Dalam perjalanan pulang, aku kehilangan semangat bahkan untuk sekadar menjawab pertanyaan-pertanyaan Raffa. Mungkin Bian tahu suasana hatiku sedang buruk, saat ia mengalihkan perhatian adikku itu dengan mengajaknya mengobrol.
Tak lama kemudian ia membelokkan mobil ke sebuah restoran bergaya modern klasik. Dari luar, bangunan berdiri dengan anggun sekaligus gagah. Lampu-lampu antik menggantung cantik menerangi ruangan yang didomanisai warna hitam putih itu memberi nuansa hangat dan intim.
Pelayan mengantar kami ke sebuah meja yang sebelumnya sudah dipesan oleh Bian dan berada di lantai dua. Terletak di sudut ruangan dekat jendela berbingkai lebar dan tinggi, aku bisa dengan leluasa pemandangan kota Jakarta di sore hari.
"Raffa mau makan apa?" tanya Bian saat pelayan menyodorkan daftar menu.
Raffa membolak balik daftar menu dengan antusias. Membaca satu persatu nama menu yang aneh di lidahnya saat diucapkan, lalu bertanya pada Bian menu itu berbahan dasar apa.
"Kok mahal sekali?" keluh bocah itu sambil melirikku sekilas, seperti meminta pendapat apakah ia boleh memesan makanan tersebut.
Bian tertawa, seraya berkata, "Mas punya banyak duit, Raffa nggak usah mikirin harganya."
Wajah Raffa seketika berubah cerah, lalu berbisik pada Bian sambil tertawa-tawa. Entah apa yang ia katakan, tapi cara mereka berdua melirikku, sepertinya itu ada hubungannya denganku.
"Apaan, sih? Pake bisik-bisik segala?"
"Ini rahasia cowok, ya, nggak Mas?" Rafa tertawa geli saat melihatku manyun, lalu melakukan gerakan "tos" pada Bian.
Aku hanya tertawa kecut, menyadari mereka bisa seakrab ini sekarang. Memang sehari setelah malam kedatangan Raffa waktu itu, keesokan harinya Bian akhirnya memilih tidur bersama adikku itu di lantai atas. Setelah makan malam, biasanya mereka sering bermain PS, atau mengutak-atik sesuatu di laptop Bian.
***
Sisa hari itu kuhabiskan dengan tak banyak bicara dan sengaja "menyingkir" dari mereka. Membiarkan kedua lelaki itu sibuk mengobrol tentang tokoh game yang aku tak mengerti sama sekali.
Aku juga tidak terlalu ambil pusing, saat sampai di rumah, kedua lelaki itu juga langsung ke atas dan tak turun-turun lagi. Walau cukup senang melihat Raffa cepat akrab dengan Bian, tetap saja kejadian menyebalkan di ruang rapat Planet Kidz tadi siang masih mengganggu pikiranku.
Sudah hampir pukul sepuluh malam, tapi mataku masih nyalang. Aku memutuskan keluar kamar dan mendapati ruangan sangat senyap, bahkan tak tak ada bunyi apa pun dari lantai atas. Mungkin mereka sudah tidur.
Aku termangu di depan kompor, ingin memasak sesuatu, tapi rasanya ini sudah terlalu malam untuk mengonsumsi makanan. Akhirnya aku membuat segelas cokelat hangat dan menikmainya di meja dapur sambil melamun.
Perkataan Raya dan Elena tadi siang silih berganti mengetuk-ngetuk kepalaku. Pasti ada sesuatu yang coba mereka sampaikan tapi tak kupahami. Atau mungkin belum.
"Belum tidur?"
Aku tersentak saat Bian sudah berdiri di ambang pintu. Rambut dan juga kaus putih yang membalut tubuhnya tampak sedikit kusut. Mungkin ia tadi sempat ketiduran saat bermain PS bersama Raffa sebelum kemudian terjaga.
"Kamu ... masih marah?" Ia mendekat tanpa mengalihkan pandangannya. Mungkin wajahku yang barangkali saat ini terlihat muram, tak bisa menyembunyikan apa yang berkecamuk di dalam hatiku.
Aku tidak menanggapi, hanya memainkan pegangan cangkir menghindari tatapannya. Rasanya tak bertenaga untuk membahas apa pun dengannya malam ini.
"Raffa sudah tidur?" tanyaku setelah selama beberapa waktu kami terjebak dalam keheningan.
"Sudah."
"Sepertinya aku juga harus tidur." Aku meneguk minumanku hingga tandas, lalu bangkit dan mencuci cangkir di wastafel dengan terburu-buru.
"Tunggu!" Ia menyambar lenganku saat aku melewatinya menuju pintu.
"Ada apa?"
"Aku punya sesuatu untukmu." Ia menyodorkan sebuah paper bag kecil yang sempat luput dari perhatianku.
"Ini apa?"
"Hadiah."
Aku tertegun memandangi kantung itu.
"Kemarilah!" Bian menuntunku duduk kembali di kursi sebelahnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak kayu dengan logo sebuah brand ternama dari kantung kertas tersebut.
Ia membuka kotak yang ternyata berisi sebuah jam tangan berbentuk bulat dengan tali kulit berwarna cokelat muda. Aku diam saja saat ia meraih tangan kiriku dan memakaikan benda tersebut.
"Terima kasih," ucapku sambil memandangi arloji yang melingkari pergelangan tanganku itu. Kilauan mutiara-mutiara kecil yang menghiasi benda tersebut, berkilauan tertimpa cahaya lampu
"Kamu suka?"
"Gimana nggak suka pada jam sebagus ini?" Aku tertawa kecil. "Pasti harganya mahal."
"Lumayan. Menghabiskan hampir separuh bonus kantor yang kudapat bulan ini." Ia ikut tertawa sambil membolak-balik tanganku memandangi jam tersebut.
"Kenapa Mas membuang-buang uang hanya demi sebuah jam tangan? Toh fungsinya sama aja dengan jam murahan. Sama-sama penunjuk waktu."
"Aku hanya ingin membelikan sesuatu yang bagus untukmu dengan uangku ... selama ini Mami selalu mengambil alih semuanya."
Aku terdiam. Ada perasaan aneh yang diam-diam menjalari hati, melihat matanya yang sedikit sendu saat menatapku.
"Kenapa Mas melakukan ini untukku?" tanyaku lirih, mencoba mengabaikan pemikiran liar yang menghinggapi kepala. Kalimat tajam darinya seminggu lalu masih membekas jelas di ingatanku.
"Kamu udah memberikan waktumu yang sangat berharga untuk terjebak bersama lelaki sepertiku. Jam tangan ini, nggak akan cukup untuk membayar semua itu."
"Oh, begitu rupanya."
Entah mengapa aku sedikit kecewa mendengar ucapannya. Mungkin harapanku terlalu tinggi dan berharap ia mengatakan sesuatu yang jauh lebih manis seperti, menyesal sudah menyakitiku dan sekarang baru menyadari kalau ia mulai menyukaiku ... atau hal-hal semacam itu. Ah, konyol! Tentu saja kalimat tersebut mustahil sekali keluar dari mulutnya.
"Aku juga minta maaf."
"Maaf untuk apa?"
"Untuk semua hal yang telah kulakukan dan melukai perasaanmu."
Ini seperti bukan di alam nyata, saat melihat lekaki berhati dingin dan bermulut tajam ini mengucapkan maaf dengan mata berembun padaku.
-tbc-
Bian si bunglon. Sikapnya suka berubah-ubah nggak keruan. Kali ini dia beneran berubah baik nggak, ya? 🙄
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...