Tidak sampai seminggu sejak kedatangan Celine waktu itu, aku akhirnya memutuskan untuk secepatnya pindah dari sini. Tentu saja Bian tak perlu tahu apa yang terjadi pada kami. Celine si Muka Dua itu tetap bersikap ramah padaku seperti tak terjadi apa-apa. Aku takut lama-lama jadi senewen karena menahan jengkel pada perempuan itu tanpa bisa dilampiaskan.
"Kok tiba-tiba mendadak begini? Rumahnya belum diapa-apain, lho. Katanya Minggu depan mau ke kantor kenalan Mami untuk konsultasi interiornya mau diubah seperti apa."
"Itu bisa sambil jalan aja nanti, Mas.Toh, yang ada sekarang di sana aja udah lebih dari cukup, kok. Ada tempat tidur, ada dapur dan ada meja makan. Itu yang penting."
"Ya, udah kalo gitu. Terserah kamu aja."
Bian membantuku mengemasi pakaian ke dalam koper, tanpa berkata apa-apa lagi.
"Terus rumah ini mau diapain, Mas?" tanyaku setelah kami saling diam, sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
"Ya, dikosongin aja. Aku masih bisa sering singgah buat nengokin," ucapnya ringan tanpa beban.
Pikiranku langsung membayangkan yang tidak-tidak. Bagaimana kalau saat Bian ke sini, Celine memanfaatkan kesempatan itu untuk membuat lelaki ini semakin terperdaya olehnya? Melihat betapa lihainya Celine bermain peran, aku jadi was-was. Jelas ia tak akan membiarkan aku hidup tenang bersama Bian.
"Oh, ya, ngomong-ngomong, Celine sama Davin pisah gara-gara apa, ya, Mas?"
"Kenapa tiba-tiba aja kamu kepengen tahu?" Bian mengernyit keheranan.
"Aku hanya penasaran aja, apa yang membuat pasangan menikah memutuskan berpisah, padahal mereka udah punya sepasang anak manis yang melengkapi kehidupan mereka."
"Davin punya affair dengan pengasuh anaknya," jawabnya singkat.
"Masa, sih?" Aku terkejut seakan-akan tak percaya dengan yang kudengar barusan.
"Kenapa? Kamu nggak percaya?"
"Ya, nggak nyangka aja, sih. Keliatannya dia lelaki baik-baik yang nggak mungkin tega menyakiti ibu dari anak-anaknya."
"Memangnya kamu nilai kalau lelaki itu baik-baik dari mana?" Bian geleng-geleng sambil tertawa geli.
"Ya, kan keliatan dari wajahnya, Mas. Ada semacam aura gitu, lho, yang membuatnya seperti lelaki baik-baik."
Kali ini Bian tergelak. Entah di bagian apa yang menurutnya lucu dari pernyataanku barusan.
"Waktu kamu ketemu aku saat awal kita menikah gimana? Aura apa yang kamu liat? Lelaki baik-baik juga, nggak?" Ia bertanya sambil menyeringai seperti sengaja menggoda.
"Buram!" Aku memeletkan lidah, yang dibalasnya dengan melemparku dengan sepasang kaus kaki.
"Sekarang pun masih buram?"
Mungkin pertanyaan itu tidak seringan yang terdengar, karena saat bertanya ia manatapku dalam-dalam
"Entahlah. Nggak bisa ditebak," jawabku akhirnya, tidak ingin terjebak permainan kata dengannya.
"Apa sekarang Davin masih menjalin hubungan dengan pengasuh anaknya itu?" Aku mencoba kembali ke topik awal.
"Nggak tau. Aku nggak tertarik mengurusi privasi orang lain."
Bian sudah selesai mengemasi pakaiannya, dan duduk di tepi ranjang mengawasiku yang masih terus membenahi isi lemari.
"Bukan ngurusi privasi orang lain, Mas kan dekat sama Celine, kali aja gitu dia cerita, ya, kan?"
"Tanpa Celine cerita pun aku udah tahu Davin sampai ke kulit-kulitnya. Menikah nggak bikin dia menghentikan petualangannya dengan banyak perempuan."
"Apa lelaki memang begitu? Nggak cukup hanya dengan satu perempuan?"
"Ada yang begitu, ada yang nggak. Tergantung orangnya."
"Kalau Mas sendiri bagaimana?" Aku menguatkan nyali untuk bertanya.
"Kalau menurutmu, aku bagaimana?" Ia justru bertanya balik.
"Ya, nggak tahu makanya aku nanya."
"Kita udah nikah setahun, lho. Kamu masih belum bisa membacaku?" Suaranya terdengar dalam dan sungguh-sungguh.
Kami berpandangan selama beberapa saat, sebelum akhirnya aku memalingkan wajah. Kalau saja aku tidak tahu apa-apa tentang masa lalunya, atau tidak pernah melihat ia menangis di depan piano malam itu, mungkin aku bisa kegeeran hanya karena ditatap dengan cara seperti itu.
Ya, ampun. Sadarlah, Innara! Bian hanya mencoba bersikap baik, bukan menyukaimu!
"Belum setahun, baru delapan bulan," ralatku sengaja menyibukkan diri dengam tumpukan pakaian di lemari.
"Well, waktu segitu juga bukan waktu yang singkat untuk bisa menilai seseorang."
Dari sudut mata, aku melihatnya merebahkan diri di kasur, sambil menumpukan kedua tangannya di belakang kepala.
"Dari yang kudengar waktu itu, Mas juga gemar berpetualang ... mungkin sama dengan Davin," ucapku dengan suara lirih.
"Motivasinya beda. Davin menikmati petualangannya karena dia memang seperti itu, aku tidak."
"Masa?" Aku menatapnya sangsi. "Nggak nikmatin tapi tetap ngelakuin, kok rasanya impossible banget!"
"Apa, sih, yang nggak mungkin? Di dunia ini orang tetap bisa ngelakuin sesuatu walau dia nggak nikmatin. Banyak, kok, contohnya. Pekerja yang tetap bertahan di suatu perusahaan, walau dia nggak menikmati bekerja di sana. Seseorang yang tetap menjalani hidup walau dia sebenarnya udah kepengen mati, ada juga."
Aku hanya mengedikkan bahu. Sungguh tidak mengerti dengan jalan pikirannya.
"Aku hanya nggak bisa memahaminya," desisku kemudian. " Maksudku contoh yang Mas sebutkan, jelas beda kasus dengan yang aku tanyakan tadi."
"Di mana bedanya?"
"Mas menjalani kehidupan bebas dengan banyak perempuan tanpa menikmatinya. Terus untuk apa coba?"
Ia tercenung sesaat, pandangannya tertuju pada langit-langit kamar.
"Entahlah, aku juga nggak tahu. Mungkin hanya sekadar pengisi waktu ...," desahnya kemudian.
"Apa sekarang masih?"
"Masih apa?"
"Berpetualang dengan banyak perempuan di luar sana?" Aku mencoba bersikap biasa saja, walau merasakan gemuruh di dada.
Ia tertawa. "Mami memaksaku menikah agar nggak lagi main-main sama perempuan di luar sana. Aku rasa Mami ada benarnya."
Aku tidak tahu harus menanggapi bagaimana. Seharusnya aku tidak terkejut lagi. Bukankah salah satu tujuan menikah untuk "itu"? Walau tetap saja menyakitkan rasanya, seakan-akan aku hanya sebagai objek pemenuhan kebutuhan biologisnya semata.
-tbc-
Cerita ini sudah tamat di KBMAPP dan Karyakarsa, yaa.
Atau bisa juga dibaca di grup telegram berbayar, hubungi nomor 0811667783 dengan harga yg jauh lebih hemat. 😘
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
רומנטיקה~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...