Bab 18c ~ Zaidan

2.8K 313 21
                                    

Saat makan malam, Raffa tak banyak bicara. Sikapnya berbeda jauh dibandingkan ketika kami di rumah Zaidan tadi. Aku melirik Bian di seberang meja yang makan dalam diam seperti biasa. Agaknya itu yang membuat adikku itu tampak sungkan.

Menit demi menit berlalu dalam keheningan, dan membuatku merasa serba salah. Mungkinkah Bian tidak menyukai kehadiran adikku di rumah ini? Namun pikiran burukku tak sepenuhnya benar, saat Bian menawarkan Raffa untuk menambah makanan sambil tersenyum samar. Bahkan setelah makan, ketika aku sedang mencuci piring dan merapikan meja, kulihat mereka sudah sibuk saja merangkai lego di ruang tamu sambil bercakap-cakap entah membicarakan apa.

"Bikin apaan, sih? Seru banget."

"Rakit lego helikopter yang dibeliin Uda Zaidan tadi. Tolong fotoin, ya, Ni, kirimin ke Uda." Raffa tampak kegirangan setelah berhasil merakit kepingan lego itu menjadi sebuah helikopter.

"Masa itu aja difotoin," ledekku.

"Ya, nggak apa-apa. Uda pasti senang. Ayolah!"

Raffa langsung bergaya memamerkan mainan itu, saat aku memotretnya. Bian yang ada di dekatnya, segera berpindah tempat, dan memalingkan wajah.

"Raffa suka game di komputer, nggak?" tanya Bian setelah dua kotak lego itu berhasil mereka rakit.

"Game kayak di komputer Uda Zaidan, ya, Mas?" Matanya berbinar saat menatap Bian.

"Mas nggak tahu seperti apa game di komputer Zaidan. Namun yang jelas game di komputer Mas seru banget. Raffa pasti suka. Yuk, kita ke atas!"

Walau sejak tadi, Bian seperti sengaja mengabaikanku, tapi aku cukup senang ia mau mencoba bersikap baik pada Raffa.

Selagi mereka di atas, aku membongkar koper dan barang-barang bawaan Raffa lainnya. Menyusun pakaian bersih di dalam lemari, dan memisahkan pakaian kotor waktu ia menginap di rumah Zaidan kemarin.

Aku menemukan sebuah kotak persegi berukuran sedang, di dalam salah satu kantong bawaan Raffa. Kotak mirip kado itu membuatku penasaran dengan apa isi di dalamnya.

Saat dibuka, aku mendapati sebuah hiasan atau lebih tepatnya cendramata yang terbuat dari kayu berukir yang sangat cantik. Aku meraba ukirannya yang terasa halus. Setelah mengamatinya dengan saksama, aku baru menyadari itu gambar burung cendrawasih berlatarkan dedaunan dan sulur-sulur dengan detail yang cukup rumit. Di bagian bawah dekat ekor burung, ada tulisan kecil berbunyi, "Panjang umur dan bahagia selalu, Innara"

Zaidan! Aku segera tahu itu dari Zaidan. Kata-katanya tiap memberiku hadiah selalu sama, tidak pernah berubah sedikit pun. Aku tertawa menyadari fakta itu. Dasar tidak kreatif!

Aku buru-buru mengambil ponsel dan mengirim pesan padanya.

[Dan, makasih ukirannya. Itu dari Papua, ya?]

[Ya]

[Bagus banget]

[Pilihanku mana ada yang jelek]

[Iya, deh] Aku membubuhi emotikon orang mencibir sebanyak tiga buah padanya.

[Aku nggak ada kado apa-apa untuk pernikahanmu. Anggap aja itu kadonya.]

[Jadi ini kado pernikahan?]

[Bingung ngadoin apa untuk menantu Pak Aziz. Kalo ngasih tiket bulan madu, ya kemahalan, nggak cukup duitku. Hahahaha.

Tapi kalo diitung-itung, kadoku itu mahal juga lho, Ra. Ongkos ke Papua aja udah berapa coba. Belum biaya selama di sana. Belum perjuangan mencari perajin yang bagus dan bisa custome tulisan segala]

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang