Bab 11a - Sebuah Tanya

3K 292 3
                                    

Aku terbangun sebelum alarm berbunyi tepat pada pukul empat pagi, seperti biasanya. Kebiasaan ini memang sudah tertanam sejak kecil. Bagaimana tidak, terlahir sebagai sulung lima adik yang jarak usianya sangat dekat, aku adalah andalan Ibu dalam segala hal. Mengurus adik-adik dan juga pekerjaan rumah, sedang Ibu sibuk berjualan sarapan pagi sebagai sumber nafkah utama keluarga kami.

Ayah meninggal saat aku kelas satu SMP dan Ibu tengah mengandung si bungsu. Masih kuingat betapa pucat wajahnya ketika peti jenazah Ayah yang dibawa oleh Bapak dari Jakarta, tiba di halaman rumah kami. Tangisan memilukan yang keluar dari mulutnya, seolah merobek-robek hatiku. Perempuan tercinta itu sempat pingsan berkali-kali saat Ayah dikebumikan. Hari itu, di usia yang masih tiga belas tahun, aku resmi menjdi yatim dan menjadi tempat bersandar bagi Ibu.

Kecelakaan di tempat kerja, begitu kabar yang kudengar dari Bapak saat ia berbelasungkawa dan mengurus semua proses pemakaman sebelum kembali ke Jakarta. Aku tak tahu persis apa pekerjaan Ayah, hanya saja sejak aku SD, Ayah sudah ikut Bapak ke Ibukota.

Tidak banyak kenangan yang kumiliki bersama Ayah, karena ia pulang hanya beberapa kali dalam setahun. Namun, tetap saja bagiku ia lelaki terhebat karena sangat menyayangi kami. Semasa hidup, belum sekali pun kulihat Ayah marah atau bermuka masam pada Ibu. Ia lelaki paling lembut dan penyayang yang pernah kukenal.

Saat berwudhu tadi, aku tiba-tiba merindukannya. Mungkin karena hari ini tepat sepuluh tahun sejak kabar duka itu kami terima.

Di atas sajadah, kulangitkan doa untuk Ayah agar ia bahagia dan tenang di sana. Cukup lama aku larut dalam tangisan, sampai mukenaku basah. Walau sudah bertahun-tahun, kerinduan itu belum juga sirna. Malah justru kian membesar dan makin menyesakkan dada.

Ibu pernah bilang, sebagai orang beriman, kita tidak boleh menyesali nasib yang sudah Tuhan gariskan, lalu berandai-andai. Namun, diam-diam aku cukup sering melakukannya. Seandainya Tuhan tidak memanggil Ayah secepat itu, apakah nasib kami akan berbeda? Mungkin kami tidak harus berutang budi pada Bapak. Mungkin aku tidak harus menjalani perjodohan ini. Mungkin saat ini aku sibuk mengejar cita-citaku. Kuliah setinggi mungkin, dan menjadi seseorang yang berguna dan bisa dibanggakan.

Cita-cita? Apa itu cita-cita?

Sejak ayah meninggal, aku tidak punya waktu memikirkan cita-cita. Hari-hariku sibuk dengan pekerjaan rumah yang tiada henti. Ada banyak adik yang harus dijaga. Ada Ibu yang harus dikuatkan karena si bungsu lahir tepat seminggu setelah Ayah meninggal. Kondisi Ibu yang shock membuat adikku lahir prematur.

Jadi kalau ada orang bertanya apa cita-citaku, aku sama sekali tidak punya.

Aku tetap sekolah karena memang seharusnya begitu. Aku kuliah karena Ibu yang menyuruh. Tak ada harapan khusus ingin menjadi apa. Semuanya samar. Kabur. Apalagi aku juga tidak menonjol di mata pelajaran apa pun. Tidak cerdas, tidak pula bodoh. Hanya perempuan dengan kemampuan rata-rata seperti kebanyakan manusia lainnya di dunia ini. 

Yang menjadi fokus utamaku hanyalah ingin keluar dari jerat kemiskinan, dan membahagiakan Ibu serta adik-adik. Lalu, Bapak datang meminangku untuk menjadi menantunya. Tawaran yang tak bisa kuelakkan, apalagi saat melihat sorot penuh harapan di mata Ibu. Menjadi bagian keluarga Chairil Aziz, seperti karpet merah yang menyelamatkan kami dari kungkungan kemiskinan.

