Kami sampai di gerai ponsel yang terletak tidak jauh dari area sebuah mall, sekitar setengah jam kemudian. Saat turun dan menyerahkan helm padanya, Bian mengamatiku sejenak.
"Kerudungmu miring," ucapnya, sembari mengusap bagian kepalaku sekilas.
"Oh, iyakah?" Aku buru-buru mendekat ke kaca spion dan membenarkan penampilanku di sana.
Menyadarinya mengawasiku dari belakang membuatku sedikit gugup. Tidak bisakah ia mengabaikanku saja seperti biasa?
Kami berjalan bersisian menuju toko. Bian tampak menjulang di dekatku yang hanya sebahunya. Hari ini dia memakai celana jeans selutut dan kaus putih serta jaket denim sebagai luaran. Sneakers putih melengkapi penampilannya yang casual. Sekilas dia lebih mirip mahasiswa tahun pertama daripada pria umur tiga puluh tahun.
"Mau yang mana?" Ia bertanya setelah kami melihat-lihat isi dalam toko.
"Terserah saja." Aku kebingungan dengan banyaknya pilihan.
"Semua hal dalam hidupmu memang harus diputuskan orang lain, ya? Bahkan untuk memilih ponsel, kamu juga nggak bisa mutusin?" Bisikannya terdengar sinis di kupingku.
Aku menyikut perutnya gemas. "Bukan nggak bisa mutusin. Bagaimana kalau aku salah pilih? Atau Mas katakan saja aku boleh milih ponsel yang harganya kisaran berapa?"
"Kenapa harus bingung? Kamu kan punya kartu ajaib yang bisa membeli apa pun yang kamu mau."
Aku tertegun. Kartu ajaib? Oh, apakah maksudnya kartu kredit dari Bapak yang diberinya tempo hari itu? Aku sama sekali tidak membawanya. Kartu itu kusimpan di dalam lemari, tanpa berniat sedikit pun untuk menggunakannya.
Aku jadi malu sendiri karena sempat berpikir ia akan membelikanku ponsel baru.
"Aku nggak bawa kartunya. Tapi aku bawa kartu debit punyaku. Ya, tentu saja aku akan menggunakanya." Aku tertawa menyadari kebodohanku sendiri.
Setelah puas melihat-lihat, aku akhirnya memilih ponsel paling murah yang ada di sana.
"Nggak pengen pilih yang itu?" Bian menunjuk sebuah ponsel berlogo apel seri terbaru yang harganya membuatku geleng-geleng kepala.
"Terlalu mahal. Toh, fungsinya hampir sama aja, kan?"
"Kalau kamu menerima tawaran Mami untuk gabung ke Planet Kidz, seenggaknya kamu mulai mengubah pilihan gaya hidupmu. Ponsel hanyalah salah satunya."
"Bukannya Mas sendiri yang bilang, ya, kalau aku harus bisa memutuskan sendiri apa yang cocok untukku?"
Bian terdiam, seperti terjebak oleh kata-katanya sendiri.
"Lagian aku belum memastikan mau gabung, kok. Kalau, toh, akhirnya gabung di sana, aku akan tetap jadi diriku sendiri."
"Baguslah kalau begitu." Ia berjalan menuju kasir dan mengeluarkan kartu debit dari dompetnya.
"Terima kasih," ucapku lirih saat kami keluar dari sana. "Kupikir tadi ...."
"Berhubung aku udah beliin kamu ponsel. Lain kali kamu traktir aku makan. Kalau kamu udah gajian." Ia langsung menyela ucapanku.
"Tentu. Nanti aku traktir Mas makan di mana pun Mas pengen. Tapi jangan di tempat yang mahal, ya. Gajiku kecil banget soalnya, namanya juga hanya guru bantu."
Terdengar suara dengkusan seperti menahan tawa dari mulutnya
"Wah ... Baru kali ini kulihat Mas tertawa padaku." Aku seakan tak percaya, kala melihat ekspresi wajahnya sedikit menyeringai.
"Aku nggak tertawa," ucapnya, lalu mengubah air mukanya kembali datar.
"Apa aku segitu menyebalkannya, ya, sehingga untuk tertawa padaku pun Mas nggak sudi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romantizm~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...