Bab 17b. There's Something about Her

3.2K 347 10
                                    

Walau semalam tidurku gelisah, tapi syukurlah pagi ini perasaanku mulai sedikit membaik. Aku mencoba berdamai dengan keadaan, apalagi teringat dengan kesepakatan yang dikatakan Bian waktu itu.  Bahwa pernikahan ini tidak akan punya masa depan. Semua perasaan harus dikesampingkan. Kami bukan pasangan sungguhan, tapi hanya dua orang yang dipaksa keadaan untuk tinggal seatap karena terbelit ikatan pernikahan.

Semua rutinitas pagi kulakukan seperti biasa. Membuat sarapan, beres-beres rumah, lalu berganti pakaian bersiap-siap pergi ke TK tempatku mengajar.

Bian turun tepat pukul enam, sudah rapi dengan pakaian kerjanya. Aku segera menyadari kalau tidak bisa menghindar lagi, saat ia duduk tepat di seberang meja.

Tanpa bicara, aku menyiapkan sarapan dan menaruh ke piringnya, lalu menyeduh kopi favoritnya. Aku juga menyiapkan sarapan untuk diriku sendiri, dan menyuapnya dalam diam. 

"Nara, aku mau bicara," katanya setelah sarapan di piring kami sama-sama habis. 

"Bicaralah." Aku memberanikan diri mengangkat wajahku dan menatapnya.

"Apa yang kamu dengar kemarin?"

"Aku nggak dengar apa-apa."

"Oh, ayolah. Kamu sengaja menguping di sana, bukan?" tanyanya gusar.

"Seharusnya aku nggak menguping pembicaraan rahasia orang lain. Maaf, tapi aku akan melupakan apa yang kudengar kemarin." Aku berusaha menjaga nada suaraku tetap tenang terkendali. 

Bian menatapku dengan raut muka putus asa. Ekspresi yang belum pernah kulihat sebelumnya. "Apa kamu sengaja menyiksaku dengan bersikap begitu?"

"Aku nggak ngerti maksud, Mas. Memangnya aku harus bersikap bagaimana?"

"Soal ... Celine itu ...." Ia menyugar rambutnya gelisah.

"Oh, soal Mami bilang Mas pernah tidur dengan Celine?" Dadaku terasa nyeri saat berkata, tapi aku menahannya. 

"Nggak terjadi apa-apa. Demi Tuhan!" geramnya.

Aku tertawa kecil. "Kalau pun terjadi apa-apa, aku nggak peduli," ucapku pelan tapi tegas.

Sesaat Bian terpana mendengar tanggapanku. "Apa maksudmu?"

"Aku hanya berusaha menepati janji untuk nggak melibatkan perasaan atas apa pun yang terjadi selama kita tinggal bersama ...."

"Nara, please!" Ia meraih jemariku, yang segera kutepis. Wajahnya terlihat keruh.

"Apa yang Mas harapkan dariku?"

"Aku hanya nggak ingin kamu salah paham setelah mendengar pembicaraanku dengan Mami kemarin"."

"Salah paham tentang apa? Tentang Mas yang suka main perempuan, dan dugaan meniduri istri orang, atau salah paham kenapa orang tua Mas menjodohkan kita?"

Bian seperti kehilangan kata-kata. Melihatnya begitu, aku merasa di atas angin dan ingin meluapkan semua rasa yang mengumpal di dalam dadaku selama ini.

"Aku jadi bertanya-tanya, mengapa Mami getol banget nyuruh aku berdandan, ke salon, nukar gaya dan warna rambut. Bahkan Mami pernah memeriksa semua isi lemariku, memastikan apa aku cukup menarik bagimu ... Mami juga pernah nanya ... apa kamu pernah menyentuhku ... karena katanya dia tahu persis bagaimana anaknya." 

Napasku terasa sesak. Mataku memanas. Oh, Tuhan, aku tidak ingin terlihat rapuh di depannya. 

Bian mengumpat spontan. Raut wajahnya sangat terkejut, seolah tak percaya. "Serius Mami sampai nanya-nanya hal kayak gitu ke kamu?" 

"Ya," ucapku lirih. "Sekarang aku baru ngerti, kenapa Mami bertindak sejauh itu."

"Astaga, Mami!" Bian kembali mengumpat sembari mengepalkan tangannya, tampak benar-benar jengkel.

"Apa pendapatmu tentangku?" tanya Bian lemah, setelah kami sama-sama terdiam cukup lama. Sorot matanya tampak luruh saat menatapku.

"Apa penting pendapatku?" Aku mencoba tertawa, walau yang terdengar hanya nada sumbang.

"Kalau kita pasangan sungguhan, mungkin aku akan marah padamu, atau melabrak Celine yang sembarangan memeluk suami orang ... padahal dulu kalian pernah diduga pernah tidur bersama. Tapi, nggak ... aku nggak akan mempermalukan diriku dengan melakukan hal-hal semacam itu. Toh, aku juga bukan siap-siapa bagimu, bukan? Hanya perempuan antah berantah yang terpaksa kamu nikahi."

Aku menyambar minuman di meja dan segera meneguknya. Meredakan dadaku yang rasanya seperti terbakar.

Bian tampak tak berkutik. Tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.  

"Sudah pukul tujuh, aku berangkat," pamitku seraya bangkit dari kursi.

Aku menata napasku yang tak beraturan. Mengendalikan perasaanku agar tidak meledak sebelum akhirnya meraih tas di meja dan berangkat ke sekolah.

Tak kusangka pagi yang menyesakkan ini ternyata belum berakhir. Di depan pagar rumahku, tampak Celine sedang menggandeng tangan Chaca. Mereka tersenyum lebar saat melihatku. Mau tak mau aku membalas senyum dan sapaan mereka. Ini pertama kalinya aku bertemu Celine di kompleks kami. 

Berbeda dengan malam itu, saat kami baru kenalan. Pagi ini aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Ia memang benar-benar cantik. Rambutnya yang dicat pirang, masih diikat ekor kuda, memperlihatkan tato kupu-kupu kecil di tengkuknya yang putih mulus bak porselen.

Riasan sederhana dan segar membuatnya sekilas mirip artis Korea. Dress selutut dipadu dengan jaket denim dan Sepatu boot sebetis, membuatnya terlihat sangat modis.  

"Pagi, Mbak. Pagi, Chaca." Aku menjawil pipi Chaca sekilas. "Baru mau berangkat? Hari ini mau antar sama Mama, ya?"

"Gadis kecil itu hanya tersenyum malu-malu. 

"Katanya tadi mau berangkat bareng kamu, Ra. Minta antar Mama ke rumah Bu Guru." Perempuan itu tertawa.

"Bian udah berangkat?" lanjutnya seraya melongok ke teras.

"Belum, Mbak." 

Ucapan Mami soal ia pernah tidur dengan Bian kembali terngiang, dan seketika membuat suasana hatiku kembali memburuk.  

Aku kembali mengamatinya diam-diam. Mengagumi sekaligus mengeluh, betapa cantik dan menariknya perempuan ini. Bagaimana mungkin selama belasan tahun bersahabat dengan Bian, tidak ada perasaan apa-apa yang tumbuh di antara mereka? 

Lamunanku buyar saat mendengar pintu terbuka dan Bian keluar dari rumah.

"Ya, udah, Chaca berangkat sama Tante Nara, ya! Mama mau ngobrol bentar sama Om Bian." Wajah Celine langsung semringah saat melambaikan tangan pada lelaki itu.

Aku buru-buru memalingkan wajah ketika pandanganku bersirobok dengan Bian. 

Setelah basa-basi singkat, aku pamitan pada Celine, sambil menuntun tangan Chaca tanpa menoleh lagi. 

-tbc-

Ada hubungan apa sebenarnya antara Bian ama Celine? Kenapa Bian bilang ke Nara waktu di Pub, kalau Celine adalah satu-satunya orang yang dia bisa percaya. 

Duh, rahasia apa yang mereka pegang selama ini?

🍁🍁🍁

Versi lengkap bisa dibaca di kbmApp, akun saya lia_musanaf. ❤️❤️

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang