Aku keheranan saat menyambut uluran tangannya, tapi mencoba tersenyum.
"Aku Celine. Kakaknya Hans," lanjutnya, lalu duduk di dekat Bian.
"Oh. Salam kenal, Mbak Celine."
Masih terheran-heran aku mengamatinya diam-diam. Perempuan itu memakai mini dress dan stoking hitam yang membalut tungkainya yang panjang. Anting-anting super besar menghiasi telinga. Rambut ekor kudanya berayun-ayun saat dia bergerak. Penciumanku menangkap parfum beraroma mawar segar yang menguar dari tubuhnya.
"Sorry, baru sempat mengenalkan diri sekarang. Padahal Chaha sering cerita tentang kamu."
Selama ini aku memang belum pernah bertemu dengannya, walau rumah kami bersebelahan
"Nggak apa-apa, kok. Jadi ... Mbak Celine mamanya Chacha?" Aku tertawa kecil sambil melirik Bian yang tak ikut bicara. Ia terlihat sibuk dengan minumannya.
"Iya bener. Oh ya, bagaimana Chaca di sekolah?"
"Walau awalnya dulu masih sering malu-malu, sekarang udah bisa beradaptasi. Dia juga suka banget menggambar."
"Makasih, ya. Berkat kamu Chacha jadi semangat ke sekolah."
"Oh, bukan apa-apa, kok, Mbak," jawabku sungkan.
Aku mengorek-ngorek ingatan tentang Chacha yang pemalu dan tak banyak bicara. Selama kami berinteraksi, hampir tak pernah dia menyebut ibunya. Dulu aku sempat mengira, kalau sang ibu sakit atau terlalu sibuk, sampai-sampai tak pernah sekali pun terlihat keluar rumah atau mengantar Chacha ke sekolah.
Gadis kecil itu sangat dekat dengan Hans, seolah dunianya hanya berpusat pada pamannya tersebut. Saat Hans di kantor, dia dijaga oleh pengasuh.
"Bi, mau turun, nggak?" Perempuan itu menepuk bahu Bian sambil tertawa. "Nara kayaknya pengen liat lo manggung."
Dalam keremangan aku bisa melihat muka Bian yang tegang. Buru-buru ia kembali menyesap minumannya, seperti tak ingin diganggu.
"Hei, ayolah!" Celine terus mengguncang bahu lelaki itu. Menilik dari caranya berbicara dan melakukan kontak fisik, sepertinya dia sangat akrab dengan Bian.
Bian hanya menggeleng, lalu melipat tangan di dadanya.
"Siapa tahu Bian mau kalau istrinya yang bujuk." Celine mengedipkan matanya ke arahku.
Aku hanya bisa tertawa kecil, bingung harus bersikap bagaimana. Aku tidak ingin menyuruh Bian main musik kalau dia tidak mau, lagi pula aku ingin cepat-cepat keluar dari tempat ini.
"Kapan-kapan aja," ucap Bian akhirnya. "Udah, ah. Gue cabut dulu. Udah malam."
"Lho, kok buru-buru amat. Jam sebelas aja belum." Celine memberengut. "Udah lama banget lho, lo nggak ke sini. Sekalinya datang, eh, cuma mampir bentar. Payah lo!"
"Ini bukan tempat gue lagi, Line." Bian bangkit sambil mendengkus. "Gue juga nggak tahu kenapa ke sini tadi."
Aku buru-buru meneguk minumanku, agar tak terlibat dalam pembicaraan mereka. Perubahan wajah Bian yang menjadi keruh membuatku agak khawatir dia akan kembali menarik diri.
Celine menepuk-nepuk bahu lelaki itu seperti upaya untuk menenangkan, tanpa bicara apa-apa lagi. Aku bisa merasakan suasana mendadak canggung, saat mataku dan Bian bertemu, sementara tangan Celine dengan kasual masih berada di bahunya.
Aku cepat-cepat membuang pandangan dan kembali meneguk minumanku hingga tandas. Pikiranku tanpa bisa dicegah mengingat-ingat kapan Bian bisa sesantai dan sedekat ini dengan seseorang. Dan aku tak menemukan apa-apa. Bahkan dengan keluarganya sendiri, Bian selalu menarik diri.
Aku tak mau berspekulasi apa pun tentang kedekatan mereka. Bian tidak mungkin sekejam itu mengajakku ke sini dan bertemu Celine kalau ada hubungan spesial yang terjalin di antara mereka, bukan?
Tapi, siapa yang bisa menebak apa yang ada di dalam pikiran lelaki itu? Mungkin saja dia bahkan lebih kejam dari yang pernah kubayangkan.Tengkukku tiba-tiba terasa dingin saat imajinasiku bergerak semakin liar
"Kita pulang?" Suara Bian membuyarkanku dari pikiran-pikiran sumbang di dalam kepala.
"Oh. Pulang? Baik. Kita ... kita pulang saja." Aku tak bisa berbicara dengan benar di bawah tatapan Bian yang tajam.
"Nanti pas charity lo janji untuk datang, ya!" kata Celine pada Bian saat kami berpamitan.
"Liat ntar, deh!"
Celine memelukku sekilas dan melakukan hal yang sama pada Bian seraya berjinjit, menempelkan tubuhnya dan membisikkan sesuatu yang tak bisa kudengar karena suara dari panggung yang cukup keras.
"Ya, udah. Gue cabut dulu." Bian merenggangkan tubuhnya, menjauh dari perempuan itu
"Take care, Bi."
Celine melambaikan tangannya saat kami beranjak dari tempat itu.
Aku memilih untuk berjalan terlebih dahulu. Menahan diri agar tidak tergoda untuk menginterogasi Bian dengan banyak pertanyaan yang bemunculan di kepala.
Detak tumit sepatuku terdengar lantang dan tergesa-gesa di lantai marmer bangunan tua ini. Di belakangku Bian hanya diam seribu bahasa.
"Celine itu sahabatku. Satu-satunya yang tersisa ... dari manusia yang bisa kupercaya."
Ia tiba-tiba mengatakan hal itu saat kami sampai di parkiran. Nada suaranya berbeda, terdengar pelan dan hangat.
"Oh, begitu." Aku mencoba tersenyum saat dia menatapku seperti menunggu sesuatu.
"Dia ... cantik." Hanya itu yang bisa kukatakan, walau sebenarnya banyak pertanyaan penting yang seharusnya bisa kuajukan.
Sulit dipercaya, Bian tertawa kecil. Itu tawa spontan pertama yang pernah kulihat saat kami bersama.
"Dari banyak hal, nggak nyangka tanggapanmu begitu. Kamu ... memang sulit diprediksi." Ia menyerahkan helm padaku sambil geleng-geleng kepala. Senyum masih belum surut dari bibirnya.
Apa sebenarnya yang coba ia sampaikan padaku?
Bukankah seharusnya manusia yang sulit diprediksi itu justru dirinya sendiri?
Dalam perjalanan pulang, aku kehilangan momen menyenangkan seperti saat berangkat tadi. Parfum beraroma mawar milik Celine tertinggal di kemeja Bian dan itu membuatku mual.
Beberapa kali Bian mencoba menangkap tanganku agar berpegangan padanya, tapi tak kuhiraukan. Kepalaku riuh memikirkan banyak kemungkinan.
Selama lebih dari sebulan Celine menjadi tetangga kami, tak pernah sekali pun dia menampakkan batang hidungnya di hadapan kami. Andai tidak bertemu malam ini, apakah Bian tidak akan pernah cerita padaku kalau kakak Hans itu adalah sahabatnya?
Semua pertanyaan-pertanyaan itu sedikit menemukan titik terang saat keesokan harinya setelah pulang mengajar, Mami menungguku di depan TK Nusa Indah.
Chacha yang mencium tanganku sebelum pamitan, menarik perhatian Mami.
"Ra, itu muridmu?" Mata Mami tak lepas dari Chacha yang naik motor bersama pengasuhnya.
"Iya, Mi. Kenapa?"
"Itu si Chacha bukan?"
"Lho, kok, Mami tahu?"
Aku bisa melihat air muka Mami tampak terkejut, tapi segera ia samarkan seperti tak terjadi apa-apa.
"Oh, dia ... itu masih anak kerabat jauh juga. Teman Najwa dulunya. Nggak nyangka Mami dia sekolah di sini."
Rasa penasaran semakin membelitku. "Dia tinggal di sebelah rumah kami, kok, Mi. Baru sebulanan ini pindah ke sini. Uhm ... ibunya sahabat Mas Bian."
Kali ini Mami terbelalak tak percaya. "Serius kamu?"
"Masa Nara bohong." Aku tertawa sambil terus mengawasi ekspresi wajah Mami.
"Mami ... kenal sama Celine sahabatnya Mas Bian itu?"
Mami memandangi wajahku dengan sorot mata yang susah kuartikan. Seperti ada kecamuk besar di hatinya yang membuatnya sulit berkata-kata.
-tbc-
Cerita ini juga tayang di kbmapp udah mwnuju ending. Akun saya lia_musanaf. Yuk subscribe biar dapat notifikasi updaten terbaru. 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...