Bab 29. Kasih yang Tak Berbalas

2.3K 192 13
                                    

Kuliah lagi?

Pertanyaan itu terus menggema di kepalaku sejak kalimat tersebut tercetus dari mulut Bian saat kami menginap di rumah Mami. Aku termangu di depan layar laptop yang  menyala. Mencari-cari kampus yang sekira cocok. Berbeda dengan adik-adikku yang prestasinya cukup menonjol di sekolah, aku bisa dibilang pas-pasan. Aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang kuinginkan saat mengenyam bangku pendidikan.

"Kamu masuk seni rupa saja, Ra." Itu komentar Zaidan saat melihat tugas prakaryaku di sekolah dulu. Satu-satunya mata pelajaran yang kusukai hanya kesenian, itu pun khusus kerajinan tangan. Ah, aku memang sepayah itu.

"Ibu ingin kamu jadi guru, Ra. Kamu pinter ngemong adik-adikmu. Lagi pula kalau jadi guru, waktumu tidak terlalu tersita dibandingkan kerja kantoran biasa."

Pendapat ibuku yang sederhana beda lagi, saat aku mengisi formulir pendaftaran kuliah. Padahal menjadi guru tentu saja tidak semudah dan sesederhana yang Ibu pikirkan.

Pada akhirnya aku memilih jurusan pendidikan seni rupa dan tetap saja aku bukan mahasiswi berprestasi di sana. Hanya mahasiswi dengan nilai standar yang setamat kuliah langsung menikah.

"Kamu bisa menata ulang mimpimu." Ucapan Bian tempo hari kembali terngiang.

Bagaimana cara menata ulang mimpi kalau aku tidak punya mimpi sama sekali? Di duniaku yang simpel, semuanya hanya berpusat pada keinginan dan kebahagiaan Ibu. Menikah dengan Bian, seperti menyelesaikan semua mimpi Ibu yang dititipkan di pundakku. Ibu tidak perlu lagi khawatir kalau kami kekurangan uang, karena dulu Bapak memberi hantaran yang sangat besar saat melamarku untuk anaknya. Belum lagi biaya sekolah adik-adikku yang ditanggung semuanya oleh Bapak. Rekeningku juga selalu bertambah jumlahnya tanpa kusadari. Bian dan Bapak rajin mentransfer secara berkala. Bisa dibilang, secara finansial kami sudah sangat aman sekarang.

Mungkin satu-satunya yang kuinginkan hanyalah membuat Bian menerimaku utuh sebagai istrinya. Tanpa syarat apa-apa. Tanpa dibayang-bayangi masa lalunya dengan Kei. Sekilas hanya keinginan sederhana, tapi tidak untuk kasusku. Semua yang menyangkut Bian tidak pernah sederhana.

Aku membuka laci meja dan mengambil buku harian. Di dalamnya terselip kertas lusuh yang dilempar Bian malam itu di ruang piano. Kertas yang kupungut keesokan harinya saat ia masih terlelap.

Perlahan kueja lagi tiap kalimat yang terukir di sana, walau aku sudah hapal di luar kepala.
...

Aku tidak tahu
Sejak kapan semua bermula
Kau menerangi hidupku
Yang semula gulita
Aku tidak tahu
Sejak kapan semua bermula
Aku dan kamu menjadi kita
...

Aku menduga itu adalah  lirik lagu yang diciptakan Bian, karena juga terdapat notasi balok di sana. Melihat kertasnya yang sudah lusuh dan menguning, sepertinya sudah ditulis lama sekali.

Aku mengeja bait kedua, yang tampaknya baru-baru ini ditulis karena tintanya sangat berbeda dengan tinta pada bait pertama yang sudah memudar.
...

Apakah kau tahu?
Setiap napas yang kuhela
Selalu ingin bersamamu
Apakah kau tahu?
Setiap detik yang tersisa
Selalu ingin bersamamu

Always you...
Always you...
...

Aku langsung tahu untuk siapa lagu itu tertuju. Siapa lagi kalau bukan Kei? Lagu yang dibuat sepenuh hati untuk kekasihnya yang sudah meninggal itu.

Aku tertawa pahit sambil merutuki kebodohanku sendiri yang merasa terancam oleh orang yang jelas-jelas sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Ya, Kei memang sudah lama pergi, tapi ia abadi dalam kehidupan Bian. Kehilangan Kei seperti kehilangan seluruh hidupnya. Begitu yang pernah diceritakan Davin padaku.

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang