Randa menatap Revan. Adiknya itu malah asik bermain game dan tak memperdulikan kakaknya yang sedang menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan.
Randa menghela napasnya pelan lalu duduk di samping Revan, merampas handphonenya dan mematikan handphone tersebut. “Ish, apaan? Gue asik main,” ujarnya kesal.
“Dengerin dulu,” ujar Randa.
Revan menghela napasnya lalu mengangguk. “Apa?”
“Lo dan Shena pernah punya hubungan?” tanya Randa to the point.
Revan menoleh, lalu mengangguk sekilas.
“Kenapa lo nggak bilang?”
“Apa yang harus gue bilang ke elo? Kan semuanya masa lalu, apa pentingnya buat diungkit masa lalu itu?” tanya Revan cekat.
“Setidaknya, bukan gue yang dijodohkan. Tapi lo, kesempatan bahkan hampir berpihak pada lo. Kalau lo ngomong,” ujar Randa.
Revan tertawa lalu menggeleng tak abis pikir. “Ngeliat kebahagiaan Mama dan Papa buat jodohin kalian berdua, enggak bisa gue hancurin begitu saja.”
“Lo berkorban terlalu jauh, alasan lo mutusin dia karena ini? Karena perjodohan yang sempat lo denger dari Mama papa?”
Revan mengangguk santai. “Iya.”
“Lo masih suka sama dia?” Pertanyaan itu membuat Revan terdiam sesaat.
Lelaki itu menoleh ke arah kakaknya. “Kalau gue masih suka, emang apa yang bakal lo lakuin?” tanya Revan justru membuat Randa bungkam.
Randa memegang pundak Revan. “Kalau lo bisa berkorban, kenapa gue enggak?”
“Enggak mungkin banget. Gue udah ikhlas sama semuanya, lo tenang aja. Gue enggak bakal ganggu hubungan kalian, gue tau batasan.”
“Lo harus tau satu hal, kalau Shena itu udah cinta sama lo,” lanjut Revan.
Revan berdiri mengambil handphonenya dan pergi meninggalkan kamarnya. Randa duduk sambil merenungkan percakapan mereka barusan, lalu pria itu menghela napasnya pelan. Merasa bersalah, dan merasa tidak enak dengan adik sendiri.
***
Naila berjalan di sepanjang koridor, dia mematah-matahkan ranting yang dia pegang. Merasa kesal dengan apa yang terjadi beberapa hari setelah pulang dari Jerman, bukannya berhasil malah berakhir gagal.
Naila beranjak masuk ke dalam minimarket dan membeli minuman dingin. Dia mengedarkan pandangannya saat seseorang berhenti dengan motor gedenya di depan minimarket di mana Naila berdiri.
Pria itu membuka helmnya lalu menaikkan sebelah alisnya menatap Naila yang juga sedang menatap dirinya. “Minggir gue mau lewat,” ujar Revan menyimpan helm-nya.
Naila terdiam, lalu menggeser tubuhnya. Revan masuk dan membeli beberapa hal yang ingin dia beli. Lalu pria itu keluar, matanya kembali menatap Naila yang berdiri dengan tatapan menghadap ke depan.
Revan melepas jaketnya, lalu memberikannya kepada Naila. “Ini malem, pakaian lo terlalu terbuka,” ujarnya.
Naila menatap jaket itu, lalu menerimanya.
Revan pergi meninggalkan Naila. Gadis itu terdiam lalu perlahan sudut bibirnya terangkat. “Kalau gue enggak bisa dapetin kakaknya, adiknya pun bisa kan?” tanya Naila.
Naila membuka handphone, lalu menatapnya sambil tersenyum. Gadis itu pergi meninggalkan minimarket.
“Enggak usah kerja mendingan. Kan sekarang ekonomi udah baik-baik aja,” ujar Randa.
Shena yang sedang merapikan bukunya menoleh. “Nggak apa-apa kali ya, soalnya buat tabungan juga.”
Randa menghela napasnya. “Tabungan kamu kan udah kembali isinya, mau ngapain lagi? Di rumah aja udah,” ujar Randa.
Shena menggeleng. “Ngga apa-apa lah, buat masa depan juga.”
Randa yang kalah debat akhirnya mengiyakan apa yang dikatakan Shena. Pagi itu mereka sarapan bersama, Randa tak melihat Revan sedari malam setelah percakapan singkat mereka itu.
“Revan di mana, Ma?” tanya Randa.
“Oh, dia udah ke kantor bareng Papa tadi. Katanya ada yang mau dilakuin,” ujar Dahlia.
****
1 Desember 2021.
Hari ini adalah hari yang sangat bahagia untuk Dahlia dan juga Endra. Revan memilih untuk melangsungkan dirinya kepada jenjang pernikahan setelah 5 bulan mempersiapkan dirinya.
“Saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan putri saya Naila Pratiwi binti Endra Prasetya dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!”
“Saya terima nikah dan kawinnya Naila Pratiwi binti Endra Prasetya dengan saya sendiri dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi?”
“Sah!”
Saat itu juga, detik itu juga, menit itu juga, mereka resmi menjadi pasangan suami istri. Jangan tanya kenapa. Revan pun tak mau mengingat alasan kenapa dirinya masuk ke dalam perangkap Naila, yang notabenenya adalah mantan kekasih dari kakaknya sendiri.
Setelah acara akad dan resepsi selesai, keluarga mempelai dengan berbincang santai di ruang tamu, sedangkan Revan memilih untuk ke kamar dan mengganti pakaiannya.
Klek.
Naila masuk dan menatap lekat mata Revan yang juga sedang menoleh ke arah dirinya. Sudut bibirnya terangkat. Naila bernapas lega lalu berkata, “Kita bakal tinggal di sini kan?” tanya gadis itu dengan semangat.
“Nggak.”
“Kita bakal tinggal terpisah dengan Randa dan Shena,” jawab Revan.
Naila menggeleng lalu menghampiri Revan. “Kata Papa dan Mama kamu, kita tinggal bareng di sini.”
Revan menghela napas lelah. “Jangan macam-macam deh, Nai.”
Naila mengerucutkan bibirnya kesal. “Bersikap baik sama aku bisa kan? Ya karena kita ini udah jadi suami istri, setidaknya depan orang tau kita.”
Selepas mengatakan itu gadis itu menyelonong masuk ke dalam kamar mandi. Revan mengacak-acak rambutnya frustasi. Dia duduk dan memijit pelipisnya yang terasa pegal.
“Ya gampang aja sih, kalau lo enggak mau gue ganggu hubungan kakak lo. Ada syaratnya.”
“Apa?”
“Gue mau lo nikah sama gue.”
“Lo kenapa ngelamun sih?” Pertanyaan itu membuat Revan mendongak.
“Ah enggak, gue cuman capek aja.”
“Shena gimana? Dia udah siuman belum?” tanya Revan mengalihkan topik.
Randa menghela napasnya pelan. “Ada benturan hebat di bagian kepala. Tapi dia udah siuman walau kondisinya masih belum stabil,” ujar Randa.
Revan terdiam sesaat.
“Sore ini gue mau ke rumah sakit lagi, lo bisa ke kantor buat ikut rapat kan?” tanya Randa.
Revan mengangguk. “Iya, lo jaga istri lo baik-baik ya.”***
Shena menatap sekitar, garis wajahnya turun saat melihat tidak ada siapapun di dalam ruangan ini. Kepalanya terasa berat, matanya sayup-sayup masih berat jika dibuka.
Selang dua menit, pintu terbuka. Terlihat gadis dengan buah tangan yang dia bawa menatapnya dengan tersenyum.
“Kamu udah sadar, dek?” tanyanya sambil menyimpan buah itu di atas nakas.
Shena mengernyitkan dahinya bingung. “Adek?”
Leana berhenti dengan pergerakannya, lalu menoleh ke arah Shena. “Iya, aku Leana kakak kamu.”
Leana duduk di ujung ranjang pasien. Shena terdiam dan tak membuka suara, lalu kembali menoleh ke Leana. “Aku ini siapa?” tanya Shena.
Leana bingung.
“Kamu Shena, adik aku.”
Shena memegang kepalanya yang terasa berat kemudian dia meringis kesakitan. Karena panik, Leana langsung memanggil dokter.
Dua menit di periksa, dokter berkata, “Benturan di trotoar jalanan dia bagian kepala belakang membuat dia hilang ingatan.”
Leana membulatkan matanya.
“Tapi tenang saja, dia hanya amnesia sementara. Nanti saya akan berikan obat dan resepnya, usahakan untuk terus mengajaknya berbicara, tapi jangan sampai dia berpikir terlalu keras,” ujar dokter.

KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...