Aku tidak pernah menyangka kenekatanku menguping pembicaraan mereka justru menjadi boomerang. Rasanya tidak sanggup bertemu dengan Bian setelah mengetahui beberapa fakta, yang jujur saja membuatku sekarang memandangnya dengan cara berbeda.
Aku menjadi over thinking. Sibuk menduga-duga berbagai kemungkinan dari banyaknya kepingan informasi yang kudengar barusan.
Bayangan lelaki itu pernah tidur di apartemen Celine sangat menggangguku. Apalagi saat kembali teringat betapa akrabnya perempuan itu memperlakukan Bian semalam. Belum lagi, petualangan Bian bersama banyak perempuan lain sebelum kami menikah. Hal yang membuatku shock sekaligus geram.
Mengapa Bapak dan Mami tega menjodohkan anaknya yang pemabuk dan suka main perempuan itu dengan gadis sepertiku? Gadis culun dan naif yang seumur hidup bahkan belum pernah dekat atau menjalin hubungan istimewa dengan lelaki mana pun.
Tak dianggap oleh Bian saja sudah cukup menyakitkan, ditambah dengan masa lalunya yang kelam, membuatku seketika merasa sebagai perempuan bodoh tak berharga.
Setelah mengendap-endap saat memasuki rumah, aku setengah berlari menuju tangga lantai atas. Mami tidak boleh tahu kalau aku baru saja mendengar pembicaraan mereka.
Aku mengunci pintu kamar, berusaha menenangkan jantungku yang masih bergemuruh. Entah apa yang terjadi saat ini dengan Bian di bawah sana. Mungkin ia mengatakan kalau aku menguping pembicaraan mereka, atau mungkin saja tidak. Apa pun itu, aku tetap harus menyiapkan diri menghadapi mereka nanti.
Aku turun tepat setelah salat Magrib, dan langsung menuju ruang makan. Tak kujumpai siapa-siapa di sana, kecuali Mbok Min yang sedang menata hidangan di meja.
"Nggak usah repot-repot, Non. Biar Mbok saja," tolaknya sungkan saat aku membantu.
"Nggak apa-apa, Mbok. Saya bingung kalau nggak ada yang bisa dikerjain."
Ia tersenyum tipis, sambil mengucapkan terima kasih.
"Mami dan Mas Bian mana, ya, Mbok?"
"Kayaknya masih magriban di mushola belakang. Bersama Bapak juga pegawai lainnya."
Aku mengintip dari jendela yang menghadap ke halaman. Mushalla itu berdiri di seberang halaman. Di depannya ada kolam ikan hias dan bangku-bangku yang berfungsi sebagai tempat santai pegawai-pegawai di rumah ini.
Saat melihat Bian lebih dulu keluar dari mushalla, aku buru-buru menyingkir dari jendela. Tak menunggu waktu lama hingga akhirnya ia muncul di ruang makan, disusul oleh Mami dan Bapak.
"Wah, ada Nara." Bapak tersenyum lebar saat aku menyapa dan mencium punggung tangannya.
Bian tak mengatakan apa-apa, tapi aku bisa melihat ada yang berbeda pada sorot matanya saat menatapku. Aku ingin menghindar, tapi tak mungkin, karena ada Mami dan Bapak yang langsung duduk berdekatan di kursi masing-masing. Akan sangat aneh kalau aku menduduki kursi terjauh dari Bian.
"Sudah lama, lho, kita nggak makan malam bersama," kata Mami sambil menyendok nasi ke piring Bapak. "Mami sengaja nyuruh Mbok Min bikin masakan Padang. Nara mungkin kangen."
"Makasih, Mi. Menunya enak semua, Nara suka." Aku mencoba tersenyum, walau sebenarnya selera makanku hilang entah kemana.
"Bagaimana kabar ibu dan adik-adikmu?" tanya Bapak.
"Alhamdulillah sehat, Pak."
"Kapan-kapan suruh datang ke Jakarta."
"Iya, Pak. Beberapa hari lalu Ibu juga nelpon, Raffa katanya yang mau liburan ke sini," jawabku sopan.
"Raffa ... yang nomor berapa, ya?" Bapak tampak berpikir. Mungkin ia kesulitan menghapal nama adik-adikku yang berjumlah lima orang itu.
"Yang paling bungsu, Pak."
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...