Minggu pagi seperti biasa Mas Bian bermain futsal, dan baru pulang menjelang Asar. Aku tak tahu, apa setelah berolahraga dia pergi ke tempat lain dulu, karena dia tidak pernah membicarakan kegiatannya padaku.
Mungkin karena sejak awal menikah komunikasi kami memang seperti ini, aku sudah terbiasa, walau kadang-kadang pernah merasa sedih dan kesepian juga. Untuk membunuh rasa sepi aku biasanya mencoba resep-resep makanan baru yang kepelajari dari Youtube, lalu membaginya dengan tetangga. Kadang mengubah letak perabotan dalam rumah agar suasana tidak monoton. Bahkan belakangan ini, aku keranjingan mengoleksi tanaman hias dan menatanya di taman kami yang mungil. Aku melakukan apa saja agar selalu sibuk, termasuk aktif dengan hampir semua kegiatan ibu-ibu di komplek ini.
Saat oven baru saja berdenting menandakan kalau kue yang kupanggang baru saja matang, bel berbunyi. Aku mengintip dari gorden dan melihat sedan Mami terparkir di depan pagar.
Sebelum membuka pintu, aku memastikan rumah sudah rapi dan penampilanku tidak terlalu berantakan.
Perempuan itu memelukku sekilas, dan langsung melenggang masuk ke dalam rumah. Dari balik maskaranya yang tebal, aku tahu Mami aedang memindai seluruh ruangan.
Aku mengembuskan lega karena Mami tidak berkomentar apa-apa.
"Kamu masak apa? Wangi bener!"
"Cobain resep baru, Mi, apa ya namanya tadi. Nara dapat di Youtube" Aku tersenyum sungkan saat Mami menundukkan badannya menghidu aroma kue yang baru saja matang.
"Bian mana?
"Oh, Mas Bian lagi main futsal."
"Main futsal? Jam segini kok belum pulang?"
"Biasanya pulang Asar, Mi."
"Bian kebiasaan, ih. Masih saja nggak ingat sudah ada istri di rumah!" Mami cemberut. Tak lama kemudian ia mengeluarkan ponsel dari tasnya.
"Mana telponnya mati lagi. Ya, udah kamu ganti baju sana. Ikut mami!"
"Kita ... kita ke mana, Mi?"
"Jalan-jalan, yuk!"
Walau agak enggan, tapi aku tak punya pilihan lain. Mami punya semacam aura yang membuat orang tak bisa membantah perkataannya.
"Bagaimana acara di kantor Bian semalam?" Mami bertanya setelah kami berada di dalam mobil.
"Oh, itu. Lancar, Mi." Aku tak tahu harus berkomentar apa soal acara semalam. Tidak mungkin aku cerita pada Mami kalau anaknya itu hanya sibuk mengobrol bersama rekan-rekannya dan membiarkanku melongo sendirian.
"Baju yang Mami pilihkan, kamu suka, kan?"
"Baju?" Aku berpikir keras dan seketika menyadari baju apa yang dimaksud Mami.
"Oh, iya. Baju untuk acara semalam? Terima kasih ya, Mi. Nara suka."
"Hari Kamis Bian nelpon Mami nyuruh cariin baju untuk kamu."
Aku menertawakan kebodohanku sendiri karena sempat kegeeran kalau Mas Bian yang memilihkan baju tersebut untukku. Ternyata itu semua tak lepas dari campur tangan Mami.
"Kamu harus banyak sabar, ya, sama Bian. Dia mungkin banyak kurangnya." Mami menghela napas panjang.
Aku hanya menunduk. Tak biasanya Mami bicara dengan nada seperti ini. Seperti perpaduan antara sedih dan sedikit putus asa.
"Nara yang lebih banyak kurangnya, Mi," ucapku dengan suara bergetar. Teringat bagaimana berbedanya sikap Mas Bian saat bersama orang lain dan saat bersamaku kembali menghantui.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALWAYS YOU
Romance~Terkadang orang terdekatlah yang menorehkan luka paling dalam~ Innara pikir dinikahi oleh cinta pertamanya, Bian, akan berujung bahagia. Apalagi, keluarga Bian yang menjodohkan mereka sangat menyayangi Innara. Namun, siapa sangka pernikahan tersebu...