Aku tertegun, mencoba mencari jejak kejujuran di matanya. Aku tidak ingin terkecoh lagi, mengingat betapa membingungkannya lelaki ini. Perkataan dan tindakannya seringkali tak sejalan. Suka berkata seenaknya dan sering menyakiti hatiku dengan kalimat yang sangat tajam, tapi di lain waktu bersikap seolah-olah peduli.
Kepingan demi kepingan puzzle tentang Bian semakin rumit saja. Apa, sih sebenarnya maunya?
"Kenapa Mas tiba-tiba saja minta maaf?"
"Pernyataanmu minggu lalu masih berlaku, kan?" Alih-alih menjawab, ia justru melemparkan pertanyaan balik padaku.
"Pernyataan apa?"
"Kamu bilang akan sabar menungguku ...." Ia menatap lekat, seperti mencari kebenaran di sana. "Aku sudah memikirkannya selama berhari-hari dan aku pikir yang pertama kali harus kulakukan adalah minta maaf."
"Kalau misal kumaafkan, apa ada yang berubah?" tanyaku skeptis.
Ada jeda sesaat sebelum ia berkata, "Aku nggak bisa menjanjikan hal-hal yang muluk. Tapi yang harus kamu tahu, aku nggak pernah ada niat buruk padamu. Apalagi memanfaatkanmu seperti yang kamu tuduhkan padaku."
"Lantas apa yang membuat Mas bersikap begitu? Bukankah aku berhak tahu?"
Ia mengalihkan pandangannya dariku, dan terdiam seperti setengah melamun sebelum melanjutkan, "Seperti yang kubilang, ini rumit dan aku kebingungan bagaimana cara menjelaskan padamu."
"Mas selalu beralasan begitu. Memangnya serumit apa, sih, hingga Mas sampai hati membuatku kebingungan kayak orang bodoh begini?"
Aku mendengkus jengkel, memikirkan berbagai kemungkinan. Obrolannya dengan Mami tempo hari kembali terngiang. Aku yakin pasti ada hubungannya dengan itu.
"Nggak lama lagi kamu akan tahu."
"Aku mungkin nggak punya waktu banyak untuk terus menunggu, Mas," ujarku sambil menghela napas bosan.
"Kamu ... akan pergi?" Suaranya terdengar sedikit bergetar
"Aku pergi kalau nggak ada lagi alasan yang membuatku tetap tinggal. Lagi pula Mas pernah bilang, kan, membebaskanku dan nggak usah berharap apa-apa dari pernikahan ini?"
"Aku ... akan mencoba, Innara. Aku akan mencoba menjalani ini denganmu." Ia seperti sengaja memberi penekanan pada setiap kata yang terucap.
"Apa maksudnya?"
"Maukah ... kamu menjadikanku alasan untuk tetap tinggal? Aku akan berusaha semampuku ... untuk menjalani pernikahan ini."
Baru kali ini Bian terbata-bata saat berbicara. Ia juga seperti kesulitan untuk tetap fokus menatapku, saat mengungkapkan semua itu.
"Bisakah Mas membuatnya lebih simpel? Aku lelah menerka-nerka apa maksud di balik semua sikap dan perkataan Mas yang seringkali membingungkan ini."
Ia tertawa canggung sambil mengusap-usap belakang kepalanya. "Kamu benar-benar nggak paham apa gimana, sih?" ucapnya seraya menghela napas dalam-dalam.
"Aku hanya nggak ingin salah memahami yang ujung-ujungnya justru dibilang kege-eran. Jujur, ya, Mas. Kamu tuh orang paling membingungkan yang pernah kukenal. Kadang-kadang baik, tapi lebih sering menyebalkan!" Tanpa sadar mataku berkaca-kaca karena tak kuasa menahan luapan berbagai emosi yang bersarang di dada.
Aku benci terlihat lemah dan menyedihkan di hadapannya, tapi apa boleh buat, air mata ini tidak bisa diajak kompromi.
"Kemarilah!" Bian merengkuh bahuku dan membawanya ke dalam pelukan. Selama beberapa waktu, ia membiarkanku menumpahkan segala rasa tanpa berkata apa-apa. Telapak tangannya yang lebar membelai rambutku dengan hati-hati, seolah memberi penghiburan
"Sorry ...." Ia bergumam tepat di dekat telingaku "I'm so sorry."
"Berhentilah membuatku bingung!" Aku berupaya menghentikan isak tangis dan buru-buru menjauh dari dadanya.
Ia meletakkan kedua tangannya di wajahku, lalu menyeka kedua pipiku yang basah dengan lembut. Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat dengan jelas wajahnya yang tampak sedikit muram atau lebih tepatnya seperti sedang bersedih. Apa ia sedih melihat kondisiku saat ini? Atau sedih oleh sesuatu yang belum kuketahui?
"Aku akan berusaha untuk nggak bikin kamu bingung lagi."
"Hanya itu?"
"Apa yang ingin kamu dengar?
"Bukan apa yang ingin kudengar. Aku hanya ingin tahu bagaimana posisiku di hatimu."
Aku menggigit bibir kuat-kuat sembari merutuki diri. Kalimat itu terlontar begitu saja sebelum sempat disunting. Apa akhirnya Bian melihat perasaanku yang sesungguhnya, seterang matahari pukul dua belas siang? Aku sangat malu memikirkan kemungkinan itu.
"Kamu seperti rumput liar." Ia menyelipkan anak-anak rambut di belakang telingaku dengan hati-hati.
"Kehadiranmu sangat mengganggu, tapi kamu nggak mudah disingkirkan," bisiknya sambil tersenyum samar. "Pada akhirnya aku nggak punya pilihan, selain membiarkanmu tetap tumbuh."
"Rumput liar?" Aku meringis mendengar perumpamaan itu. Apa tidak ada kata lain yang lebih enak didengar?
"Ya, rumput liar, yang belakangan baru kusadari sebagai satu-satunya tanaman yang bisa tumbuh di tempat gersang dan hampir mati ini." Ia menarik napas lega, seperti baru saja melepaskan beban yang teramat berat.
Aku tidak tahu perasaan apa yang perlahan-lahan menyelimuti hati ini setelah mendengar penjelasan Bian barusan. Aku ingin memalingkan muka, saat merasakan hangat napasnya di pipiku, tapi tubuhku seperti tak dapat bergerak. Selama beberapa waktu kami hanya saling diam sambil berpandangan. Fakta bahwa wajahnya hanya berjarak beberapa senti saja dariku, membuatku tak mampu berpikir dengan benar.
"I wanna kiss you," gumamnya, dan tanpa menunggu persetujuanku ia langsung melakukannya.
"Kalau Mas begini, aku bisa salah paham," ucapku setelah mengatur napas yang tersengal. Wajahku rasanya seperti terbakar. Panas sekali.
"Salah paham kenapa?" Ia menyeringai, lalu kembali menunduk mengincar bibirku. Untung saja aku langsung berpaling dan menjauhkan diri darinya.
"Hei, jawab aku!" Bian merangkul pinggangku dari belakang. Ada suara tawa tertahan terdengar dari mulutnya. Aku mencoba meloloskan diri, tapi tak berhasil karena ia membelit tubuhku dengan erat.
Bunyi langkah kaki disusul dengan gemericik air yang keluar dari dispenser mengagetkan kami. Secepat kilat, Bian melepaskan pelukannya dan menoleh ke belakang.
Aku mendapati Raffa dengan muka mengantuk tengah memandangi kami penasaran, tapi ia tak berkata apa-apa.
"Kapan Raffa di sini?" tanyaku dengan was was.
"Barusan. Kebangun karena hape Mas Bian bunyi-bunyi terus."
"Oh, ya? Siapa yang nelpon malam-malam begini?" Bian dengan gerakan canggung segera beranjak dari dapur meninggalkan kami.
Raffa hanya menggeleng, lalu meneguk minumnya hingga tandas.
"Ya, sudah, Raffa ke atas lagi, Uni," pamitnya kemudian
Huf! Hampir saja!
Aku meraba detak jantung yang tiba-tiba saja menjadi tak beraturan. Kepalaku sibuk memutar ulang apa yang baru saja terjadi. Apakah yang diucapkan Bian tadi seperti penawaran atas hubungan kami? Ia bilang akan mencoba menjalani pernikahan ini. Ia juga bilang agar aku tetap tinggal di sisinya. Bukankah itu berarti sesuatu?
Tanpa bisa ditahan senyuman merekah dari bibirku. Apalagi saat mengamati arloji cantik pemberiannya yang melingkari pergelangan tangan kiriku.
Oh, kalau saja lelaki itu selalu bersikap baik dan manis seperti ini. Mungkin kami bisa seperti pasangan normal lainnya. Merancang masa depan, mengukir mimpi, atau menikmati tahun-tahun awal pernikahan yang kata orang semanis madu.
Aku mendadak pening, tidak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi dengan hatiku kalau semua itu mewujud nyata
Sadarlah, Innara! Kendalikan dirimu!
***
Versi lengkap bisa dibaca di KBMApp, akun saya lia_musanaf. Yuk subscribes. 🥰
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...