Biarkan waktu yang menjadi saksi.
***
Randa is calling ....
“Assalamualaikum, gimana keadaannya?”
“Wa’alaikumussalam, baik. Kamu gimana? Kapan pulangnya?”
“Kenapa kok suaranya serak gitu? Ada masalah? Gimana kuliah kamu, kamu harus rajin-rajin udah mau wisuda.”
“Percuma wisuda.”
“Jangan ngomong gitu, nggak ada yang percuma.”
“Percuma lanjutin kuliah, kalau enggak ada kerjaan mah bisa apa? Enggak kayak kamu, kuliah di bidang manejemen bisnis, kerja sebagai CEO.”
“Kamu sastra, bisa jadi guru atau penulis? Emang mau jadi apa?”
“Mau jadi istri aja. Bisa nggak sering-sering nelfon dan chatnya? Kasih semangat dan apa gitu, peka dikit jadi laki ngapa. Aku nggak chat kamu itu tandanya nyuruh kamu chat duluan,” ujar Shena.
“Iya-iya. Di sini jaringan kadang susah, apalagi nelfon dari Jerman ke Indonesia.”
“Kangen ...,” lirih Shena.
“Hah?”
“Budek apa gimana, udah ah capek.”
Telfon dimatikan sepihak oleh Shena , Shena langsung menutup wajahnya dengan tangannya sambil tersenyum. Dia menghela napasnya pelan, lalu mencoba untuk tenang. “Kak, cepet sadar dong. Aku mau curhat nih,” ujar Shena.
“Janji deh aku bakal cari uang demi kakak,” ujar Shena lagi.
***
Shena menyimpan semua uangnya di dalam tas, lalu berjalan keluar dari kamarnya. Mencoba memikirkan apakah ini cukup untuk pengobatan kakaknya untuk sementara waktu apa tidak, Shena menghela napasnya. “200 juta,” gumamnya.
“Cukup untuk terus kemoterapi ya? Setidaknya operasi setelah kemoterapi itu jauh lebih sederhana. Jadi uangnya akan pas, walaupun belum sepenuhnya cukup.”
Uang ini akan dia berikan kepada ibunya, Shena juga harus tetap kuliah sesuai dengan pesan oleh papa dan ayah mertuanya.
Shena berjalan menuju kelasnya. “Shen!”
“Lo ada waktu enggak setelah kuliah?” tanya Rara.
Shena menoleh. “Em, emang kenapa? Kayaknya sih, cuman enggak tau juga.”
“Natasya udah cerita. Gimana kalau kita malam ini pergi ke suatu tempat gitu, tempat bermain atau apa yang bisa buat lo semangat?” tanya Rara sambil menaikkan sebelah alisnya.
“Gue enggak butuh itu, gue cuman pengen kerja aja.”
“Kerja, kerja apa pun?”
Shena mengangguk. “Kalau ada tawaran atau lo punya kenalan kasih tau gue ya, gue butuh uang saat ini.”
“Lo butuh uang berapa? Gue bisa bantu sekarang kalau lo butuhnya sekarang,” ujar Rara.
Shena menggeleng. “Enggak, Ra. Gue pengen kerja, gue enggak mau ngutang.”
“Gue ikhlas kok, bukan utang atau apa ....”
“Iya gue tau, cuman tetap aja gue enggak lah. Kalau ada apa-apa hubungin gue ya, gue butuh kerjaan serius.”
Shena melangkah pergi meninggalkan Rara. Caca yang sempat mendengar itu, turut prihatin walau dirinya hanya bisa mensupport sekarang, Papanya juga mencoba untuk menolong papanya Shena . Hanya itu cara Caca untuk bisa menolong sahabatnya.
****
Pagi itu ada hal yang terkejut, sangat terkejut bagi Randa dan juga Revan atas pengakuan Rama dan juga Endra tentang siapa orang yang mengajak bisnis mereka menjalin sebuah kerja sama, dana dan investasi sebesar ini ....
“Jadi ini yang Papa maksud, dia ini adalah ayah dari Naila, teman kamu Randa.”
“Mereka yang memberikan dana-dana yang cukup besar dan banyak untuk perusahaan yang akan kita bangun kembali.”
“Beruntung mereka ada di saat seperti ini, Papa sempat stress memikirkan semuanya. Namun, tawaran yang begitu menarik diberikan oleh Hendra Gunawan,” ujar Endra.
“Untuk saat ini kita bisa mengelola investasi sama-sama beberapa bulan ke depan, maka dari itu kita harus bisa bekerja di perusahaan dia yang sekarang untuk bisa menabung uang investasi yang kita pinjam sebelumnya atau untuk perusahaan kita ke depannya,” jelas Rama.
Randa tak mau memikirkan itu dulu, yang terpenting dia harus kerja, dia harus profesional.
Randa meletakkan berkas di dalam sebuah map, Revan menghela napas pelan. “Lo tahan tinggal di sini?” tanya Revan.
“Ini baru 2 Minggu, dan sampai saat ini gue tahan-tahan aja.”
Revan berdecak kesal. “Enggak mikirin bini lo di sana, ngapain, dan ngelakuin apa gitu. Lo enggak kepo?”
Randa terdiam sesaat lalu terkekeh. “Emang gue harus gimana bocah? Gue harus pulang demi dia gitu? Sedangkan di sini kita ngelakuin hal yang jauh lebih penting?” tanya Randa.
“Kejam banget anjir, kalau Shena denger sakit ati dah tuh, badannya remuk denger lo ngomong kek gitu. Lagian dia juga sering nelfon itu tandanya dia itu pengen lebih deket dan rindu sama lo, peka dikit lah.”
“Peka gimana? Emang gue sama dia gimana? Lo lupa kalau kita itu hanya sebatas formalitas yang dijadikan suami istri karena sebuah janji di jaman kakek nenek?” tanya Randa heran.
“Lo enggak ada rasa sama sekali?”
Randa terdiam, tiga detik setelahnya dia menggeleng. “Nggak ada.”
“Kalau Shena ada rasa sama lo? Lo bakal balik cinta enggak sama dia?”
Randa berdiri. “Lo kenapa selalu bahas itu di saat-saat kerja kayak gini? Perlu lo tau, kalau Shena pernah bilang sama gue enggak bakal pernah jatuh cinta sama gue. Dan gue yakin dengan adanya jarak kayak gini, cinta enggak bakal tumbuh.”
“Ngaco, lo lupa kalau jaminan lo sama dia nikah apa? Lo bakal buat dia jatuh cinta, otomatis lo harus cinta sama dia sebelum buat dia jatuh cinta.”
“Engga semua konsep percintaan harus seperti itu. Banyak kok di luar sana yang nikah tanpa pacaran, banyak kok yang hanya cewek saja yang mencintai, dan banyak juga kok hanya cowok yang mencintai.” Randa tak mau kalah.
“Tapi jauh lebih baik kalau saling mencintai?” Revan menaikkan alisnya sambil bersedekap dada.
“Gue lihat-lihat selama gue nikah sama Shena , lo terlalu sering ikut campur sama semua hal mengenai dia. Ada apa? Lo kenal sama dia juga karena perjodohan gue dan dia kan?”
“Atau ... lo pernah punya hubungan sama dia?”
Revan berdiri. “Perasaan makin ke sini lo makin ngaco ya, sadar enggak sih lo ngomong apa. Hubungan apa? Apa gue enggak boleh nasehatin kakak gue sendiri untuk tidak memberikan harapan sekaligus luka kepada perempuan, lebih tepatnya kepada istrinya?”
“Tapi sayangnya lo juga lupa, kalau Naila juga sama halnya dengan permasalah ini kan? Dia juga cinta sama gue, dan gue pun cinta sama dia. Tapi ....”
“Jangan bawa-bawa Naila dalam hal ini, karena setahun setelah masa lalu lo itu pergi dari hidup lo. Semuanya udah berubah, bro.”
“Nggak ada yang berubah, cuman keadaan aja yang memaksanya berubah. Perasaan yang ingin gue hilangkan selama ini sulit banget, gue berusaha menerima Shena . Cuman dalam kondisi seperti ini yang ada bukannya gue bisa lupa dengan Naila, gue bahkan udah nggak bisa dekat dengan Shena,” tutur Randa.
“Gue saranin, lo pulang aja.”
“Gila ya lo? Gue pulang di saat-saat begini? Emang lo sanggup ngurus semua ini, kuliah lo aja masih ada setahun. Dan lo berlagak kayak gini, yang harus pulang itu lo bukan gue.” Randa mengambil map dan beranjak pergi.
“Tapi yakin lo bisa profesional, kerja setiap hari bertemu dengan mantan lo itu?”
Randa yang belum sempat keluar dari ruangan, la langkahnya terhenti, dia menghela napasnya pelan lalu kembali berjalan.
Tbc!
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...