Pintu lift terbuka di lantai 17. Tiba-tiba saja Bian menggandeng tangan kiriku saat kami keluar dari lift dan tak kunjung melepasnya di sepanjang perjalanan kami menyusuri lorong lantai ini.
"Jamnya cocok banget sama kamu. Bagus!" ujarnya sambil memandangi arloji pemberiannya semalam yang melingkar di pergelangan tanganku.
"Tentu saja. Barang apa pun selalu tampak bagus kalau aku yang pakai." Aku tertawa geli dengan lelucon garing yang baru saja kulontarkan.
"Aku suka dengan rasa percaya dirimu yang tinggi. Mari kita lihat, apa kamarnya juga cocok untukmu," katanya mengulum senyum, lalu membuka pintu kamar dan mempersilakanku masuk terlebih dahulu.
Untuk sesaat aku seperti terpukau di depan pintu. Kamarnya mewah sekali. Rasanya belum pernah aku melihat langsung kamar seperti ini, selain di film-film atau di internet. Ukurannya sangat luas, mungkin sama luasnya dengan rumah kami. Aku mengagumi interiornya yang bergaya modern minimalis dengan nuansa pastel yang sangat memanjakan mata.
Sebelum menuju ranjang berukuran super besar, terdapat sebuah space yang mungkin berfungsi sebagai living room dengan dua buah sofa yang tampak sangat nyaman diduduki. Sebuah meja kayu bulat dengan bunga tulip imitasi di atasnya, berada di antara sofa tersebut. Di depan ranjang ada bufet dengan televisi berlayar datar yang tergantung tepat di atasnya.
Aku menaruh tas di sofa, lalu berjalan ke arah jendela berukuran besar, dengan kain gorden tebal warna cokelat muda. Jendela itu berada tepat di sebelah kanan ranjang, dan memperlihatkan pemandangan kota Jakarta dengan gedung-gedung pencakar langitnya. Dari bangunan setinggi ini, seketika aku merasa kecil sekali.
"Kamu suka?"
Aku yang tengah termangu memandangi langit yang mulai kemerahan, terkejut saat Bian menaruh kedua tangannya di bahuku.
"Eh, ya ... ya. Tentu saja."
"Tapi kenapa wajahmu seperti berkata sebaliknya?"
"Ah, memangnya kenapa wajahku?" Aku buru-buru menjauh darinya dan berjalan menuju kamar mandi dan bercermin di dekat wastafel.
"Kayak nggak terlalu suka." Ia menyusul dan berdiri tepat di belakangku.
"Aku ... hanya takjub sekaligus bertanya-tanya. Pasti harga yang harus dibayar mahal sekali."
"Selagi masih mampu dibayar berarti nggak mahal."
"Untuk apa Mas melakukan semua ini?"
"Hanya pengen ngajak kamu nginap aja. Toh, selama kita nikah kamu belum pernah kemana-mana, kan? Honeymoon atau apalah. Anggap saja ini kompensasi untukmu, karena aku belum bisa ngajak kamu bulan madu seperti orang-orang."
"Oh."
Aku seperti kehabisan kata-kata. Hanya mampu mengedarkan pandangan dan lagi-lagi terpana. Interior kamar mandi yang berukuran cukup luas ini menimbulkan decak kagum. Aku tergoda melihat bathtub yang berada tepat dekat jendela kaca dengan view pemandangan kota. Pasti menyenangkan berendam di sana sambil menikmati gemerlapnya Jakarta di malam hari.
Mungkin kalau sebelumnya tidak melewati awal-awal pernikahan yang pahit dan harus menghadapi sikap menyebalkan Bian, aku pasti bahagia sekali. Namun, mengingat betapa membingungkannya lelaki ini, aku rasa aku harus waspada. Tidak ada kebaikan yang diberikan secara percuma, bukan? Pasti ada maksud di balik semua ini.
"Apa yang kamu pikirkan?" Pertanyaan Bian memutus lamunanku. Aku baru menyadari, sedari tadi ia tak beranjak dari posisi semula dan terus saja mengamatiku.
"Aku hanya nggak bisa berhenti memikirkan, apa maksud Mas melakukan semua ini," jawabku jujur.
"Apa penjelasanku semalam tidak cukup?"
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...