Aku tidak tahu apa rencana Bian saat mengajak keluar, dan juga tidak ingin bertanya lebih lanjut. Tanpa banyak komentar aku hanya menurut saat dia menyuruh memakai pakaian tebal.
"Semoga nanti nggak ujan," katanya sembari memberikan sebuah jaket denim padaku.
Jaket itu sedikit kedodoran saat dikenakkan, tapi aku menyukainya karena ada aroma Bian yang tertinggal disana.
Pengalaman naik motor minggu kemarin, membuatku tidak canggung lagi saat duduk di boncengan. Aku menyesuaikan diri dengan mencari posisi ternyaman
"Kamu takut naik motor, ya?" tanya Bian saat kami sudah keluar dari gerbang kompleks, dan meluncur di jalan raya
"Nggak, kok."
"Kenapa meluknya kencang banget kayak ketakutan gitu?"
Astaga, apa-apaan!
Aku buru-buru mengurai pelukan dan meluruskan tubuhku.
"Sorry, nggak sengaja."
"Ya, bukan berarti nggak pegangan juga." Dia menangkap tanganku dan menaruh kembali ke perutnya.
Ini sama persis dengan yang pernah dilakukannya dulu, saat memboncengku dengan sepeda milik Ayah. Dia mengambil tanganku dan meletakkan di perutnya, sambil mengatakan untuk pegangan. Walau sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu, tapi aku masih bisa mengingatnya dengan jelas.
Rasa hangat menyelimuti hatiku pelan-pelan. Sungguh, naik motor rasanya belum pernah semenyenangkan ini.
Aku tidak ingin kege-eran, walau detak jantungku berkata sebaliknya. Semua hal tentang Bian membingungkan, tapi juga mendebarkan. Suara hatiku memperingatkan untuk jangan berharap dan membayangkan hal yang muluk-muluk, tapi aku akhirnya memilih untuk mengabaikan. Aku tidak ingin mengkhawatirkan apa yang terjadi nanti. Aku hanya ingin menikmati momen ini. Dengan kami yang sedekat ini.
Setelah berkendara selama sekitar dua puluh menit melewati jalan yang sama sekali asing, Bian menghentikan motor di sebuah bangunan bergaya kolonial. Halamannya sangat luas dan dihiasi rumput gajah yang terpangkas rapi. Di sisi kanan rumah ada jalan berkerikil menuju garasi. Empat buah mobil dan beberapa motor berjejer di sana.
Lampu taman yang mengelilingi pagar bersinar redup, sama halnya dengan penerangan di teras yang memijarkan warna kuning pucat. Sekilas rumah ini tampak sangat sepi, apalagi letaknya juga agak terpisah dengan bangunan lain.
"Ini rumah siapa?" tanyaku tak bisa menyembunyikan rasa penasaran.
Bian membuka helm, lalu merapikan rambutnya yang acak-acakan sekilas.
"Ini ... semacam markas."
"Markas?"
Bian tak menjawab, hanya memberi isyarat agar aku mengikutinya.
Aku melihat Bian memencet beberapa angka saat kami berada tepat di depan pintu. Sepertinya itu semacam sandi. Tak lama kemudian, pintu terbuka secara otomatis.
Berbeda jauh dengan suasana luar rumah yang tampak sepi seperti tak berpenghuni, di dalam justru berisik sekali. Dentuman musik menyambut saat kami baru saja menutup pintu. Mungkin ruangan ini didesain kedap suara, sehingga suara ingar bingar tak terdengar saat kami di luar tadi.
Aku mengikuti Bian melewati sebuah lorong, hingga akhirnya berhenti di sebuah tangga yang kuduga menuju ruang bawah tanah. Dentuman musik terdengar semakin keras sehingga jantungku seakan melompat-lompat saat sudah semakin dekat.
"Ayo!" Bian menggamit bahuku saat kami sampai di anak tangga paling bawah
Ruangan yang remang-remang, membuatku tak bisa melihat dengan jelas ekspresi wajahnya
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...