Dulu waktu aku masih kecil, para tetangga memanggilku si Cantik. Nara yang periang, berwajah cantik seperti boneka dan sering membuat jatuh hati siapa saja yang memandang. Walau kata boneka terdengar menggelikan, tapi menurut Ibu, saat balita aku memang seperti boneka. Rambut panjang bergelombang, kulit putih, pipi gembil, mata besar dan bibir merah. Di mana pun aku berada, selalu menjadi pusat perhatian. Namun, sejak kematian Ayah, aku menjadi lebih pendiam. Senyuman juga mulai terenggut dari wajahku.
Seiring berjalannya waktu, pelan-pelan luka kehilangan itu mulai mengering walau belum sepenuhnya sembuh. Tapi tak ada lagi yang memanggilku Nara Cantik. Mungkin julukan itu terlalu kekanakan untuk usiaku yang sudah beranjak dewasa.
Aku mematut wajah di cermin sambil mengenang masa-masa saat orang mengagumiku kecantikanku dulu. Konyol memang, tapi rasa penasaran tiba-tiba saja membelitku tanpa ampun. Apakah pernah sedikit saja terbersit di hati Bian kalau aku cantik?
Aku menghela napas panjang, merutuki diriku yang naif. Melihat latar belakang keluarga dan tempatnya tumbuh, standar kecantikan versi Bian pasti sangat tinggi. Aku teringat betapa jelitanya dua menantu Mami, juga tamu-tamu yang datang saat pesta ulang tahun Najwa kemarin, dan menyadari betapa gemerlapnya mereka. Walau dari segi fisik, Bian jauh lebih good looking dibandingkan Arga dan Bima, tapi soal istri, tentu saja Bian kalah telak dari kakak-kakaknya itu.
"Jangan jatuh cinta padaku. Kamu bukan tipe-ku." Peringatan Bian tempo hari kembali terngiang dan membuatku tersadar. Kuncup rasa sekecil apa pun, tak boleh kubiarkan tumbuh untuknya.
Aku memandangi sekali lagi pantulan di cermin, dan mendesah sedih. Walau tak ada yang salah, tapi baru sekarang ini aku merasa insecure dengan tubuh sendiri. Hal yang sebelum menikah tak pernah terpikirkan sama sekali.
Mungkin saja di kampung halaman aku pernah dijuluki kembang desa, tapi itu semua tak ada artinya ketika aku masuk dalam lingkungan keluarga besar Bian. Kembang desa tak terawat tentu tak bisa disandingkan dengan indahnya kembang yang tumbuh di iklim yang sesuai dan dirawat dengan telaten. Aku tertawa pahit memikirkan analogi itu.
Bunyi ketukan di pintu kamar mengejutkanku yang masih temangu di depan meja rias hanya dengan pakaian dalam.
"Tunggu sebentar!" Aku kelabakan memilih baju dalam lemari. Setengah putus asa, aku menarik asal sebuah blus dan rok yang ada di sana dan memakainya secepat kilat.
Bian membuka pintu, tepat saat aku akan mengancingkan blus. Ia berdiri tegak di ambang pintu sambil mengawasi, yang tentu saja membuatku sedikit grogi.
Caranya menatap persis Mami yang waktu itu juga mengamatiku berganti pakaian. Bedanya, Mami mengomentari bentuk tubuhku dan menganjurkan untuk ikut senam yoga, sedangkan Bian tak berkata apa-apa.
"Mas tunggu di luar aja. Bentar lagi aku kelar." Aku tak tahan dipandangi seperti itu lama-lama.
"Aku hanya mau bilang, mobil mogok. Kalau naik motor, gimana?"
Tidak masalah sebenarnya naik motor, tapi mengingat pakaian yang kukenakkan, rasanya terlalu riskan, kecuali aku berganti pakaian lagi.
"Atau kita naik Grab aja," putusnya kemudian.
"Nggak apa-apa, kok, naik motor," ucapku tiba-tiba. Membayangkan akan berboncengan dengan Bian untuk pertama kalinya, membuat jantungku berdebar tak keruan.
"Kamu yakin mau naik motor?" Ia bertanya dengan nada sangsi. Matanya yang tajam memindai pakaian yang melekat di tubuhku.
"Iya, tapi aku ganti baju dulu."
Bian hanya mengedikkan bahu, lalu berbalik sambil menutup pintu.
Aku segera berganti pakaian. Kulot hitam, kaus lengan panjang biru muda dan kerudung warna senada akhirnya menjadi pilihan. Outfit yang sangat biasa dan sederhana, persis pemiliknya. Aku tidak punya waktu lagi untuk memilih pakaian yang bisa membuatku terlihat menarik. Lagi pula aku yakin, Bian juga tak akan peduli sama sekali dengan apa yang kukenakan.
"Pegangan, nanti jatuh!" Ia menahan lututku, saat aku naik ke boncengan dengan hati-hati. Motor sport itu lebih tinggi dari yang kukira saat menaikinya.
Aku menaruh tas di pangkuan, sebagai pembatas agar tidak terlalu mepet ke tubuhnya. Namun, desain motor ini, seperti memang diciptakan untuk duduk berdekatan. Apalagi, joknya pendek sekali sedangkan tempat dudukku lebih tinggi dari Bian. Aku mesti sedikit mencondongkan tubuh ke depan saat berpegangan pada ujung kausnya.
"Kamu nggak apa-apa?" Ia menoleh memastikan keadaanku sebelum melajukan motor. Ia memakai helm fullface sehingga wajahnya tak terlihat sama sekali.
"Aku baik-baik aja, kok. Jangan ngebut pokoknya."
Ini benar-benar seperti kencan pertama, walau kenyataannya, Bian hanya mengajakku membeli ponsel baru karena ponsel lamaku rusak. Namun, aku tak peduli karena terlalu bahagia.
Aku merasakan sensasi pusing yang ganjil, kala hangat tubuhnya--karena kami hanya terpisah beberapa inchi saja--berpadu dengan aroma khas yang menguar dari sana, menggempur penciumanku. Wangi dan segar seperti buah lemon yang diam-diam belakangan ini kurindukan.
Dadaku seakan mau meledak karena sesuatu yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Hasrat dan ketakutan berkelindan menjadi satu didalam hatiku. Keinginan untuk berada di dekat Bian sama besar dengan ketakutan kalau-kalau ada yang tidak beres dengan perasaanku.
Jangan jatuh cinta padaku! Kalimat itu terus bergema di kepala dan membuat hatiku nelangsa.
Ah, tidak. Terlalu dini kalau semua perasaan ganjil yang bersarang di dada ini dinamakan cinta. Aku hanya merasa berterima kasih saat Bian membelaku di pesta kemarin. Sisi lain darinya yang belum pernah terlihat sebelumnya. Hanya itu. Tidak lebih. Orang tidak segampang itu jatuh cinta, bukan? Apalagi, dia hampir tak pernah bicara dengan kata-kata manis padaku. Siapa juga yang bakal jatuh cinta pada lelaki ketus dan dingin seperti dia. Huh!
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romansa~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...