Aku keluar kamar setelah membasuh wajahku yang sembab karena menangis. Melakukan rutinitas pagi seperti biasa. Menyapu, merapikan rumah, setelahnya berkutat di dapur menyiapkan sarapan sambil mencuci pakaian.

Berbeda dengan rumah saudara Bian yang megah dan luas bak istana. Rumah kami seperti perumahan pada umumnya. Mungil, dengan ruangan serba minimalis.  Dapur menyatu dengan ruang makan. Kamar mandi  dekat tempat mesin cuci, dan bersebelahan dengan dapur. Ruang tengah dan ruang tamu hanya dibatasi partisi kayu, lalu ada dua kamar tidur yang saling berjejer. Di lantai dua, ada ruangan lepas yang dialih fungsikan Bian sebagai kamarnya selama dua minggu ini.

Tepat pukul enam lagi, cucianku selesai. Sarapan yang terdiri dari jus buah, beberapa lembar roti dan selai juga sudah kusediakan di meja makan. Ada mie goreng kesukaan Bian juga kalau-kalau ia ingin sarapan berat.

Well, seperti itulah rutinitas harianku. Tidak ada yang istimewa dan bisa dibanggakan, seperti Raya atau Lusia, dua menantu Mami yang hebat-hebat. Aku lebih tepat disebut sebagai pengurus dan penunggu rumah daripada ibu rumah tangga, karena suamiku sendiri tak menginginkanku menjadi calon ibu dari anak-anaknya. Aku tertawa miris saat mengingat hal itu.

Aku menoleh ke tangga memastikan apakah Bian sudah bangun. Biasanya jam segini dia sudah turun untuk berolah raga ringan di taman belakang, dan bermain bersama ikan-ikan koi-nya sebelum sarapan.

Setengah jam kemudian, tetap tidak ada tanda-tanda ia akan turun. Sedikit heran aku menaiki tangga untuk mengecek keadaannya.

Ruangan yang dipisah oleh sekat pembatas antara kamar dan ruang santai itu, terlihat remang-remang karena jendela dan gorden belum dibuka sama sekali. Samar-samar aku mendengar gemericik air dari kamar mandi. Sepertinya Bian sedang di sana.

Aku membuka jendela dan membiarkan cahaya matahari dan udara pagi menyerbu masuk. Sesaat aku melamun di depan jendela menikmati pemandangan komplek yang mulai ramai. Ini hari Minggu, banyak warga bersepeda atau sekadar lari pagi di jalan utama. Tergoda untuk ikut joging sambil belanja sayur di pasar yang berada tidak jauh dari komplek, aku memutuskan untuk turun. Namun, saat membalikkan badan dari jendela,  kulihat Bian baru saja keluar dari kamar mandi.

Selama beberapa detik, tubuhku membeku tak bisa bergerak saat kami bertatapan. Dia yang rupanya baru menyadari kehadiranku sedikit terkejut.  Hanya sekilas, karena setelahnya dengan santai lelaki itu berjalan mendekat, lalu meraih handuk yang terjemur tak jauh dari jendela dan melilitkan ke pinggangnya. Titik-titik air terlihat jelas mengalir dari dada hingga pusarnya.

Dasar Bian! Kebiasaannya tidak membawa handuk ke kamar mandi belum juga hilang.

"Mas, malu dikit, napa?" Aku buru-buru melengos dan merasakan wajahku memanas karena jengah. Walau sudah sering melihatnya dalam keadaan seperti ini, tapi entah mengapa setelah kami tidur di kamar terpisah, rasanya menjadi canggung.

"Ngapain harus malu. Toh, kamu udah sering liat, kan? Make juga sering." Celetuknya santai tanpa beban seraya menyeringai padaku. Ia menggerak-gerakkan kepalanya yang basah, sehingga beberapa tetes air menerpa wajahku. Aroma mentol yang segar, menguar dari tubuhnya.

"Apaan, sih? Ngomong dan tingkahnya suka asal!" Aku cemberut dan mendorong bahunya gemas, lalu segera turun dengan tergopoh-gopoh. Menyebalkan sekali!

"Lho, siapa suruh ke sini? Kamu yang salah, kok malah nyalahin orang?" Ia berseru dari atas. Ada tawa tertahan dari nada suaranya.

Aku sangat malu, dan memikirkan bagaimana cara menghilang sejenak dari hadapannya. Namun, rasanya mustahil karena di rumah sekecil ini, tidak mungkin menghindar dari lelaki itu.

Tbc

Cerita ini tersedia juga di kbmApp sudah sampai bab 20, akun saya lia_musanaf. 🥰

 🥰

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang