"Bian nggak memarahimu, kan, soal tempo hari?" tanya Mami saat berkunjung siang ini. Dari balik maskara tebal itu aku melihat sorot kekhawatiran di matanya.
Aku merasa tidak enak hati. Walau sikap Mas Bian sangat menyebalkan, tapi aku tak sampai hati mengadu pada Mami. Selama bisa kuatasi sendiri, aku akan mengunci mulutku rapat-rapat.
"Nggak, kok, Mi. Hanya saja dia bilang lain kali kalau pergi, Nara harus pamit."
Mami mengangguk lega. "Selama ini Bian baik sama kamu, kan?"
"Baik, Mi." Dadaku terasa diimpit batu saat terpaksa berbohong pada Mami.
"Syukurlah. Mami harap kalian bisa saling melengkapi, ya. Bian memang agak suka ketus begitu anaknya, tapi sebenarnya dia baik."
Apa lagi yang bisa kulakukan selain mengangguk, lalu memasang wajah lugu dan manis? Mami tidak perku tahu betapa menderitanya hidupku karena selalu diabaikan oleh si Batu itu.
"Bukan bermaksud mencampuri urusan rumah tanggamu ... tapi apa kalian menunda memiliki anak?"
Aku tersedak, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti ini. Aku jadi teringat pembicaraan serupa Mami pada Mas Bian waktu itu. Apa Mas Bian tidak menjelaskan pada Mami?
"Maaf, kalau Mami banyak tanya," lanjutnya kemudian saat menyadari aku hanya menunduk sambil memainkan jemari.
"Ya, udah. Dari pada bengong di rumah, yuk ikut Mami."
Sejujurnya aku lebih nyaman di rumah saja. Ikut bersama Mami berarti pergi belanja atau mampir ke tempat teman-teman sosialitanya. Duniaku yang sederhana memang sangat berbeda jauh dengan dunia Mami yang serba gemerlap. Namun aku tak bisa menolak, karena sepertinya Mami tidak ingin aku kesepian di sini.
Berbanding terbalik dengan anaknya yang super cuek, Mami justru sangat perhatian. Saking perhatiannya, dia bahkan ikut ke kamarku dan membantu memilihkan pakaian yang akan kukenakkan untuk acara jalan-jalan kami siang ini.
Risih. Itu yang kurasakan saat Mami mengawasiku berganti pakaian. Mami mengomentari perutku yang sedikit membuncit karena timbunan lemak dan menganjurkan untuk diet. Astaga aku malu sekali!
"Ikut yoga saja sama Mami, ya. Kamu juga harus kurangi karbo. Atur lagi asupan makanmu, Nara!"
Aku lagi-lagi hanya mengangguk pasrah.
"Sebagai perempuan kita harus pintar jaga penampilan. Kamu cantik. Tapi kalau nggak dirawat, ya, bakal ketutup cantiknya."
Mami membuka lemariku dan mengecek pakaian yang tergantung di sana. Sesekali keningnya berkerut.
"Kamu nggak pernah belanja, ya?"
"Baju Nara masih banyak banget, Mi."
Hampir tujuh puluh persen baju yang ada dalam lemari adalah baju yang dibelikan Mami. Baik saat awal menikah dulu atau saat dia mengajakku keluar menemaninya belanja. Lagi pula baju-baju itu jarang sekali kupakai karena lebih sering menghabiskan waktu di rumah. Mas Bian hampir tidak pernah mengajakku keluar.
Mami membuka pintu lemari satunya lagi yang berisi pakaian dalam, gaun tidur dan peralatan pribadiku. Lagi-lagi ia menghela napas panjang.
"Kamu nggak pernah memakai ini, ya?" Ia menarik tumpukan lingerie yang pernah dibelikan untukku dulu dan masih berada dalam plastik pembungkusnya.
Ya, Tuhan, mengapa ada mertua se-kepo Mami? Wajahku memanas karena rasa malu luar biasa. Haruskah dia menanyakan hal-hal terlalu pribadi seperti ini?
Sebut aku kolot, norak atau kampungan. Namun, dulu saat menerima hadiah gaun tidur itu dari Mami, aku hampir pingsan. Tak sanggup membayangkan harus memakainya di hadapan Mas Bian.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...