35

678 62 7
                                    



Seminggu berlalu.

Shena tersenyum setelah acara wisuda selesai, namun senyum itu pupus saat seseorang berdiri dari kejauhan menatap dirinya dengan bunga yang dia pegang. Semenit bertatapan, Shena mengalihkan pandangannya.

Jantungnya berdegup dengan kencang, matanya berkaca-kaca. Revan menatap ke arah depan, paham akan situasi. Revan membawa Shena ke tempat yang sedikit sepi.

Di ujung sana, ekor mata Randa mengikuti pergerakan Revan dan juga Shena. Dari sana dia bisa lihat, Revan memberikan kode untuk dirinya menghampiri Shena. Gadis itu membelakanginya. Randa berjalan dengan langkah gonta-ganti.

Hingga akhirnya sampai, dia berdiri di belakang Shena. Shena tak mau menoleh, gadis itu tak mau menatap Randa, takut pertahanan yang sempat dia bangun 4 hari ini runtuh sekejap mata hanya karena menatap Randa.

Randa memegang pundak Shena. Gadis itu bergerak ke samping, hingga tangan itu tak lagi memegang pundaknya. “Pergi,” ujar Shena.

Randa terdiam sesaat, lalu menarik tangan Shena dari keramaian. Menatap gadis itu yang enggan sekali menatapnya. “Shena,” panggilnya.

Randa memberikan bunga itu, Shena tak menerimanya. Randa mengambil satu tangan Shena, hingga bunga itu berhasil digenggam olehnya.

Shena dengan cekatan membuang bunga itu, lalu menatap lekat mata Randa. “Kenapa? Kaget? Ngapain ke sini?” tanya Shena.

“Maafin aku.” Randa bingung harus berkata apa lagi, karena dia tau apa yang dia lakukan adalah sebuah kesalahan, meninggalkan Shena di keadaan terpuruk. Dan datang di saat seperti ini.

Shena berlari meninggalkan Randa.

Randa menggapai tangan itu, Shena dengan sekuat tenaga melepasnya. Hingga satu tamparan mendarat di pipinya. “Jangan sentuh aku!” ujarnya dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya.

Randa memegang pipinya yang terasa sedikit panas.

Plak!

Naila datang dan langsung melakukan hal yang sama kepada Shena. “Nai,” tegur Randa.

“Lo dibaik-baikin malah gini, sok jual mahal banget sih,” ujar Naila.

Shena membuang mukanya, dan berusaha menebalkan telinganya.

Randa ingin mendekat, satu tangan Shena terangkat menyuruh Randa untuk diam di tempatnya. “Gue cuman pengen lo pergi dari sini,” ujar Shena dengan napas tercekat.

“Tapi Sel, aku datang ke sini dem-“

“Demi apa?” Shena menoleh.

“Demi apa? Lo udah janji sama gue ya, lo udah janji!” Setiap ucapan yang Shena keluarkan penuh dengan penekanan.

“Lo udah janji untuk buat gue jatuh cinta sama lo!”

“Dan perempuan ini.” Shena menunjuk Naila.

“Perempuan yang gue kenal akan sikapnya yang sopan, ternyata munafik seperti lo.” Shena memukul dada Randa lalu gadis itu berjalan pergi.

Randa yang ingin menyusul, ditahan oleh Naila. Randa menoleh dan menghempaskan tangan Naila. “Nai, izinin gue sekali ini aja. Sebelum semuanya berakhir,” ujar Randa.

Tangannya menggapai Shena, dan membawa gadis itu ke dalam pelukannya. Sempat memberontak, namun lama kelamaan hanya terdengar suara isakan dari gadis itu. Dia memukul pelan dada bidang Randa lalu menggeleng. “Lo udah janji,” ujar Shena.

“Lo udah janji buat gue jatuh cinta sama lo. Janji lo terwujud,” gumam gadis itu di akhir kalimat.

Shena menghapus air matanya, lalu menatap Randa. “Gue mohon sama lo, untuk terakhir kalinya sebelum gue benar-benar berpisah dengan lo.”

Randa menggeleng. “Aku nggak mau pisah sama kamu.”

“Nggak! Lo itu egois, egois untuk dua perempuan. Lo mau keduanya?” Shena menggeleng. “Gue enggak bisa.”

“Makasih.”

“Makasih untuk bahagia, luka, dan kesedihan yang lo kasih.”

“Kamu denger aku? Aku enggak mau pisah sama kamu.” Randa menekankan kalimatnya.

“Terus lo maunya gue gimana? Nerima semua itu? Nerima kalau ternyata suami gue sendiri punya masa lalu yang belum selesai?”

“Apa susahnya lo buat mutusin hubungan lo sama Naila?”

Randa terdiam, berusaha mencerna.

“Diam lo itu, udah sebagai jawaban.”

Shena pergi.

Randa tak mengejar lagi, dia berbalik dan langsung menemui Naila. Randa menarik tangan Naila sampai gadis itu merintih kesakitan, dia hempaskan tangan itu lalu menatap tajam ke arah Naila yang sedang mengelus tangannya yang sedikit berdarah karena cekalan Randa.

“Kenapa Shena bisa tau hal ini?” tanya Randa dingin.

Naila mendongak.

“KENAPA?! GUE TANYA SAMA LO!” bentaknya membuat Naila tertegun.

“Lo udah janji sama gue, untuk nutupin semua ini. Sampai waktunya tepat anjing,” umpat Randa.

“Lo murahan tau nggak. Lo bela-belain buat hancurin hubungan suami istri demi kesenangan lo itu.”

“Lo bukan Naila yang gue kenal.”

“Lo beda.”

Naila menggeleng.

“Pantes selama ini Shena nyuekin gue. Dia diam setiap gue tanya kenapa, dia nangis setiap gue telfon. Ternyata ini,” ujar Randa.

“Janji yang lo ucapin itu munafik tau nggak. Semuanya sekarang udah jelas, kalau lo sakitin hatinya Shena untuk kedua kalinya. Gue enggak segan-segan buat lakuin hal yang lebih ke lo.”

Randa hendak pergi, tangannya dicekal oleh Naila.

“Kamu kayak gini setelah apa yang aku lakuin ke kamu? Setelah apa yang aku bantu untuk kamu?”

“Apalagi, Ran? Semuanya udah aku kasih. Bahkan semua rahasia tentang adik dan istri kamu udah aku kasih tau. Tapi ini balasan kamu?”

“Aku cuman merjuangin apa yang sedang aku perjuangkan. Memangnya salah?”

Randa menghempaskan tangan Naila membuat gadis itu meringis. “Gue nggak bisa percaya sama mulut lo itu.”

***
Shena berhenti di sebuah taman kecil, dia menghela napasnya pelan. Mungkin caranya yang seperti ini jauh lebih baik, setidaknya Shena sudah memberitahu bahwa apa yang Randa jaminkan kepada dirinya itu terjadi.

Ternyata itu yang selama ini mengganjal di dalam batinnya.

Dia hanya perlu jujur. Selebihnya dia melihat apa yang akan terjadi, Shena siap untuk menghadapinya. Shena bukan tipe orang yang gampang menyerah, namun dia tak mau berjuang jika situasi memang tak mengizinkan dirinya untuk berjuang.

Seperti sekarang.

Randa diam, Shena semakin yakin kalau Randa benar-benar masih menyayangi Naila. Shena tak menyalakan Naila dalam hal ini, karena Naila hanya melakukan apa yang menurutnya benar.

Memperjuangkan cintanya yang sempat hilang, diambil karena perjodohan, terpisah karena sebuah keterpaksaan.

Dan Shena mengalami hal yang sama, memulai dengan keterpaksaan, dan mengakhiri dengan rasa terpaksa.

Semudah itu, namun menyakitkan.

“Kalau capek, istirahat. Kalau udah enggak bisa, bisa berhenti.”

Revan duduk di samping Shena. Gadis itu menatap adik iparnya lalu mengangguk setuju.

“Mantan gue bijak ya, gue berasa geli kalau lagi duduk sama lo,” ujar Shena.

“Lo nggak jujur sih dari awal, kalau lo jujur gue bakal nikah sama lo,” lawaknya tak mengundang tawa melainkan keheningan.

Shena menggaruk tengkuknya lalu meringis. “Kalem tapi kasar,” ujar Shena.

“Dia emang gitu, gue saranin kalau emang lo mau berjuang. Lo harus kuat dengan kelicikan Naila,” ujar Revan.

“Dia bukan tipe cewek yang kalau udah diserang langsung berhenti.”

“Enggak asik topik lo,” tutur Shena.

“Bantu gue untuk lepas dari masalah itu.”

“Apa yang Randa dan Naila lakuin di belakang gue itu penyakit buat gue. Gue mau hindari penyakit itu,” ujar Shena.

“Gue butuh bantuan lo.”



Forced Love Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang