Bab 13b. Mimpi Buruk

2.6K 290 8
                                    


Dini hari aku terbangun dan merasakan persendianku sakit semua. Pangkal lidah juga terasa pahit saat menelan ludah. Terhuyung aku bangkit untuk mengambil minum di dapur.

Lampu ruang tamu  masih menyala seperti saat kutinggalkan. Aku tak menyangka Bian ternyata tidur di sofa. Posisinya meringkuk sambil memeluk lutut.

Erangannya menghentikan langkahku. Awalnya hanya erangan bercampur gumaman  tak jelas. Makin lama suara erangan itu berubah menjadi isak tangis memilukan.

"Jangan ... Jangan!" Ia menggelengkan kepala sambil tersedu-sedu.

Aku meraba keningnya yang seperti bara api. Panas sekali.

Bian kembali mengerang sambil menyebut nama seseorang, lalu tangannya menggapai-gapai. Refleks, aku menggenggam tangannya berusaha menenangkan. Dia balas mencengkram jemariku sangat erat, seperti tak ingin melepaskan. Perlahan erangannya berhenti, deru napasnya juga mulai teratur.

Entah mimpi buruk apa yang menyinggahi tidurnya. Karena selama kami menikah dan tidur bersama, aku belum pernah melihatnya mengalami hal seperti ini. Mungkinkah ini berhubungan dengan kejadian di TMII tadi sore?

Aku mengamati wajah Bian yang tampak damai saat tertidur. Alis tebal melengkung sempurna, menaungi mata yang terpejam rapat dan ditumbuhi bulu mata panjang. Hidungnya tinggi, mewarisi hidung Mami yang keturunan Menado Jawa. Lelaki ini entah sejak kapan membuatku selalu saja memikirkannya dengan debar jantung tak biasa. Lelaki yang ingin kuabaikan kehadirannya, tapi tak bisa. Nyatanya, aku ingin sekali bisa menyelami apa yang ada di pikirannya. Ingin memahami apa yang mendasari semua sikap tak pedulinya itu. 

Genggamannya di jemariku perlahan mengendur.  Hati-hati aku meloloskan diri, bangkit mengambil air hangat dan handuk kecil untuk mengompres keningnya. Hingga setelah salat Subuh, rasa kantuk menyerang, dan aku tak ingat apa-apa lagi.

Suara ketukan di pintu terdengar sangat berisik dan membangunkanku yang rasanya belum lama tertidur. Kepalaku sakit sekali. Mata juga berat, sulit dibuka. Jeritan ponsel  di meja meningkahi gedoran pintu.

"Ya ...! Bentar!" Suara Bian terdengar jengkel.

Aku berusaha membuka mata saat akhirnya pandanganku tertumbuk padanya yang tengah menaruh sesuatu dikeningku.

Aku menegakkan telinga saat mendengar suara nyaring Mami menanyai tentang luka pada wajah Bian di depan pintu.

"Mami nggak percaya kamu jatuh dari motor. Ini pasti karena berantem!"

Lalu bunyi langkah mendekat, membuatku berusaha bangkit dari tidur. Entah kapan Bian memindahkanku ke sofa yang ditidurinya semalam.

"Ra? Baru bangun? Kenapa tidur di sofa?" selidiknya. Matanya yang tajam mengawasiku. "Kamu demam?"

"Semalam kami kehujanan abis pulang jalan-jalan naik motor." Bian buru-buru menjawab. Dia terlihat sudah agak mendingan, walau lebam di wajahnya masih membayang jelas.

"Kenapa naik motor segala, sih?"

"Mobil mogok." Bian duduk di sofa dekat kakiku beselonjor. Dia membaluri tangannya dengan minyak kayu putih, lalu memberi pijatan ringan di telapak kakiku.Tindakan kecil yang tak pernah kusangka, tapi diam-diam aku menikmati rasa hangat perlahan menjalari hati.

"Nah, apa Mami bilang, mobil tua itu pasti banyak ulah. Tapi tetap aja kamu nggak mau nerima tawaran Bapak buat ganti mobil baru."

"Seenggaknya walau bekas, tapi itu mobil yang kubeli dari uangku sendiri," ucap Bian dingin. Kentara sekali dia berusaha menahan sesuatu.

"Ck, sudahlah. Capek kalau bantahan terus sama kamu."

Mami meraba keningku sekilas dengan wajah prihatin. "Gimana rasa badanmu?"

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang