Bqb 14b. Menyusun Kepingan Puzzle

2.6K 279 10
                                    

Sejak kejadian mimpi buruk Bian setelah kami dari TMII  minggu lalu, sikap laki-laki itu sedikit berubah. Ia tampak lebih berhati-hati saat bicara, sesekali aku juga mendapati dia mengamatiku diam-diam dengan  sikap waspada, entah mengapa.

Aku mencoba tak ambil pusing, dan tak pernah lagi menyinggung soal luka atau pun mimpi buruknya malam itu. Walau sebenarnya aku terus menggali kepingan-kepingan informasi mengenai Bian dan menyusunnya dalam kepala. Secuil informasi dari Davin juga akan sangat berguna nanti, walau sekarang masih tampak kabur.

"Mas, tadi siang aku ketemu dengan teman Mas." Aku membuka obrolan setelah kami makan malam.

"Teman? Memangnya kamu tahu siapa temanku?" Ia menjawab acuh tak acuh, seraya melemparkan pandangan menyelidik.

"Ingat kejadian waktu ulang tahun Najwa yang aku kecebur di dalam kolam bersama Adam? Nah, itu, lho ayahnya Adam, Mas Davin."

Bian sedikit terkejut saat aku menyebut nama Davin.

"Ketemu di mana?"

"Di depan kompleks, saat aku pulang ngajar tadi siang ... dia juga nitip salam untuk Mas Bian."

"Ngobrol apa saja kamu sama dia?" Bian memasang tampang ogah-ogahan saat bertanya, tapi aku tahu sebenarnya dia sangat penasaran. Aku merasa geli sendiri. Dasar gengsian!

"Nggak banyak, sih. Aku baru tahu kalau dia sepupu Mbak Raya dan teman sekolah Mas. Dia juga nanyain apa Mas udah manggung lagi."

Bian melengos dengan raut muak. "Ngapain dia pake nanyain hal itu segala sama kamu. Padahal dia tahu sendiri kebenarannya."

Aku mengamati reaksi Bian yang terlihat sangat kesal dan gondok. "Jadi dulu Mas anak band, ya?" Aku bertanya ringan mencoba mengurai ketegangan pada wajahnya.

Ia tak menanggapi, hanya segera beranjak dari duduknya menuju ruang tamu. Namun, aku tak menyerah begitu saja. Rasa penasaranku butuh dipuaskan, walau resikonya harus siap menghadapi sikap ketus lelaki itu.

"Nggak kebayang Mas kalau lagi nge-band kayak gimana. Mas pegang alat musik apa? Atau jangan-jangan Mas vokalisnya?" Aku merongrong Bian dengan pertanyaan saat menyusul ke depan dan duduk di sebelahnya.

"Berisik banget, sih, kamu."

"Ayolah. Aku pengen tahu cerita tentang band Mas itu."

Bian tampak tak peduli, dan memilih menyalakan televisi. Beberapa kali ia memencet remote entah mencari stasiun apa. Matanya lurus ke depan tapi jelas sekali sebenarnya dia sedang tidak fokus.

"Kalau misalnya Mas masih nge-band dan saat ini udah jadi artis terkenal ... wah, nggak kebayang aku jadi istri selebritis tanah air." Aku terkekeh sendiri dengan bayangan konyol itu.

Bian mendecih sebal. "Kalau aku jadi musisi terkenal, ya, nggak mungkin nikah sama kamu-lah. Hobi amat, sih, kamu melantur kalau ngomong!"

Aku terkesiap. Walau sudah sering mendengar dia berkata sinis, tapi tetap saja kali ini terasa berbeda. Apa dia tidak punya selera humor sama sekali? Masa candaanku ditanggapi sedemikian rupa?

"Oh, tentu saja. Level perempuan yang bakal Mas nikahi minimal kayak Mbak Raya atau Mbak Lusia lah, ya. Nggak mungkin gadis kampung kayak aku."

Aku mencoba tertawa, walau rasa pedih mengiris hatiku diam-diam.

"Tapi kalau dipikir-pikir, sekarang pun aku juga nggak level, sih, nikah sama Mas dan jadi menantu Bapak. Entah atas dasar apa Bapak menjodohkan kita."

Bian menghela napas panjang, dan menatapku dengan wajah serba salah.

"Apa maksudmu soal level perempuan yang akan kunikahi?"

"Aku ... hanya banyak berpikir belakangan ini.  Terlepas dari pandangan Mas tentang pernikahan kita, semoga aku nggak bikin Mas malu kalau ada acara kumpul-kumpul bersama keluarga besar atau bertemu dengan kenalan Mas."

"Kamu ngomong apa, sih? Nggak usah berbelit-belit, langsung saja pada intinya." Ia menaikkan alisnya tampak tak sabar.

"Apa Mas malu mengakui aku sebagai istri?" cetusku kemudian.

Bian melongo menatapku seolah tak percaya. "Malu kenapa?"

Aku menunduk. Kepercayaan diriku tiba-tiba merosot ke titik terendah, saat teringat betapa selama ini tak pernah diajak keluar dan dikenalkan pada teman-temannya. Bahkan tiap ada acara di rumah Mami pun dia enggan datang. Kalau pun terpaksa datang, dia lebih memilih memisahkan diri.

"Karena aku bukan perempuan yang selevel dengan keluarga Mas."

"Kenapa kamu jadi bawa perasaan begini, seolah-olah kita pasangan beneran? Bukannya aku udah ingetin, kalau jangan berharap apa-apa pada pernikahan ini? Jangan bilang kamu udah lupa soal pembahasan kita waktu itu." Matanya yang tajam memindai wajahku.

"Tentu saja aku masih ingat!" sentakku gusar. "Aku masih ingat kalau pernikahan kita hanya di atas kertas. Aku juga ingat untuk nggak boleh bawa-bawa perasaan!"

Bian agaknya terkejut saat melihat reaksiku. Setelah terdiam beberapa saat dia berkata dengan tenang, "Baguslah! Jadi, nggak usah melantur lagi soal level-level-an itu. Lagian aku nggak pernah menilai orang dari asal usul mereka."

Aku bangkit dengan marah, walau aku tak mengerti mengapa harus marah. Perasaanku seperti teraduk-aduk dan membuatku kesal sendiri karena tak tahu bagaimana meredakannya. Aku benci dengan sikapnya yang tak berperasaan. Namun, aku lebih benci dengan diriku sendiri yang masih saja berharap dia bisa bersikap sedikit lebih manis. Perasaan aneh ini betul-betul menyiksaku.

Aku membanting tubuh ke kasur, dan membenamkan wajahku ke bantal, lalu  berteriak sekuat-kuatnya.

Sampai kapan aku sanggup bertahan? Sampai kapan aku akan bersikap seolah baik-baik saja, padahal pernikahan kami seperti bom waktu. Hanya menunggu kapan akan meledak?

Tenagaku terkuras habis setelah menumpahkan emosi yang menggumpal di dalam dada. Namun, walau begitu aku  sedikit lega. Sesakit apa pun luka yang ditorehkan Bian, aku harus kuat, demi Ibu dan juga adik-adikku.

Bunyi beruntun notifikasi pesan masuk di ponsel, mengalihkan perhatianku dari memikirkan Bian.

Puluhan foto-fotoku beragam gaya dan pose saat berkunjung ke taman mini tempo hari, yang dikirimkan Bian, seketika memenuhi galeri handphone-ku.

[Makasih]

Aku membalas pesan itu, lalu membuka satu persatu foto dengan antusias.

[Ini foto paling bagus. Bisa kamu jadikan foto profil]

Bian mengirimkan fotoku saat di atas kereta gantung.

Sepertinya foto itu diambil secara random. Entah apa yang terjadi saat itu, yang jelas aku tengah terpejam dengan mulut menganga lebar. Astaga, memalukan sekali!

Aku segera mengirimkan emotikon orang cemberut sebanyak tiga buah padanya. Bisa-bisanya dia meledekku seperti ini.

[Kamu udah ngantuk?] Ia membalas pesanku lima belas menit kemudian.

[Kenapa?]

[Mau keluar?]

Aku mengernyit keheranan. Apa maksudnya?

Tanpa pikir panjang, aku segera bangkit dan keluar dari kamar. Bian yang tengah memegang ponsel segera menoleh saat melihatku.

"Ada apa Mas menyuruh keluar?"

"Maksudku ... kamu mau ikut bersamaku ke suatu tempat?" Ia bertanya sedikit ragu.

Selama beberapa detik aku hanya mematung, seperti tak percaya apa yang kudengar barusan.

"Ke mana?" Aku melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah sembilan malam.

"Nanti kamu akan tahu."

"Baiklah. Aku ganti baju dulu." Aku berbalik ke kamar dengan kepala dipenuhi tanya. Tumben sekali Bian mengajak keluar. Hal yang hampir mustahil dilakukannya selama kami menikah.

-tbc-

Cerita ini juga tayang di kbm sampai 43 bab. Akun saya lia_musanaf 🥰

ALWAYS YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang