21

928 88 25
                                    

Ternyata tak semudah itu.

Berlin, 12:00 (12°C)

Berada di sini, bak seperti penyakit yang kembali datang untuk Randa. Banyak hal yang terjadi, hanya untuk memikirkan hal jernih sekarang pikirannya sedang amburadul. Siapa yang bilang, kalau dia tak perduli dengan Shena? Hanya saja, dia belum bisa menyatakan bahwa dirinya ini sedang mencintai Shena, karena itu sama sekali belum terjadi.

Susah untuk berdamai dengan waktu dan keadaan.

Gadis yang sangat ingin Randa hindari itu datang dengan membawa beberapa berkas. Naila tersenyum. “Aku ke sini cuman mau bawa ini,” ujarnya menyodorkan sebuah berkas.

“Makasih.”

Naila mengangguk dengan senyum yang masih setia di wajah imutnya itu. “Btw aku boleh nanya enggak?”

Randa menoleh, terdiam sesaat menatap Naila lalu mengangguk. “Kenapa?”

“Punya waktu malam ini? Aku mau ngajak makan malam, ya sekalian ngomongin beberapa hal sih. Kalau enggak mau ya enggak papa, aku enggak maksa.”

Randa menghela napas. “Tentuin aja waktunya.”

Gadis itu tersenyum senang lalu pergi meninggalkan Randa dengan senyum yang belum luput dari wajahnya. Randa memejamkan matanya lalu memijit pelipisnya, bersikap biasa saja dan cuek itu susah apalagi untuk Naila ... orang bahkan tak ada yang tau seberapa bucin mereka dulu, saat sebelum setahun setengah itu dikembalikan.

Karena tak mau memikirkan aneh-aneh, Randa memberikan pesan chat kepada Shena. Setidaknya jika hanya beberapa percakapan mereka Randa bisa merasa hatinya sedikit tenang, apalagi mengetahui kalau keadaan Shena dan Mamanya di sana baik-baik saja.

***
Jakarta, 16:00 (31°C)

Shena tersenyum senang. “Beneran, tempat kerja abang lo ada tawaran buat kerja?” tanya Shena dengan senangnya.

Rara mengangguk ambisius. “Beneran, kalau lo nggak percaya lo bisa telfon dia deh. Cuman lo bisa jadi editor naskah enggak? Berhubung penerbitnya ini mayor ya, lo harus bisa jago-jago deh.”

“Tapi tenang aja sih, abang gue bisa bantu lo kapan aja. Selain jadi owner, dia juga penulis kalau lo mau sharing-sharing apa gitu sama dia boleh,” ujar Rara.

“Lo punya kan nomernya?”

Shena menggeleng. “Cuman Instagram, ya masih follow-up.”

“Gue kirim ya.”

Shena bersyukur, setidaknya untuk masalah ekonomi saat ini dia masih bisa menambah tabungannya. Walau sedikit demi sedikit, setidaknya tidak sampai kosong.

“Gue makasih banget ya sama lo Rara. Gue bingung soalnya, kalau kenalan gue rata-rata cuman teman sosialita doang.”

“Kayak ibu-ibu ya.”

“Ya gitu deh. Bukan ibu-ibu juga sih, cuman anaknya temennya mama gue itu kenal sama gue, sahabat gue cuman kalian doang mah.”

“Sel gue mau nanya de—“

Caca datang membawa sebuah jus dan juga roti. “Gue sebel sih,” gumam gadis itu.

“Kenapa?”

“Cowok yang jadi kasirnya ganteng, cuman gimana ya gue enggak bisa move on sama abangnya Rara. Sumpah ini pilihan yang berat buat gue!” teriaknya.

“Bicit. Gue kira apa, bisa nggak lo bahas yang berfaedah bukan buat lo doang? Tapi buat kita-kita yang dengar juga dapat kebahagiaannya,” ujar Rara.

Shena tertawa. “Pilih Abangnya Rara aja lah, kan dia lebih awal lo kenal.”

“Bukan soal siapa yang awal dikenal, ini soal komitmen sama perasaan kita juga. Kalau emang dia dari awal udah komitmen sama perasaannya, dia enggak bakal gampang lirik orang lain,” sindir Rara.

“Lo nyindir gue ya? Tanyain dulu ama abang lo tuh, gue dianggurin selama berapa tahun nih masih sabar aja gue sumpah. Gue udah rasain patah hati ngeliat dia punya pacar, namun ada sisi senang karena doa gue selalu terkabul. Doa gue, semoga yang pacaran dengan Rangga putus selain sama gue,” ujar Caca panjang.

“Gue bangga sih sama lo, karena tekad dan doa lo itu.” Shena menepuk-nepuk pundak Caca.

“Gue yakin Allah bakal ngasih yang tepat buat lo,” ujar Shena.

“Enak ngomong kek begitu lo, karena udah nikah. Kita mah apa, calon aja belum ada mau nikah gimana, gue bingung sumpah.” Caca mendengus.

Rara mengangguk menyetujui. “Bener, gue enggak beda jauh sama Caca dulu, gue juga sama kok ngejer-ngejer cowok. Contohnya saat SMA dulu, gue suka sama Alfian blak-blakan. Cuman dianya aja cuek dan nggak peduli,” ujar Rara.

“Miris banget sih, kalian.” Shena tertawa namun prihatin juga.

“Tapi lebih miris lo nggak tuh? Putus sebelum bertemu,” celetuk Rara.

Shena terdiam, dia padahal sudah melupakan itu. Melupakan mantan yang cukup lama dengannya, walau dia korban virtual dan putus 3 bulan saat sebelum perjodohan dirinya terjadi.

“Korban virtual, dia pacarannya online. Vidio call juga enggak pernah cuman nelfon aja, saking pemalunya dulu ya?” tanya Caca.

“Ya gitu deh, sekarang mah beda. Semenjak dia minta putus secara tiba-tiba gue sakit ati sumpah, sejak itu gue glow up.”

“Cia elah glow up, bener sih. 2 tahun pacaran virtual, ngakak enggak sih. Cuman udah berlalu ya kan, dia udah enggak pernah hubungin lo lagi?” tanya Caca.

“Semua nomornya mati, akunnya juga udah enggak aktif.”

“Gue lupa namanya siapa sih?”

Shena berdecak. “Dia enggak pernah ngasih tau nama lengkapnya, katanya belum saatnya. Ya gue tau cuman namanya Vano doang, dia nyuruh manggil itu.”

“Udahlah jangan dibahas, gue juga udah nggak tau dia hidup apa nggak sekarang.”

****
Sore sudah dia habiskan waktu bersama dengan teman-temannya, Shena menjenguk kakaknya ke rumah sakit. Leana sudah sadar, karena diberikan obat dan penanganan khusus dari dokter, meski keputusan Shena memilih kemoterapi. Kata dokter bisa-bisa saja asal rutin dan selalu minum obat dan jangan banyak beraktivitas, kalau ada gejala langsung ke dokter untuk konsultasi.

“Kakak jangan pernah nutupin hal-hal sebesar ini dari Shena ya?” tanya Shena sambil mengecup pelan tangan Leana.

Leana tersenyum. “Janji.”

“Kakak kalau ada apa-apa langsung hubungi aku, aku enggak mau kakak kenapa-kenapa.”

Dahlia menghela napas. “Kenapa kita enggak tinggal bersama sementara ini? Saling menjaga dan menguatkan,” ujar Dahlia.

“Untuk sementara ini itu jauh lebih baik bukan?” Shena mengangguk setuju.

“Kita tinggal di mana aja,” ujar Shena.

“Mau di rumah Mama mertua, atau rumah Mama terserah. Shena akan ikut di mana saja, yang penting sekarang kebersamaan melawan segala hal.”

Dahlia tersenyum, Dara mengangguk.

Setelah pertimbangan hal itu, Dara dan Leana memutuskan untuk tinggal di rumah Shena dan Randa saja, dan sementara rumah mereka dikosongkan. Malam itu, saat sebelum Dara ditinggal oleh sang suami, Dara memang merasakan hal yang janggal.

Namun, berusaha berpikir positif mungkin orang atau anak-anak yang iseng saja.

“Malam ini kita akan berkemas-kemas ya?”

“Shena sudah siapkan semuanya kok, untuk biaya kebutuhan atau lainnya Shena masih punya sedikit tabungan. Dan kata Papa, tunggu uang cukup untuk ditransfer, makan di sana mahal soalnya,” ujarnya diakhir dengan tawa kecil.

“Kalian kalau ada hal-hal yang dibutuhkan, tanya ke Shena aja.”



Tbc.


Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang