Wajah pucat milik Celine menyambut kami saat memasuki ruang rawat. Ia mencoba tersenyum, tapi hanya ringisan kecil yang bisa ia lakukan. Rambutnya yang pirang sangat kontras dengan kulitnya yang seperti tak berdarah. Walaupun begitu, ia tetap terlihat cantik."Mama!" Chacha langsung berlari ke ranjang ibunya. Mereka berpelukan erat seperti sudah lama tidak bertemu. Setelah itu, ia beranjak saat Hans memanggil, dan melakukan hal sama pada pamannya tersebut.
"Apa kabar, Mbak?" sapaku, lalu duduk di kursi dekat ranjang.
"Udah agak mendingan. Makasih, ya, kamu sudah jagain Chacha semalam."
"Nggak masalah, kok. Yang penting Mbak cepat pulih," ucapku seraya menaruh tas pakaian Celine dan sekeranjang buah di meja.
"Kamu nggak apa-apa, kan, Bian terpaksa harus nginap di sini semalam jagain aku?"
Ia berucap pelan, seperti sengaja agar tidak terdengar oleh Bian yang tengah ngobrol dengan Hans di sofa, tak jauh dari kami.
"Situasinya darurat. Apa boleh buat." Aku mencoba mengukir senyum. Bayangan foto yang kulihat di lemarinya tadi pagi, melintas di kepala. Rasa penasaranku atas hubungan mereka kembali mengusik.
"Dia juga memarahiku semalam." Celine berbisik. Seulas senyum membayang di bibirnya.
"Marah kenapa?"
"Ya, mungkin karena aku teler ... dia mengomeliku karena udah bikin khawatir."
"Kalau begitu Mbak jangan mengulanginya lagi. Kasian Chaca."
"I will try ... walau nggak mudah, tapi aku udah janji sama Bian untuk berhenti."
"Kenapa harus demi Mas Bian? Kenapa nggak demi diri Mbak sendiri atau demi Chaca?"
"Mungkin karena kami sudah terbiasa bersama dan saling tergantung satu sama lain," ucapnya lirih. "Tapi benar seperti katamu, aku harus berubah demi diriku sendiri dan demi Chaca."
"Ya, aku mengerti. Tapi ... nggak selamanya kalian bisa seperti itu, bukan?" Aku berusaha tenang dan mengatur nada suara agar tetap terkendali, walau hatiku rasanya jengkel luar biasa. Entah mengapa perempuan ini membuatku muak.
Ia terdiam, dan menatapku dalam-dalam. Aku tak tahu apa yang ia pikirkan saat ini, tapi yang jelas aku ingin secepatnya pergi dari sini
"Oh ya. Maaf, kami harus buru-buru pergi sudah ada janji mau ngajak Raffa ke suatu tempat," ucapku kemudian. "Semoga Mbak lekas pulih."
"Baiklah. Sekali lagi makasih, ya!"
Aku langsung berbalik tanpa mengatakan apa-apa lagi.
"Chaca, Tante pamit, ya. Jaga Mama biar cepat sembuh."
Gadis kecil itu mengangguk.
"Makasih banyak ya, Mbak Nara, Mas Bian. Kalian terpaksa harus repot-repot begini," kata Hans sungkan.
"Nggak masalah, kok. Jaga kakakmu baik-baik." Bian menoleh ke Celine sejenak. "Gue balik, ya. Lo cepat sembuh, jangan betah lama-lama di sini."
**
Kami sudah berjanji dengan Zaidan untuk bertemu di salah satu mall tak jauh dari rumah sakit. Setelah makan siang dan mengajak Raffa berkeliling sampai sore, akhirnya Zaidan datang.
"Nggak lama nunggu, kan?" Ia melakukan toss pada Raffa sebelum menyapaku dan Mas Bian dengan senyum semringah.
"Nggak, kok. Maaf kamu harus repot-repot ke sini."
"Santai, Ra, kayak sama siapa aja. Jadi beneran Raffa mau di tempat Uda sebelum pulang kampung?" Lelaki itu merangkul bahu adikku gemas.
"Mau!"
Aku tergelak sekaligus merasa sedikit bersalah pada Raffa. Hampir selama seminggu ini dia hanya menemaniku di Planet Kidz. Walau malamnya kadang Bian mengajak keluar atau main game di lantai atas, tapi rasanya bukan liburan seperti itu yang Raffa harapkan.
"Besok aku ada acara ke Bandung sekitar dua hari, aku bawa Raffa sekalian jalan-jalan nggak apa-apa, ya?"
"Nggak ngerepotin, kan?"
"Nggak sama sekali. Kami akan bersenang-senang di sana."
"Makasih banget, Dan. Kalau ada apa-apa nanti kabari aku langsung. Tolong banget jagain Raffa."
"Oke, tenang aja. Ya, udah kami pergi. Mari, Mas." Ia mengangguk sopan pada Bian yang sedari tadi hanya diam saja.
"Oh, ya. Hati-hati." Bian tersenyum kaku melepas kepergian mereka.
"Sayang aku nggak bisa cuti, jadi belum bisa ajak Raffa jalan-jalan. Rencananya, sih akhir pekan ini, tapi ada insiden Celine segala."
"Nggak apa-apa, Mas. Seharusnya aku yang lebih bertanggung jawab atas Raffa, tapi udah terlanjur nerima tawaran di Planet Kidz. Tapi Raffa cukup senang, kok, nemenin aku di sana. Untung saja ada Zaidan, jadi liburan nya lebih berwarna."
"Ya, udah sekarang kamu mau ke mana?"
"Nggak pengen kemana-mana, sih. Udah sore juga. Langsung ke rumah Mami aja kalau gitu."
"Ngapain ke rumah Mami?"
"Lho, kan Mas yang bilang sebelum berangkat tadi, kita bakal nginap di sana malam ini."
"Aku nggak serius soal itu." Ia tertawa muram "Ketemu Mami bawaannya pasti berdebat mulu. Capek."
"Ya, udah kalau gitu berarti kita langsung pulang aja."
"Nggak mesti pulang juga. Walau batal nginap tempat Mami, tapi kita bisa nginap di tempat lain. Ayo!"
Aku tak banyak bertanya saat Bian memacu mobilnya di jalanan ibukota yang ramai. Ia juga sepertinya tak berniat menegajakku bicara. Hanya suara musik dari tape yang menemabi perjalanan kami.
Sinar matahari yang terik masih terasa walau hari sudah menjelang sore. Pendingin mobil rupanya sudah tak terlalu berfungsi sehingga aku tetap kegerahan walau sudah memutar tombol AC ke level maksimal. Seperti kata Mami, mobil ini sudah tua, dan sering keluar masuk bengkel, tapi Bian bersikeras mempertahankannya.
Sampai saat ini aku masih sering bertanya-tanya apa yang membuatnya seolah selalu bertentangan dengan keluarganya. Ia lebih memilih menempati rumah kami yang sederhana, walau Mami sudah menawarkan tinggal di rumahnya atau membeli rumah yang jauh lebih megah. Ia juga menolak mobil pemberian Mami, meski mobilnya sudah tua dan sering rusak. Bahkan ia lebih memilih bekerja di perusahaan orang lain sebagai karyawan biasa, alih-alih meneruskan salah satu dari bisnis Bapak yang banyak.
Dan, sayangnya, aku terpaksa masuk dalam kehidupan lelaki itu, tanpa pernah tahu kehidupan seperti apa yang pernah ia jalani sebelumnya.
"Panas, ya?" Ia bertanya tanpa mengalihkan pandangannya dari jalan.
"Ya, sedikit."
"Sabar, bentar lagi kita sampai."
Sepuluh menit kemudian kami memasuki kawasan sebuah hotel yang sangat mewah. Aku keheranan, tapi tetap memilih untuk tidak bertanya. Bian berhenti dan mengajakku turun di depan pintu lobi hotel, lalu menyerahkan kunci pada petugas valet parkir.
"Jadi kita nginap di sini?" Akhirnya aku bertanya juga, setelah sejak tadi kami hanya saling diam.
"Iya. Belum pernah nginap hotel, kan?" bisiknya seraya menekan tombol lift yang akan membawa kami ke lantai 17.
Aku hanya meringis. Haruskah ia membuatnya terlalu jelas?
"Apa bedanya dengan menginap di rumah? Toh, sama-sama tidur. Kecuali lagi liburan keluar kota."
"Kalau semua orang berpikiran sepertimu, bisa bangkrut bisnis perhotelan." Ia tertawa kecil sambil mengusap-usap belakang kepalanya.
Baru kusadari, belakangan ini ia cukup sering tertawa. Walau bukan tawa lepas, tapi setidaknya wajahnya sudah jauh lebih bersahabat dibandingkan dulu saat berbicara denganku.
-tbc-
Versi lengkap tersedia di kbmapp, akun saya lia_musanaf. 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...