Aku baru saja selesai salat Magrib, saat Bian mempersilakan Room Service masuk membawa hidangan makan malam. Dengan gerakan gesit dan terlatih pramusaji itu menyusun menu-menu yang tampak lezat di meja dekat jendela kamar.
"Mau makan sekarang?" tanya Bian yang melihatku hanya melongo dengan mukena masih terpasang.
Aku hanya mengangguk, sedikit malu ketika perutku langsung membunyikan alarm tanda minta diisi.
Bian menarikkan kursi untukku. Setelah aku duduk, ia baru ikut duduk di kursinya sendiri, lalu menyalakan dua buah lilin di tengah meja.
Ini tidak seperti candle light dinner yang sering kulihat di film-film romantis, mengingat Bian hanya memakai kaos dan celana pendek selutut, sedangkan aku hanya memakai piyama, dengan rambut digulung seadanya. Namun, tetap saja ini makan malam spesial dalam hidupku. Apalagi saat Bian sibuk membantu memotong daging steik di piringku tanpa diminta.
"Makanlah," ucapnya. Dalam temaram cahaya lampu, matanya terlihat berbinar.
Aku makan tanpa suara. Hidangan demi hidangan yang tersaji, hampir tandas dalam sekejap mata.
"Mau nambah?" Bian menyodorkan salah satu piringnya yang masih terisi penuh.
"Lho, Mas nggak makan?"
"Makan, kok." Ia mengunyah makanannya pelan tampak tak terlalu berselera. Hal itu membuatku malu sendiri, mengingat betapa cepatnya makananku berpindah tempat ke dalam perut.
"Oh, ya ... apa boleh aku bertanya?"
"Nanya apa?"
"Aku juga ingin tahu, apa yang Mas lakukan kalau misalnya Bapak nggak menyuruh untuk menikahiku?"
"Mungkin menjalani hidup seperti biasanya," katanya di sela-sela kunyahan
"Hidup seperti apa?"
"Hidup secara soliter. Menikmati kesendirian dan melakukan hal-hal yang kusukai tanpa beban. Menikah ... jelas nggak pernah masuk dalam prioritas hidupku."
"Akhirnya aku paham kenapa Mas sangat tersiksa saat harus menikahiku." Aku tertawa sumbang. "Lantas kenapa mau, walau tahu menikah bukan prioritas dalam hidupmu?"
"Mungkin agak mirip dengan alasanmu saat menikah denganku."
"Demi Mami?"
"Demi Mami dan Bapak. Tapi ... alasan utamanya sangat berbeda jauh dengan alasanmu. Kamu anak yang baik serta tulus menyayangi ibumu dan ingin menunjukkan baktimu. Sedang aku, anak yang dipaksa untuk berbakti." Ia tertawa getir.
"Mas pernah bilang, pernikahan ini nggak akan selamanya. Lalu, mengapa sekarang Mas bilang ingin memulai dari awal lagi?"
"Kamu nggak mudah disingkirkan, akhirnya aku menyerah dan memilih untuk menjalani saja. Seperti yang kubilang malam kemarin."
"Bagaimana kalau ... misalnya dalam perjalanan, aku yang akhirnya menyerah denganmu?"
"Aku nggak akan menahanmu," ucapnya sungguh-sungguh.
Yah, memang hanya seperti itulah aku di matanya. Seharusnya aku tidak perlu bertanya lagi, karena sejak awal sikapnya sudah sangat jelas. Namun, walau sudah menyadarinya, tetap saja sakit saat tahu aku memang tidak pernah diinginkan, hanya keterpaksaan karena tidak ada pilihan lain.
"Kamu layak mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik, dan kamu inginkan, Innara."
"Memangnya Mas tahu kehidupan seperti apa yang kuinginkan?"
"Aku nggak tahu persis. Hanya saja aku bisa menduga-duga." Ia tersenyum sambil mengelap sudut bibirnya.
"Menikah, hidup mapan, punya anak ... ya seperti kehidupan orang-orang pada umumnya."
Aku hanya diam, dan membiarkannya terus berbicara.
"Sayangnya aku nggak bisa mewujudkan itu semua. Seharusnya dulu Bapak menjodohkanmu dengan salah satu dari kakakku. Mereka hidup mapan, family man ... idaman semua perempuan."
"Sayangnya aku masih terlalu kecil saat mereka sudah cukup usia untuk menikah," jawabku asal.
"Ya, dan kamu terpaksa harus menikah dengan anak Bapak yang paling kere." Ia tertawa. "Tapi, aku akan berusaha semampuku, untuk memenuhi semua kebutuhanmu. Kamu juga nggak usah sungkan meminta apa pun entah untuk dirimu atau untuk keluargamu."
"Sebelum menikah denganku apa Mas punya pacar?" selaku kemudian. Aku tidak tertarik mendengar ocehannya yang semakin melantur.
"Kenapa kamu tiba-tiba menanyakan itu?" Ia tampak terkejut
"Hanya ingin tahu."
"Menurutmu?"
"Rasanya mustahil kalau nggak ada."
"Aku nggak punya pacar."
"Masa? Aku ... sempat menguping pembicaraan Mas waktu itu di rumah Mami."
"Oh, kalau itu ... mereka hanya teman minum di bar," ucapnya ringan tanpa beban. Seolah-olah itu bukan hal penting yang harus dirisaukan. Padahal bagiku, itu justru hal yang cukup meresahkan.
"Teman minum sekaligus teman tidur?" tanyaku spontan.
Ia tak menjawab, hanya mengusap-usap tengkuknya dengan wajah tenang tak beriak.
Ingatanku tertuju pada Celine dan dugaan Mami soal mereka pernah tidur bersama. Sungguh aku gelisah memikirkan hal itu, walau Bian sudah menyangkalnya habis-habisan. Namun, tetap saja aku penasaran hubungan persahabatan seperti apa yang mereka jalin selama ini. Sayang sekali lidahku terlalu berat untuk bertanya.
"Sudah lebih setahun belakangan ini aku meninggalkan semua kebiasaan lama itu dan fokus bekerja. Mencoba hidup normal ... kalau kamu ingin tahu."
Ia bangkit dan berdiri di depan jendela yang menampilkan pemandangan menakjubkan ibukota di malam hari. Gemerlap cahaya lampu bagai jutaan kunang-kunang di langit yang gelap. Aku ikut bangkit dan berdiri di sampingnya. Mengagumi pemandangan di hadapan kami tanpa suara.
Dulu dari kamarku yang sempit dan pengap di kampung, tak pernah terbayangkan akan menginjakkan kaki di tempat semegah ini. Uang memang menjanjikan banyak kenikmatan dan kemudahan dalam hidup. Hal yang selalu menjadi tujuanku sejak dulu. Namun, sekarang aku jadi bertanya-tanya, apakah uang masih menjadi hal terpenting dalam hidupku?
-tbc-
Di kbmapp udah tamat, akun saya lia_musanaf 😘😘
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...