36

259 32 5
                                    



Shena melepas tasnya lalu masuk ke dalam kamarnya, dia melihat sosok pria di sana. Gadis itu mundur beberapa saat sampai pria itu menoleh ke arahnya.

“Shen,” panggilnya.

Shena membuang mukanya cuek, lalu masuk ke dalam dan mengambil baju di dalam lemarinya. Dan langsung pergi dari kamar itu.

“Aku harus gimana supaya kamu terima maafku?” tanyanya menghentikan langkah Shena.

Gadis itu menghela napasnya pelan. “Lo enggak perlu apa-apa, gue udah maafin segala kedustaan dan juga kemunafikan yang lo perbuat sama gue.”

“Lo tenang aja.”

Randa terdiam.

Shena menoleh lalu mendekat ke arah Randa. Dia menyimpan bajunya dan langsung memeluk Randa. “Makasih ya, karena lo kasih gue kebahagiaan, lo buat gue tersenyum, lo selalu ada buat gue di mana gue udah ngerasa nyaman di dekat lo, walau semuanya berasal dari kata ‘terpaksa’ dan gue kira lo adalah kado terindah dari Tuhan. Ternyata gue salah ....”

“Maaf sekaligus makasih.” Shena menepuk-nepuk pelan pundak Randa.

Randa menggeleng. “Aku sayang sama kamu.”

Shena tertawa.

“Enggak usah bohong agar gue bisa seperti dulu, ngga bisa. Maaf.”

“Aku serius.”

Shena terdiam, lalu menghela napasnya pelan.

“Kalau kamu memang serius, ini semua enggak bakal terjadi.” Ucapannya berubah menjadi lebih lembut.

Randa menggenggam tangan Shena, lalu mengelusnya. “Beri aku kesempatan untuk buktiin kalau aku bener-bener jatuh cinta sama kamu.”

****


Malam yang penuh dengan hal menjanjikan. Shena duduk dengan santainya di sofa, menatap semua keluarganya yang sibuk mencari tempat untuk berlibur akhir tahun ini. Shena melirik sekilas ke arah Randa yang juga sedang menatapnya.

Shena mendengus. Niatnya mau menjauh malah semakin nempel, ini semua karena Dahlia dan Dara yang terus menerus menyuruh mereka untuk lebih romantis dalam rumah tangga.

“Shena kali ini enggak ikut ya? Mau cari kerjaan yang pas,” ujar Shena.

“Randa juga.”

Shena melirik Randa.

“Shena jadi ikut.”

“Randa juga.”

Semua keluarganya menatap mereka bersamaan. Randa dengan santainya merangkul Shena, Shena mengetuk-ngetuk jarinya di sofa. “Bisa minggir dikit nggak?” bisik Shena merasa risih sendiri.

“Nggak.”

“Gue cubit lo ya.”

“Cubit aja.”

Shena terdiam, lalu membiarkan apa saja yang akan dilakukan Randa. Shena tidak terima dengan keputusannya sendiri, namun sakitnya memaksa untuk menerima itu. Dukungan antara sakit dan juga hati memang bertolak belakang saat ini.

***
Malam itu, semuanya sudah kembali ke kamar masing-masing. Rama menatap putrinya, yang sibuk dengan handphonenya. “Kamu nggak tidur?”

Shena mendongak lalu menggeleng. “Nggak, Pa. Shena mau ngalong malam ini,” ujarnya tersenyum.

“Kenapa?” Rama duduk di samping putrinya, tangannya membelai kepala sang anak.

“Kamu kayak berbeda akhir-akhir ini, kalau ada masalah bilang ya? Jangan ditutup-tutupin kayak gini.”

“Enggak ada masalah kok, cuman Shena lagi kepikiran soal pekerjaan aja sih,” ujarnya berbohong.

“Sejak kapan kamu pinter boong kayak gini sama Papa? Kamu dibesarin sama Papa,” ujar Rama.

“Jangan-jangan ini soal Randa ya?”

“Papa akan ngomong sama dia.”

Shena menggeleng. “Pa, biarin kali ini Shena yang urus masalah Shena sendiri. Soal keputusan yang akan Shena ambil, biar Shena pertimbangkan sematang-matangnya,” ujarnya.

“Shena udah besar, pa. Udah berkeluarga.”

“Mau sebesar apa kamu, kamu tetap anak-anak di mata Papa.”

“Tapi, Papa ngerti.” Rama mengecup pelan kening anaknya lalu pergi masuk ke dalam kamar meninggalkan Shena yang terdiam merenung dengan segala tingkah bodohnya akhir-akhir ini.

Dia butuh orang yang bisa memotivasi dan memberikan saran yang bijak, namun siapa? Semuanya pada bloon soal percintaan. Apalagi sahabatnya.

Alfian.

Shena harus bertemu dengan orang itu.

****

Shena berlari kecil masuk ke dalam kafe, sore ini sangat macet entah apa yang terjadi. Dia mencari-cari sebuah meja, matanya melihat sosok Alfian, namun bersama dengan Rara.

Ah, semoga saja dirinya tak diejek oleh Rara karena curhat tentang Randa.

Shena yang ingin melangkah, dia undurkan. Dia mengambil handphonenya dan mengirim pesan kepada Alfian. Gadis itu keluar dari kafe dan masuk ke dalam mobil.

“Bukannya gue enggak mau cerita sama Rara, aah gue lebih malu.” Gadis itu menutup wajahnya dengan tangannya.

“Jantung aman?” Shena menoleh.

“Lo? Kenapa lo ke sini sih?” kesal Shena.

“Ya ngikutin kamu lah,” ujarnya.

Dia membuka pintu mobil dan langsung menarik tangan Shena ke sebuah warteg kecil. Menyuruh gadisnya duduk, Randa tersenyum lalu mengacak-acak rambut Shena.

“Jangan lari-larian. Enggak suka.” Randa berdiri lalu memesan makanan. Lalu kembali duduk.

“Nggak usah ditekuk mukanya, sengaja makan di sini. Biar lebih romantis,” ujar Randa.

Shena terdiam.

“Kenapa sih? Lo ngajak gue? Kenapa bukan Naila aja?” tanya Shena.

“Istri aku kan kamu. Bukan Naila.”

“Tapi cinta lo itu cuman buat dia. Jangan buat gue baper, sumpah sampai sini aja. Gue muak dan malas liat muka lo,” ujar Shena.

“Gue enggak sudi makan di tempat kayak gini, apalagi sama lo.” Shena mengambil tasnya lalu pergi meninggalkan Randa yang terdiam.

Shena menutup matanya lalu masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya dengan kecepatan di atas rata-rata. “Sesak banget bilang kayak gitu,” gumamnya.

“Maafin aku Ran.”

“Tapi sikap kamu itu buat aku semakin sakit,” ujar Shena.

Gadis itu memberhentikan mobilnya di sebuah rumah besar, dia masuk ke dalam. Leana menyambut adiknya.

“Kenapa kamu?” Shena langsung memeluk sang kakak.

“Rindu.”

Leana menggiring adiknya duduk di sofa. Memberikan air dan menenangkannya. “Kenapa? Ada masalah?” tanya Leana menghapus air mata adiknya.

Shena mengangguk kecil. “Dia kembali, tapi bikin Shena sakit. Apa gunanya?” tanya Shena.

“Sakit apa? Mau diobatin enggak?” tanya seseorang dengan suara khasnya lalu duduk di samping Leana.

Shena mendongak lalu mencibir pelan.

“Sakit hati, emang punya obatnya?”

“Ada. Obatnya itu cinta,” jawab Billar.

“Cinta aja enggak ada, mau diobatin kayak gimana coba?”

Leana mengusap-usap punggung adiknya. “Jangan kayak gini, coba cerita kenapa? Kalau ada masalah diceritain baik-baik, jangan kayak gini.”

“Apalagi Randa kan? Randa itu suami kamu loh, jangan kayak anak-anak yang lari-larian kalau ada masalah. Hubungan yang baik itu adalah hubungan yang dipertahankan karena perasaan keduanya,” ujar Leana.

“Kalau kamu pake ego dan emosi, apalagi rasa sakit. Semuanya akan berakhir buruk, Dek.” Leana mengusap rambut adiknya.

“Sebesar apa pun masalahnya, tetap harus dibicarakan dengan orang yang terkait dengan masalah itu,” celetuk Billar.

Shena terdiam. “Kalau dia punya masa lalu yang belum selesai gimana? Shena harus gimana?”

Leana menatap Billar lalu kembali menatap adiknya. “Masa lalu? Itu kan masa lalu aja, kamu sebagai masa depan harusnya bisa menempatkan diri kamu di tempat yang seharusnya.”

“Tapi masa lalunya datang ke masa depan, Kak.”

“Mau gimana pun, kamu lebih berhak kok. Dia kan masa lalu, kamu istrinya.”

***
Shena pulang dengan perasaan damai, dengan segala macam nasehat kakaknya akhirnya bisa meredamkan emosi dan juga kekesalan serta kesakitannya.

Langkahnya masuk ke dalam kamarnya.

Gelap.

Shena menoleh ke sana kemari, mencari keberadaan Randa namun pria itu tak ada. Shena keluar.

“Ma, Pa? Randa kemana?”

“Belum pulang dari sore. Katanya nyusul kamu, setelah itu dia belum pulang.”

“Loh emangnya kalian enggak ketemu?”














Tbc, udh mau ending

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang