chacha yang masih menangis saat melepas kepergian Bian, lalu mengajaknya masuk.

"Malam ini kita nginap di rumah Tante, ya. Chacha boleh bawa selimut atau boneka yang biasa nemani Chacha bobok."

Gadis itu menurut. Sambil terisak-isak, ia mengikutiku ke rumah. Ada rasa iba yang mengetuk-ngetuk hatiku, saat melihat gadis sekecil Chacha harus menyaksikan ibunya mabuk berat sampai tak sadarkan diri. Entah apa yang terjadi pada Celine, hingga ia berbuat senekat itu.

"Bobok, ya. Udah malam," bisikku seraya membelai rambutnya yang panjang.

"Mama nggak apa-apa kan, Tante? Mama ... nggak akan meninggal, kan?"

"Hus, nggak lah. Kita berdoa sama-sama, ya. Semoga Mama baik-baik saja." Aku memeluknya, sambil membisikkan kata-kata penghiburan agar ia tenang.

Tak berapa lama, gadis kecil itu tertidur juga. Sayabtgnya mataku justru tak mau terpejam hingga dini hari. Banyak pertanyaan yang berseliweran di kepala. Tentang Celine yang tega mabuk saat sedang bersama anaknya, dan tidak ada orang lain di rumah mereka. Tentang isu perpisahannya dengan Davin. Kenyataan bahwa Bian juga seperti memusuhi Davin, juga sangat mengganggu pikiranku.

Ada apa dengan mereka semua? 

-Tbc-

Di aplikasi kbmapp udah tamat. Akun saya lia_musanaf 🥰

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang