Kejujuran itu baik.
Jauh di sana memang berat bagi Shena, namun gadis itu harus bisa tetap tegar kan? Tetap harus melanjutkan hidupnya. “Shena, Mama mau ngomong bentar.” Dahlia menepuk-nepuk kursi di sebelahnya.
Shena duduk dengan perasaan yang jauh lebih baik daripada semalam. “Kenapa, Ma?”
“Kalau Randa dan lainnya enggak bakal pulang bulan atau tahun ini enggak apa-apa?” tanya Dahlia.
Shena mengulum bibirnya, lalu tersenyum. “Iya nggak apa-apa, mereka kerja kan? Shena paham kok.”
“Sayang ... kami juga engga ada yang mau kayak gini, di sana mereka juga kekurangan banyak hal. Kita nggak apa-apa jual mobil dulu?”
Shena mengangguk dengan enteng. “Iya boleh, lagian itu bukan mobil Shena, Ma. Itu mobil kita semua, bebas aja demi keluarga.”
“Yaudah, Ma. Shena mau berangkat kuliah.” Shena menyalami Dahlia dan berangkat ke kampus.
Langkahnya terhenti saat melihat kemacetan di jalan sana, Shena berlari dan melihat keadaan sekitar. Gadis itu berdecak karena semua orang hanya menjadikan itu tontonan dan tak ada satupun orang yang mau membantu kakek yang kelihatannya sudah hampir pingsan itu. “Astagfirullah, Kek? Kakek baik-baik aja?” Shena berusaha untuk memapah korban tabrak lari itu dan membawanya ke pinggir jalanan.
“Rumah sakit di sini jauh, Kek. Shena juga enggak bawa kendaraan,” tutur gadis itu lalu membuka tasnya dan mengambil obat dan juga tisu untuk membersihkan luka sang Kakek.
Kakek itu sayup-sayup menatap Shena dalam diam. “Nggak apa-apa, Nak. Kakek baik-baik saja,” ujarnya dengan lembut sekali.
Shena nyaris hampir menangis dengan melihat kondisi sang kakek, Shena bahkan belum pernah merasakan hangat pelukan kakeknya sebelum mereka meninggalkan Shena. Shena hidup dalam keadaan ekonomi yang sangat tinggi, makan mewah setiap harinya. Tak terpikirkan olehnya sedikit pun penderitaan para pengemis di luar sana.
Shena mengambil beberapa lembar uang dan memberikannya kepada kakek itu, kakek itu menolak namun Shena tetap memaksa dan mendesaknya. “Enggak apa-apa Kek, anggap saja ini sedekah saya buat kakek,” ujar Shena.
***
Shena melihat ke sana kemari untuk mencari angkutan umum, sayangnya dia harus bisa berhemat mulai sekarang. Shena sempat mendengar percakapan telefon antara Dahlia dan juga Endra cukup membuat Shena prihatin. “Sabar, kehidupan itu berputar. Kadang di bawah dan kadang di atas,” ujar Shena.
Gadis itu naik ke angkutan umum, di tengah perjalanan handphonenya berbunyi. Shena tak bisa menerima telfon dalam keadaan berdesak-desakan seperti ini, sampainya di tempat kuliahnya gadis itu keluar dari mobil dan merapikan rambut dan pakaiannya. “Hem, sekali dalam seumur hidup gue naik angkutan,” ujar Shena mendengus kesal.
Dia langsung mendiall kembali nomor ibunya, namun tidak ada jawaban. Shena bergegas masuk ke dalam kampus menuju ke kelas, seseorang datang dengan membawa dua minuman. “Gue tau lo capek,” ujarnya membuat Shena mendongak.
“Alfian? Sejak kapan kembali lagi?” tanya Shena langsung meneguk air pemberian Alfian.
“Udah 3 hari, Rara dan Natasya juga udah tau. Kemarin lo enggak masuk ya? Kenapa? Ada masalah, btw gue jarang liat Randa. Dia enggak antar balik lo?” tanya Alfian seolah ingin tau semuanya.
“Randa—“
“Randa ke Jerman, kasian LDR-an mereka.” Natasya menimpali lalu duduk di bagian belakang, di sampingnya juga sudah ada Rara yang sedang sibuk dengan handphonenya berusaha untuk biasa saja berhadapan dengan cowok di depannya.
“Jerman? Buat apa?” tanya Alfian.
“Entah belum pasti.” Shena mengalihkan pandangannya, tapi akan pasti jika Shena percaya mereka akan kembali setahun setelah semuanya baik-baik saja.
Shena sempat heran kenapa begitu lama mereka melakukan kontrak perjanjian, kontrak semacam apa? Bahkan Jerman itu bisa disebut negara yang besar, kan? Apa alasan dan sebab mereka bekerja selama itu?
Shena harus mencari tahu.
Sepulang dia dari kampus, Shena tak langsung pulang dia memutuskan untuk pergi ke perusahaan milik Rajendra, mertuanya. Namun saat sampai di sana dia tak melihat apa pun yang aktif di sana, hanya ada kesepian dengan pintu yang tertutup dan terkunci. Layaknya perusahaan yang mati tak ada pegawai dan semacamnya.
Lalu soal dana yang mengalir itu?
Mengalir ke mana? Ke perusahaan yang mati ini?
Shena tak abis pikir, dia tak berhenti di sini saja. Dia juga harus mengecek perusahaan milik Rama Aldebaran, papanya.
Sama halnya, dia hanya melihat perusahaan yang terkunci ketat dengan gembok dan beberapa rantai yang dihiasi di sana. Shena mengusap wajahnya pelan, lalu? Soal mobil yang akan dijual itu apa lagi?
Sore itu dirinya pergi ke Alfamart terdekat untuk mengambil beberapa sisa uang yang sebagiannya sudah dia transfer ke rekening milik Randa. Dia tau seberapa mahal makanan di Jerman, karena Shena pernah ke sana beberapa kali untuk berlibur bersama dengan Rara.
Berfoya-foya pada masanya.
Dan berusaha keras pada masanya.
Shena mengambil uang sebesar 2juta. Berharap untuk keperluan kuliahnya bisa terselesaikan dengan uang itu, selebihnya dia masih punya pegangan di rumah.
Miris.
“Shen? Lo di sini? Ngapain?” tanya Natasya melihat dari atas hingga bawah.
“Lo belum ganti baju? Belum pulang?” tanya Natasya lagi.
Shena terkejut. “Lo ngagetin, gue ke sini narik uang di ATM.”
“Oh gitu.” Gadis yang dikenal dengan nama Caca itu langsung berjalan ke kasir, Shena memilih ke luar menunggu Caca.
Caca menyodorkan sebotol minuman.
“Sel, gue tau lo sekarang lagi susah ya?” tanya Caca. Shena menoleh.
“Perusahaan Papa lo dan Perusahaan Papanya Randa gagal investasi secara bersamaan kan?”
“Gue harap enggak sampai pailit. Gue tau dari Papa gue, sempet nanya-nanya soal lo juga sih. Katanya ada yang korupsi juga dan ada yang bawa lari uang ya? Miris gitu yang ambil uangnya enggak bertanggung jawab banget diberi kepercayaan, haram tuh uang kalau dia makan,” tutur Caca.
“Kalau lo butuh bantuan bilang aja ya? Jangan sungkan sama gue mah. Awalnya gue bingung kepada tiba-tiba Randa ke Jerman? Kata Papa gue sih ....”
Shena terus mendengarkan ucapan Caca, namun saat sahabatnya itu berhenti berbicara Shena menoleh. “Kenapa, Ca? Yang lo omongin semuanya benar, gue sampai bingung gitu loh. Soalnya keluarga gue dan Randa kek simbiosis mutualisme saling menguntungkan,” ujar Shena.
“Iya ya gue tau kok, sabar ya. Gue tau lo kuat.” Apa yang paling Shena suka dari Natasya (Caca) sahabatnya ini walaupun dia sangat bawel dan blak-blakan, dia sangat peduli dan selalu ada di saat Shena susah dan senang.
“Oh ya tadi kenapa kata Papa lo?” tanya Shena.
“Kata Papa gue, perusahaan Papa lo itu berhenti sementara buat dapatin dana dari pihak perusahaan di luar negeri ya, investor asing gitu deh. Gue enggak tau banyak maklum kita kuliah bidang Sastra,” ujar Caca.
“Gue balik dulu ya, nih deh gue kasih cemilan buat lo. Take care!” Caca memberikan sekantung makanannya dan pergi meninggalkan Shena yang terdiam.
“Pantes aja mereka sibuk ya? Nggak apa-apa lah ya,” gumam Shena.
Tbc. Next?
KAMU SEDANG MEMBACA
Forced Love
RomanceFOLLOW BEFORE READING Terpaksa dalam bentuk apa pun, yang namanya paksa, memaksa, terpaksa enggak ada berakhir baik jika kita benar-benar menjalaninya dengan ikhlas. Karena kata ikhlas sudah tentu tidak mengandung paksaan. Cuek di awal, risih di awa...