16

1K 99 12
                                    

Tiba-tiba sekali, Shena enggak suka.

***
Shena mendudukkan tubuhnya di sofa dengan menatap kosong ke depan, bibirnya terus berkomat-kamit tidak jelas tanda dia sedang marah sekali dengan Randa yang sudah pergi ....

Dan perginya sangat jauh ....

Dia pergi ke Jerman.

Sakit ditinggal, bukan karena itu tapi entah Shena juga bingung dengan perasaannya sendiri. Dirinya ditinggal begitu saja padahal mereka baru menikah beberapa bulan dan sudah memberikan jarak yang luar biasa antara hubungan ini.

“Maafin Mama ya, Mama enggak kasih tau kamu kalau mereka mau pergi,” ujar Dahlia mengelus pelan pucuk kepala Shena.

“Kenapa enggak kasih tau? Dan kenapa mendadak? Kenapa Shena enggak ikut aja ke sana?” tanya Shena.

Dahlia tersenyum pilu, dia juga bahkan tak rela jika kedua anaknya dan suaminya pergi begitu saja meninggalkan dirinya bersama dengan menantunya. Bak seperti bencana yang datang tiba-tiba tanpa tanda apa pun, namun Dahlia harus terus berdoa akan peristiwa ini.

Tak mau terlalu lama berpikir jelek.

“Mama? Kenapa?”

Dahlia tersentak kecil. “Karena Randa ngelarang, kalau Mama kasih tau kamu. Kamu bakal kayak gini, dan mereka enggak jadi pergi. Mereka pergi untung kepentingan kita semua, kamu yang sabar ya. Mereka perginya enggak lama kok,” ujar Dahlia.

Shena mengerucutkan bibirnya sebal. “Kapan pulangnya?”

“Hm, mungkin seminggu ini? Mereka bilangnya gitu sih.” Dahlia sebenarnya ragu namun, pasti mereka tak pernah mengingkari janji mereka.

*****
Shena sore ini berkunjung ke rumah ibu dan ayahnya, karena merasa bosan di rumah. Sesampainya di sana dia hanya melihat sang ibu, tidak dengan sang ayah. Kakaknya pun tak terlihat belakangan ini, wajar sih karena kakaknya sekarang sibuk dengan karirnya.

“Mama? Papa mana?” tanya Shena.

Dara terkejut, lalu menoleh. Melihat sang anak datang, Dara langsung memeluk Shena dan mengecup pelan kening anaknya. “Kenapa datang enggak bilang-bilang?” tanya Dara sambil menangkup kedua pipi Shena.

“Hm, kangen aja.”

“Papa mana?” tanyanya lagi.

“Papa, Papa kamu ke Jerman. Emang Randa enggak bilang sama kamu, dia jug—“

“Enggak! Enggak ada yang bilang sama Shena.” Gadis itu langsung menangis terisak.

Dara terkejut dan langsung membawa anaknya ke dekapannya. Bingung juga mau respon anaknya seperti apa, karena dia juga merasa tidak enak ditinggal secepat itu dengan mereka. Bingung, dan sedih tentunya. Kondisi ekonomi juga sangat menurun, mereka tak bisa apa-apa selain mengharapkan dari uang perusahaan saja.

Karena tak ada bisnis sampingan.

Sejam, sejam baru Shena bisa berhenti marah dan menangis, Shena sangat sensian hari ini entah kenapa moodnya naik turun mungkin karena dirinya ingin menstruasi atau apa.

Dara terdiam sebentar. “Mama, maafin Shena yang cengeng kayak gini ya?” Gadis itu langsung memeluk ibunya.

Dara tersenyum dan mengusap kepala anaknya. “Kak Lesti mana, Ma?”

Dara tak menjawab, dia tetap melakukan aksinya mengusap kepala anaknya. “Mama?”

“Kakak kamu lagi pergi ke rumah nenek, udah ya. Kamu istirahat, kamu mau nginap di sini?”

Shena menggeleng. “Enggak, kasian Mama Dahlia sendirian di rumah.”

Shena hanya ingin melepas rindu dan juga bertemu keluarganya, tapi yang ada Lesti pergi dan Ayahnya juga pergi, suaminya juga pergi, Papa mertua dan adik iparnya juga pergi. Besok-besok siapa yang akan pergi?

***
Dua hari setelah itu, dan malam ini, Shena mencoba menghubungi Randa. Sekali panggilan tidak terhubung dan kedua kalinya, telfon terhubung.

“Halo? Assalamualaikum.”

“Wa’alaikumussalam.”

Beberapa detik tidak ada sahutan. “Kenapa? Kenapa nelfon? Ada masalah?”

“Emang harus ada masalah dulu baru bisa nelfon gini?”

Terdengar suara kekehan dari sana.

“Sebenarnya memang ada masalah, masalah perasaan ini mah. Kamu perginya mendadak, Papa aku ada di sana juga ya? Semuanya enggak ada yang bilang kalau kalian pergi ....”

“Maaf.”

“Enggak butuh maaf, kenapa aku enggak diajak? Emang sepenting itu ya, sampai harus pergi tanpa pamitan dulu ....”

“Kan udah pamit. Sejak kapan kamu jadi manja gini?”

Shena mencibirkan bibirnya kesal, manja? Bukan manja ini mah sejujurnya dia ingin mengorok kepala Randa ini, suaminya.

“Halo? Kalau enggak ada apa-apa aku tutup.”

“Jahat.”

“Yaudah kenapa? Kita lagi urus bisnis yang penting, ini salah satu bentuk kerja sama yang paling besar dari tawaran lain.”

“Kalau kamu ikut, yang ada makin susah nantinya. Susah ngurus kuliah dan lain sebagainya, kamu harus ngerti itu.”

Shena tertegun.

“Aku sibuk. Jangan lupa istirahat, selamat malam.”

Telfon dimatikan sepihak. Shena menghela napasnya pelan, punya suami gini amat. Enggak ada pekanya sama sekali. Bahkan urusan kabar mengabari dia harus menanyakan hal itu kepada Revan, Papanya? Dan Papa mertuanya? Handphone mereka rasanya mati selama 23 jam 45 menit, nyala hanya 15 menit.

Kesel.

Shena membanting handphone di kasur dan langsung menyelimuti semua badannya, tangannya terulur memencet sakelar hingga lampu mati.

***
Kantin sepi, tidak seperti kemarin-kemarin yang sangat ribut. Mereka sekarang hanya sibuk dengan handphonenya, justru Shena hanya sibuk dengan buku yang ia baca. Sesekali mengecek handphonenya jika ada yang mengchat.

“Sel, lo kenapa sih 5 hari ini kayak enggak ada semangat hidup?” tanya Natasya sambil menatap dirinya di kaca kecil yang sering ia bawa.

“Nggak papa.”

“Kalau ada masalah bilang atuh neng, kita bukan peramal yang tau kejadian yang menimpa lo.”

“Gue enggak apa-apa. Emang kalian berharap gue kenapa-kenapa gitu?” tanya Shena sarkastik.

“Ya nggak gitu, aneh aja lo diem, baca buku, lihat handphone, dan cuman dengerin omelan gue dan Rara. Biasanya juga ikut nimbrung, kalau ada topik hangat lo semangat. Ini mana?” tanya Natasya.

“Lagi nggak semangat, gitu aja.”

Rara menatap sahabatnya itu. “Gue sering lihat lo naik bus, kenapa? Biasanya dianter sama Randa, Revan?” tanya Rara.

Shena menghela napas. “Panas di sini, kita ke perpustakaan aja deh, ada AC.” Shena berlalu begitu saja sambil menenteng buku-bukunya.

Natasya dan Rara hanya saling tatap menatap dengan tatapan cengo, kalau begini lebih baik mengikuti kemauan Shena saja. Daripada kena batunya.

Shena menyimpan tasnya, lalu kembali membaca bukunya saat tiba di perpustakaan mencoba untuk memperbaiki moodnya yang hampir seminggu ini rusak.

“Ah nunggu seminggu lama banget!” ujar Shena.

“Kenapa sih emang?” tanya Rara penasaran sekali.

“Mereka pergi hiks!” Shena menenggelamkan wajahnya di sela-sela tangan yang ia lipat.

“Siapa? Dan pergi kemana? Yang jelas ngomongnya woy, jangan bikin penasaran.”

“Suami gue, pergi ke Jerman ninggalin gue.” Suaranya tak begitu jelas, namun tetap jelas bagi kuping kedua sahabatnya itu.

“WHAT SEJAK KAPAN LO BUCIN?” tanya Rara.

“SEJAK NIKAH DONG YA?”

“LO JATUH CINTA BENERAN? LDR-AN DONG SAMA DIA?!”

Seketika tatapan guru perpustakaan tertuju pada mereka. “Jangan ribut di sini, kalau mau ribut silahkan di luar. Jangan mengganggu.”

Mereka berdua menunduk-nunduk sambil meminta maaf. “Maaf bu.”

“Shen, serius Shen?” tanya Rara.

“Jerman? Omg, jauh bener. LDR berapa lama?” tanya Natasya.

“Enggak tau. Mereka bilang bakal pulang seminggu doang di sana.”

“Bentar lagi dong, yaelah lo galau amat. Jangan galau gitu, keenakan si Randa lo bucinin. Sedangkan dia biasa aja,” celetuk Rara spontan.








Tbc.

Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang