Aku akhirnya memutuskan untuk ke taman belakang menyiram tanaman, dan menggunting ranting-ranting mawar yang sudah tua.
"Nara, ada telepon dari ibumu. Ponselmu masih belum mau nyala, ya?" Aku terkejut saat Bian tahu-tahu sudah berada tepat di ambang pintu dapur menyodorkan ponselnya. Ia masih bertelanjang dada, tapi handuknya sudah tak ada lagi, digantikan oleh celana katun selutut warna abu-abu tua.
"Assalamualaikum, Bu. Apa kabar? Ibu sehat?" Seketika kekesalan pada Bian tadi menghilang begitu saja saat menerima telepon dari perempuan tersayang itu.
"Waalaikumsalam. Ibu sehat, adik-adik juga. Kalian bagaimana?" Suara Ibu selalu berhasil menjadi penyejuk saat hatiku sedang gundah.
"Alhamdulillah, kami sehat, Bu." Aku melirik Bian yang tengah mengawasiku, sebelum akhirnya ia ke dapur mengambil minuman, lalu kembali ke lantai atas.
"Alhamdulillah, Ibu senang mendengarnya." Lalu cerita Ibu mengalir begitu saja. Tentang keadaan di rumah. Tentang adik-adikku, tentang kerinduannya padaku, hingga tanpa terasa mataku berkaca-kaca saat Ibu bertanya apa aku sudah hamil.
"Belum, Bu. Doakan saja, ya!" Jawaban klise penuh kebohongan itu sudah sering kuulang tiap Ibu bertanya.
"Iya, yang penting tetap usaha dan sabar menunggu hasil. Soal rezeki, Allah yang menentukan."
Aku hanya tersenyum kecut. Bagaimana bisa menunggu hasil kalau sejak awal Bian memang tidak ada rencana untuk memiliki anak dariku?
"Oh, ya Raffa, kan libur sekolah. Kemarin waktu Zaidan pulang, dia mengajak adikmu itu ke Jakarta," lanjut Ibu memutus lamunanku.
"Wah, kebetulan sekali, Bu. Raffa libur ke sini saja! Kalau bisa, Ibu ikut sekalian."
Terdengar suara tawa Ibu di ujung telepon. "Ibu tidak mungkin pergi saat ini, adikmu yang lain tidak mungkin ditinggal."
Aku ikut tertawa mengiakan. Di atas Raffa, masih ada si Kembar Dini dan Dina, yang masih kelas tiga SMP, lalu Faiz kelas dua SMA. Sedangkan adik tertuaku Aisha, baru saja masuk kuliah.
"Oh, ya, jangan lupa pesan Ibu untuk melayani suamimu dengan baik, ya. Surga istri itu ada pada suaminya, Nara."
"Iya, Bu. Nara tahu. Nara akan terus ingat pesan Ibu."
"Ibu percaya padamu, Nara. Maaf, kalau Ibu terlalu ingin tahu, tapi Bian tidak pernah kasar padamu, kan? Walau saat kecil dulu kalian cukup dekat, tapi kan sudah bertahun-tahun tidak lagi bertemu. Kalian baru bertemu lagi hanya beberapa hari sebelum menikah." Ada kebimbangan yang kutangkap dari suara Ibu. Mungkinkah naluri Ibu tahu ada yang tidak beres dengan anaknya?
Aku terdiam selama beberapa saat, sebelum berkata, "Nggak, kok, Bu. Mas Bian baik banget dan nggak pernah marah. Kami sering mengenang masa kecil dulu. Dia sayang sama Nara dan sering ngajak jalan-jalan. Katanya biar Nara betah di sini dan nggak kesepian karena jauh dari Ibu. Mami dan Bapak juga memperlakukan Nara dengan baik." Aku menjaga nada suaraku tetap riang, walau saat ini pandanganku sudah mengabur oleh air mata yang tiba-tiba menggenang.
Lalu, kebohongan demi kebohongan lainnya tentang Bian dan keluarganya meluncur lancar dari mulutku. Aku hanya ingin meyakinkan Ibu bahwa pernikahan kami baik-baik saja. Bahwa Ibu tidak usah terlalu mengkhawatirkan keadaanku di sini.
Setelah hampir satu jam mengobrol, Ibu menutup panggilan dan mengatakan betapa ia sangat menyayangiku. Dadaku terasa penuh oleh rasa haru yang membuncah.
"Nara juga sayang sama Ibu. Ibu jaga kesehatan, ya. Kapan-kapan nanti kalau ada waktu luang, Ibu ke sini. Kita jalan-jalan." Aku buru-buru menyeka air mata yang jatuh tanpa bisa kuhentikan.
Siapa pernah menyangka, kalau hidupku akan seperti ini? Menjadi menantu Bapak Chairil Aziz--sepupu jauh Ibu yang sangat terkenal di kampung halamanku--mungkin suatu berkah di benak banyak orang. Nama Bapak harum sebagai pejabat dan pengusaha yang sukses di rantau, tapi tidak lupa dengan kampung halaman. Ia sering membantu pembangunan jalan, mesjid dan membagi-bagi zakat kalau Ramadhan tiba.
Namun, orang-orang itu tidak pernah tahu, betapa tidak jelasnya masa depanku di sini. Seperti yang Bian katakan waktu itu, agar aku tidak berharap banyak pada pernikahan kami. Sewaktu-waktu, dia bisa saja menceraikanku.
Aku mengusap wajah berlali-kali mengurai rasa sesak di dalam dada, sebelum masuk ke dalam untuk mengembalikan ponsel Bian. Namun, langkahku terhenti di pintu dapur, saat mendapati lelaki itu sedang di meja makan dengan piring yang tadinya berisi mie goreng sudah licin tandas. Aku sama sekali tidak menyangka Bian ada di sana karena sempat berpikir dia mungkin masih di atas. Apa lelaki itu menguping pembicaraanku dengan Ibu? Sebanyak apa yang dia dengar? Sungguh, aku gelisah memikirkan kemungkinan itu.
"Ini ponselnya, Mas. Makasih." Hanya itu yang kukatakan seraya memberikan handphone kepadanya.
Ia tak berkata apa-apa, tapi tatapannya seperti terkunci padaku. Ekspresinya seperti biasa, datar tak terbaca. Sungguh, pada saat-saat tertentu ia sangat lihai menyembunyikan apa yang ada dalam pikirannya. Dan itu kadang membuatku was-was dan jadi salah tingkah.
Dengan canggung aku duduk di hadapannya, lalu mengoles roti dan menggigitnya tanpa selera. Aku menunggunya mengucapkan sesuatu, yang rasanya seperti seabad. Kebisuan yang tercipta di antara kami seakan bisa membunuhku pelan-pelan.
"Bagaimana kabar keluarga di kampung?" Akhirnya tercetus juga pertanyaan dari mulutnya.
"Mereka semua sehat, Mas."
Bian hanya mengangguk samar, sambil memainkan ponselnya. Aku mengawasinya diam-diam, lalu cerita penuh kebohongan tentangnya yang kukatakan pada Ibu kembali terngiang. Aku menjadi malu sendiri, memikirkan bagaimana reaksi Bian mendengar semua itu.
"Setelah sarapan, bersiaplah. Kita cari ponsel baru untukmu." Bian bangkit dan meninggalkanku di meja makan tanpa menoleh lagi. Aku hanya bisa tertegun memandangi punggung lebarnya menjauh.
Walau kebingungan, tapi jujur, aku antusias sekali karena ini pertama kalinya ia mengajakku keluar di hari Minggu. Biasanya ia hanya ngendon seharian di rumah atau pergi keluar sendirian dari siang sampai Magrib, entah ke mana karena dia tak pernah mengatakannya padaku.
Aku sedikit gugup saat berganti pakaian. Bingung memilih pakaian apa yang sekira pantas untuk pergi dengannya. Walau Mami membelikan banyak baju, tapi rata-rata modelnya hanya cocok untuk dipakai ke pesta. Aku ingin pakaian sedikit santai tapi tidak membuat Bian malu.
Walau aku tahu ia tak pernah peduli sama sekali dengan penampilanku, tetap saja aku ingin terlihat cantik dan tidak malu-maluin saat bersamanya. Pipiku terasa memanas, saat imajinasiku berkembang liar tanpa bisa dikendalikan. Sebuah tanya bergema di kepala, dan membuatku takut untuk menjawab.
Mengapa aku ingin sekali terlihat cantik di matanya walau kutahu ia tak pernah menyukaiku?
-tbc-
Fast update di kbmApp ya. Udah sampai bab 21, akun saya lia_musanaf
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...